2 : The Past

241 18 0
                                    

Rumah besar berlantai dua dengan cat putih gading itu seperti istana. Besar, dengan dua pilar di depan pintu kayu yang tinggi. Halamannya luas dengan air pancur berbentuk lingkaran di tengahnya, dan di dekat halaman depan terdapat garasi mobil yang dipenuhi oleh deretan mobil dengan harga selangit.

Namun, rumah itu tampak sepi.

Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pintu kayu rumah tersebut. Seorang supir mengitari mobil dan membukakan pintu belakang. Tak lama kemudian pintu kayu rumah itu dibuka.

"Mas Jove. Sudah lama sekali..." Seorang wanita bertubuh pendek dan gemuk yang berpakaian seragam pelayan menyambut Jove di depan pintu.

Jove berusaha untuk mengingat siapa wanita itu, dan rasanya ia memang mengenalnya. Tapi sudah lama sekali ia tidak tinggal di rumah ini, satu per satu memori tentang rumah ini dan isinya menghilang begitu saja dari memorinya. Tapi untuk wanita tua ini, rasanya ialah yang mengurus dirinya semenjak kecil-atau setidaknya ketika ia tinggal di rumah ini.

Entah kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya di rumah ini. Rumah ini, tempat dimana ia dan Dave pernah menghabiskan waktu kecil mereka. Setidaknya, untuk sebentar saja, ia dan Dave pernah merasakan hidup normal sebagaimana mestinya mereka.

"Rumah ini sepi sekali. Tuan besar tidak pernah pulang, dan dulu....Nyonya besar dan Mas Dave kadang ke sini, tapi sekarang udah jarang....apalagi sekarang, Nyonya besar sudah meninggal dunia..." Pelayan wanita itu mengiringi langkah Jove memasuki rumah yang langit-langit ruangannya tinggi itu. "Maaf, Mas Jove ke sini mau tinggal di sini atau..."

Jove membalikkan badannya, "Saya mau ke ruangan kerja Papa. Boleh kan? Dan kalau ada yang nanya tentang saya, jangan bilang-bilang kalau saya ke sini, ya, Bi."

Pelayan wanita itu mengangguk. Matanya mengikuti sosok Jove menaiki tangga besar ke lantai atas. Jove tahu, ia bisa dipercaya.

Ruangan kerja ayahnya terletak paling pojok di koridor panjang. Papa selalu melarang siapa pun untuk masuk ke dalam sana, dan kini Jove mulai mengerti mengapa. Jelas, pasti Papa menyimpan sesuatu yang ia tidak inginkan orang lain untuk tahu.

Tapi kini Jove akan mengetahuinya.

Ruangan kerja Papa sudah lama tidak dihuni. Sudah lama tidak ada kegiatan. Begitu sepi dan hening, meninggalkan barang-barang mewah di dalamnya lapuk dengan debu.

Sampai di dalam ruangan kerja itu, Jove melihat foto keluarga yang dibingkai oleh bingkai besar, terpasang di bagian atas tembok. Papa, dengan paras tinggi berwibawa. Mama, wanita paling cantik dan anggun yang pernah ia temui. Dan dirinya, serta Dave. Tapi foto itu entah sudah beberapa belas tahun yang lalu. Setidaknya ketika melihatnya lagi sekarang, ia harus mengakui bahwa ia sedikit tergugah.

Jove terduduk lemas di kursi kerja Papanya. Ia tidak jadi mengorek-ngorek laci kerja beliau, mencari barang bukti atau apa pun itu. Pikirannya malah melayang-layang, dan ia menyesal karena sempat melihat foto tersebut. Foto itu membuat dirinya tertarik kembali ke memori masa lalu.

Ia dan Dave memang beruntung dilahirkan di dunia ini dengan keadaan lebih dari berkecukupan. Papa memiliki perusahaan rokok yang terkemuka di Asia, dan bahkan ia sendiri tidak dapat membayangkan betapa besar dan banyak kekayaan yang Papa miliki. Lihat saja rumah ini sebagai contohnya, seperti istana dan mungkin bisa dijadikan lapangan sepak bola untuk pertandingan bola dunia.

Tapi ketika ia dan Dave mulai beranjak remaja, mereka berdua mengerti kalau ada yang tidak beres.

Semenjak ia berumur sembilan tahun, mereka selalu pindah-pindah tempat tinggal. Kadang di Jakarta, Bali, Surabaya, Malaysia, bahkan pernah tinggal di Thailand. Pindah-pindah. Sekolah, harus home schooling. Teman? Hampir tidak punya karena terus berpindah-pindah. Papa selalu melarang mereka untuk berkomunikasi atau bersosialisasi dengan orang asing, selalu menyuruh ajudannya menemani ia dan Dave kemana pun mereka pergi, bahkan saat bermain. Apapun menjadi tidak bebas.

Intinya, hidup mereka tidak pernah nyaman.

Ketika ia berumur dua belas tahun, kedua orangtuanya berpisah. Bukan cerai, namun hanya hidup secara terpisah. Papa mengambil dirinya dan Mama mengambil Dave. Ia dan Papa tinggal di Singapura, sedangkan Dave dan Mama tinggal di Jakarta. Papa selalu melarangnya pulang ke Jakarta, dan melarang Dave ataupun Mama untuk mengunjungi mereka ke Singapura. Tapi diam-diam, Jove dan Dave selalu bertemu.

Hanya saja yang disayangkan, Jove tidak sempat bertemu dengan Mama lagi. Mama keburu meninggal dunia, dan kini ia menyalahkan Papa soal itu.

Ia tidak mengerti mengapa ia dan Dave harus dipisahkan seperti ini. Ia tidak mengerti mengapa Mama dan Papa tidak boleh saling mengunjungi atau bertemu satu sama lain. Ia sangat mempertanyakan hal itu, mengapa ia dan keluarganya hidup seperti buronan. Pindah ke sana kemari, pergi kemana pun ditemani sederet ajudan, atau kadang merasa terancam penuh teror.

Kematian Mama adalah puncak dari segalanya. Jove merasa ia sudah cukup mengalami ini semua, ia harus mengakhirinya.

Ketika Papa langsung mengirimnya ke Jakarta saat mendengar berita kematian Mama. Kata ayahnya, keberadaan Jove di Singapura cukup membahayakannya dan perusahaanya. Jove mendengus mengingat ketika ayahnya mengatakan hal itu kepadanya. Dari dulu, Papa hanya memedulikan soal uang, uang, dan uang. Kerja, kerja, dan kerja. Perusahaan nomor satu. Pernahkah keluarga dinomorsatukan olehnya?

Entahlah.

Jove bangkit dari kursi kerja yang super empuk itu. Ia berjalan mendekati cermin besar, dan mematut dirinya.

Alisnya yang tebal....hidungnya yang mancung...matanya yang besar dengan bulu mata yang lentik dan bola mata hitam...sangat berparas ayahnya. Hanya bibirnya yang bersudut tajam ini diwariskan dari almarhumah ibunya. Diam-diam, ia merindukan wanita itu. Seandainya saja ia benar-benar mewarisi wajah Mama yang anggun dan lembut, seperti Dave. Bukan wajah ayahnya yang keras seperti ini.

Namun, ia mensyukuri wajahnya yang sangat mirip dengan Dave. Ia bisa meminta tolong kembarannya itu untuk menjadi dirinya selama beberapa waktu di sekolah barunya. Agar ia bisa menyelidiki tentang apa yang selama ini membuat hidup mereka tidak tenang dan nyaman.

Jove mengepalkan tangannya dan berkata pada dirinya sendiri bahwa kinilah waktu baginya untuk mengakhiri semua masalah ini.

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang