5 : Unexpectedly Falling in Love

216 14 0
                                    

Saat Dave masuk ke pelataran parkir sekolah sambil mengendarai sepeda, ia bisa merasakan tatapan bebearapa pasang mata tertuju ke arahnya. Bahkan di sudut matanya ia menangkap beberapa gadis tertawa kecil melihatnya. Maklum saja, mengendarai sepeda bukanlah hal yang umum dna pantas bagi mereka.

Tapi ia tak peduli.

Setelah ia memarkir sepeda jingga yang kini telah tampak cantik seperti baru-sehabis dari bengkel sepeda tentunya, ditatapnya dengan puas kendaraan beroda dua tersebut. Ia yakin Jana pasti senang. Tadi pagi ia rela mengendarai sepeda dari rumahnya yang cukup jauh ke sekolah. Tentu saja untuk memberikan sepeda ini kembali kepada Jana.

Pasti Jana senang. Membayangkannya saja membuat hatinya berdebar.

****

Suasana kantin yang ramai membuat perutnya semakin keroncongan. Jana hanya bisa menatap kantin yang luas dan bersih ini dengan tatapan lesu. Kantin ini seperti kantin sekolah di luar negri. Menu makanan sudah ditentukan dan berganti-ganti sesuai dengan hari. Kita bisa memilih menunya yang sudah ditentukan. Contohnya untuk hari ini ada paket hamburger dengan kentang goreng atau paket pizza sebagai makanan utama. Salad atau sup sebagai makanan pembuka. Roti bakar dengan selai keju atau puding sebagai makanan penutup. Mewah kan?

Melihat menunya di papan kapur membuat air liur Jana menetes. Sayangnya, ia harus mengantri di antrian yang cukup panjang. Daripada tidak makan sama sekali, mending ngantri.

Ia baru saja mendapat antrian paling belakang ketika seseorang menariknya ke belakang.

Githa. Dan wajahnya geram.

Jana tahu ada sesuatu yang tidak beres.

"Kemarin lo mempermalukan Rico, ya, di depan anak baru itu!?" serangnya garang.

Jana melongo.

"Nggak usah sok bego, deh!" Githa kemudian mendecak sambil menggumam, "Emang lo bego, sih...tapi,...ih! Lo tau nggak kalau Rico itu malu berat, hah!?"

Jana menggeleng pelan. Siapa, sih, yang sebenarnya salah? Ia atau Rico?

"Rico itu pacar gue. Kalau lo sampe bikin malu Rico di depan anak baru itu, habis deh elo!"

Jana menelan ludah. Githa pun berlalu meninggalkannya sebelum menghentakkan kakinya di lantai dengan keras.

Dengan lesu ia kembali ke antrian. Seharusnya ia tahu kalau orang-orang seperti Rico dan Githa di sekolah ini selalu menang, tidak peduli mereka benar atau salah. Jana mendesah cukup keras ketika menyadari di sekolah ini sama sekali tidak ada satu orang pun yang peduli padanya.

Mungkin cowok kemarin....

"Maaf, Non..."

Jana tersentak. Gilirannya sudah tiba. Ia menatap pelayan kantin sambil tersenyum, "Bu, paket hamburgernya satu, terus sup....hem makanan penutupnya....puding aja, deh. Pudingnya ada rasa apa aja?"

Alih-alih menjawab, si pelayan kantin malah terdiam. Wajahnya tidak enak, bagaikan ia harus mengatakan sesuatu pada Jana namun tidak enak hati.

Jana merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Aduh, maaf, ya....Nona Jana....makananannya sudah habis."

Jana terbelalak. Apakah ia tidak salah dengar? Seumur-umur ia sekolah di sini-dua tahun dan hampir tiga tahun, tidak pernah ia kehabisan makanan di kantin ini! Sekalipun antriannya dari Sabang sampai Merauke!

Ia melirik antrian di belakangnya yang masih panjang, "Tapi...kok bisa makanannya habis? Terus mereka mau makan apa?"

Si pelayan kantin terdiam dan hanya menunduk.

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang