25 : Beginning Of The Storm

145 5 1
                                    

"Jadi, kamu pulang jam berapa tadi malem?"

Jana memandang dua orang dewasa di hadapannya dengan kaku. Tante Ani memandangnya tajam, menunggu jawaban darinya. Sedangkan Oom Adi hanya menyeruput kopinya tanpa banyak bicara. Sedangkan di sebelahnya, Githa membolak-balik halaman majalah remaja yang dipesannya dari luar negri.

"Jam setengah dua belas....tante..." Jana meringis.

"Kamu lembur sampai kerja semalam itu?"

Jana tidak bisa berbohong, "Jana pergi sama teman."

Githa terkekeh dan mengangkat wajahnya dari majalah yang sedang dibacanya, "Teman? Teman yang mana?" Kemudian ia berpikir sebentar. Setelah curiga, wajahnya berubah pucat dan matanya membulat. Mulutnya terbuka saking kagetnya. "Jangan bilang lo pergi sama JOVE!"

Jana menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Ia mengangguk.

"Gila lo!"

Tante Ani mengisyaratkan Githa untuk diam, dan gadis itu langsung membeku.

"Sepertinya kamu mengerti kalau kamu tidak bisa pulang malam seenakmu di rumah saya, Jana. Saya tidak mau itu terulang lagi."

Suara Tante Ani yang tegas dan wajahnya yang dingin membuat Jana hanya bisa mengangguk mengiyakan.

"Tante nemuin itu di kamar kamu." Tante Ani kemudian membanting beberapa brosur ke atas meja ruang tamu. "Itu brosur universitas kan?"

Jana mengangguk sambil mengamati brosur universitas yang terhampar di hadapannya. Ia mendapatkan itu lewat expo-expo yang diadakan di berbagai sekolah di Jakarta, dan tentu saja semua dihadirinya.

"Kamu sudah memutuskan kemana kamu akan melanjutkan?" tanya Tante Ani.

Jana mengangguk. Ia memilih sebuah universitas swasta di Bandung, mengambil jurusan psikologi. Cita-citanya adalah menjadi penulis buku anak-anak, penulis kisah dongeng. Memang agak tidak nyambung, tapi ia juga ingin jadi seorang psikolog anak. Nanti kalau sudah bisa menjadi psikolog anak, ia akan mulai membuat kisah dongeng untuk anak-anak. Membayangkannya membuat Jana tersenyum sendiri.

"Mengambil apa?"

"Psikologi, Tan."

Tante Ani menggeleng perlahan, "Percuma."

Jana mengernyit tidak mengerti maksudnya, "Percuma? Apa maksudnya?"

"Ada sesuatu yang harus kamu tahu." Tante Ani mendesah, "Sebenarnya hal ini sudah lama terjadi, dan saya serta suami saya merahasiakannya dari kamu. Tapi setelah melihat brosur yang kamu kumpulkan dan minat kamu yang begitu besar untuk kuliah, saya rasa kamu harus tahu."

Jana merasa ada sesuatu yang tidak mengenakkan. Ia curiga.

"Uang kuliahmu...tidak ada." Kata Oom Adi. Begitu tegas, dan terdengar seolah bukan apa-apa.

Tapi bagi Jana, itu adalah suatu malapetakan. Empat kata yang sederhana namun meruntuhkan impian serta cita-citanya. Membuat sesak di dadanya yang segera ingin meledak. Tapi ia tidak bisa memarahi dua orang dewasa di hadapannya ini.

Yang ia bisa hanya bertanya. Namun suaranya terdengar seperti erangan saking terkejutnya.

"Bu...bukannya papa dan mama sudah meninggalkan uang pendidikan untukku, Tante? Bukankah..." Jana rasanya ingin menangis.

"Memang. Tapi...perusahaan kami sewaktu itu mengalami kemunduran, dan kami memakai uang itu untuk memperbaiki kesalahannya." Jawab Oom Adi dengan wajah tidak bersalah sedikit pun!

Jana langsung sakit hati. Ia tahu matanya berkaca-kaca. Impiannya menjadi sukses, menjadi seorang psikolog dan pengarang buku anak-anak...semua itu sirna! Begitu egois orang-orang di hadapannya ini.

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang