6 : How Could I Go On?

150 9 0
                                    

Baru saja Jana membanting tubuhnya ke kasur di kamarnya, ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan kasar.

Ia cepat-cepat membuka pintu dan sudah bisa menebak kalau Githa yang muncul di balik pintunya.

"Kenapa?" tanya Jana malas. Ia sudah lelah dan capek, benar-benar tidak membutuhkan pertikaian dengan gadis itu.

Tapi yang ternyata keluar dari mulut Githa selanjutnya membuat jantung Jana berdegup beberapa kali lebih cepat. "Papa sama Mama udah balik dari tadi siang. Mereka mau ngomong sama elo."

Jana langsung menemui mereka di ruang keluarga. Tadi dia pulang lewat pintu belakang, kebetulan memang karena kamarnya terletak di rumah kecil di bagian belakang rumah utama-agak terpisah dengan tempat tinggal mereka. Jadi, tentu saja ia tidak menyadari kepulangan mereka.

Oom Adi adalah seorang pria berkepala empat yang bertubuh pendek dan gemuk, dengan kepala botak dan kedua mata yang licik. Kumis tebalnya benar-benar tidak menampakkan sosok yang ramah, melainkan keangkuhan. Sedangkan Tante Ani adalah seorang wanita bertubuh tinggi dan kurus, dengan sanggul tinggi, mata yang melekuk tajam, dan bibir kecil yang tipis namun berlidah tajam. Ia juga sama saja dengan suaminya, angkuh. Terlebih lagi, sosok Tante Ani mengingatkan Jana kepada sosok ibu tiri di film Cinderella.

Ketika Jana datang menghampiri, mereka sudah menampakkan wajah tidak senang. Kapan, sih, wajah mereka bersahabat dengannya? Kalaupun itu terjadi paling ada meteor jatuh dan meledakkan satu negara.

"Kemana aja kamu baru pulang malem begini?" tanya Oom Adi datar. Ia menghisap cerutunya.

"Habis pergi sama teman, Oom." Jana tidak bisa berbohong.

"Kamu nggak kerja?" tanyanya lagi. Sementara Tante Ani hanya diam.

Jana menggeleng.

"Kalau nggak kerja, darimana kamu mau mendapat uang? Kalau nggak dapet uang, bagaimana mau kuliah?" Oom Adi mendecak.

Jana mengerutkan dahinya bingung. Bukankah uang kuliahnya sudah dipersiapkan oleh kedua orangtuanya yang telah meninggal? Tapi ia tak mengeluarkan pertanyaan itu. Nanti saja.

Tiba-tiba, Tante Ani membanting beberapa brosur di atas meja. Jana tahu brosur apa itu semua. Brosur universitas.

"Saya menemukan itu di kamar kamu." Tante Ani menggeleng anggun, "Bagaimana kamu bisa masuk ke sana kalau kamu tidak berusaha?"

"Tidak berusaha? Jana selalu berusaha...."

Tante Ani menahan Jana berbicara. "Saya tidak mau dengar. Kalau begini, lebih baik kamu mengabdi saja pada kita, kerja seumur hidup."

"Bagusnya juga gitu, kali, Ma. Yang Jana pikirin itu hanya berkhayal, berimajinasi, bermimpi...." Githa tiba-tiba muncul entah dari mana. Ia duduk di sofa sambil meminum minuman sodanya, dengan pandangan penuh benci kepada Jana. Bahkan Jana sendiri tidak mengerti apa yang telah diperbuatnya sehingga Githa begitu membencinya.

"Mama tahu."

Jana bisa merasakan tatapan tajam Tante Ani yang menatap lurus ke arahnya.

"Jana, kamu harus bisa membuka mata kamu. Kamu itu bukan siapa-siapa. Kamu bekerja sebagai pelayan di rumah ini, juga pelayan di kafe. Kamu tidak mungkin bisa sekolah di Casaluna yang elit dan mahal itu kalau bukan karena beasiswa. Jadi kamu harus berhenti berharap dan bermimpi, it hurts you, dear..."

Menyakitkan, batin Jana. Ia bisa merasakan matanya memanas.

"Lagipula, kita tidak tahu apakah biaya kuliahmu itu bisa dicukupi dengan uang yang ada. Orang tuamu meninggal sudah lama dan uang yang mereka tinggalkan untukmu sedikit." Oom Adi menyeruput kopinya.

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang