19 : Don't Come Closer

147 6 0
                                    

Kesepakatan Jove untuk membantu Jana dalam penyelidikan Dave sama sekali tidak berarti kalau cowok itu mau berteman dengannya.

Tidak.

Anak-anak Casaluna yang lain saja ingin sekali berteman dengan Jove, dan mereka harus dihadapai oleh kenyataan pahit bahwa Jove tidak ingin berteman dengan siapa pun di Casaluna. Sedangkan Jana, the nobody, ingin juga berteman dengan Jove-secara diam-diam, walau awalnya ia sangat muak dengan cowok itu. Mimpi apa dia berharap seorang Jove mau berteman dengannya, Jana tertawa dalam hati.

Cowok itu selalu bersikap tidak mengenalnya di sekolah. Pas-pasan di koridor? Jana hendak menyapa, namun cowok itu hanya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana (kebiasaannya selalu) dan ngeloyor pergi, dengan dagu terdongak ke atas-begitu angkuh. Di kantin? Seperti biasa ia duduk di pojok sambil membaca buku, hanya ada buah apel atau jus di nampan makan siangnya. Cewek-cewek di sekitarnya berusaha setengah mati untuk mencuri perhatiannya, tapi walau mereka berusaha sampai darah mereka berwarna biru juga Jove tidak akan memperhatikan. Jove suka membaca buku di halaman belakang sekolah yang sepi dan luas, tempat yang sama seperti Jana suka menghabiskan waktu istirahat. Bahkan, percaya atau tidak, di tempat yang sepi dan luas dimana hanya ada ia dan Jove sebagai manusia, cowok itu tetap tidak mau berbicara dengannya, menyapanya saja tidak!

Hahahahhaa, Jana tertawa dalam hati.

Lalu, mengapa cowok itu menolongnya saat ia keracunan? Mengapa cowok itu mengantarnya pulang malam itu, setelah membawanya ke rumah sakit?

Jana bodoh sekali sempat mengira kalau cowok itu peduli padanya.

Sekali waktu, Jana memberanikan dirinya untuk menyapa Jove.

Saat mereka berpas-pasan di koridor kelas pada saat jam pulang sekolah, Jana memutuskan untuk menyapanya dahulu. Tidak ada salahnya menyapa, bukan? Toh, ia juga hanya ingin berteman. Ia yakin Jove akan menyapanya balik, setelah apa yang telah cowok itu lakukan untuknya.

"JOVE! JOV!" Jana menjinjitkan tubuhnya sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi, dengan senyuman lebar merekah di wajahnya.

Yang diteriakkan namanya hanya diam saja. Poker face, kalau dua kata itu adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan ekspresi wajah Jove sekarang.

Dari ujung mata Jana, ia menangkap sosok Githa dan dua dayangnya menatapnya dengan pandangan tidak percaya.

Kalau Jove berbalik menyapanya, Githa akan mati saking kesalnya. Jana jadi cekikikan sendiri.

Jove berjalan mendekat! Mendekat! Jana merapatkan dua kakinya saking gugupnya. Jantungnya berdegup kencang.

Tiga meter....dua meter...satu...

Jana mendongak. Kini Jove berada tepat di hadapannya. Cowok itu membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya ke Jana yang memang lebih pendek darinya.

"Jangan mentang-mentang lo kenal sama Dave lo jadi merasa lo kenal ama gue." Bisiknya dingin. Setelah itu, ia menegakkan badannya kembali.

Jana mendelik tidak percaya. Apa yang didengarnya barusan?

"Nggak usah sok kenal."

Butuh waktu sangat lama bagi Jana untuk kembali tersadar tentang sikap Jove barusan dan teman-teman di sekelilingnya yang tertawa geli melihatnya. Karena malu sekali dan tersadar kalau wajahnya memerah seperti terong rebus, Jana membetulkan posisi tasnya di bahu dan berlari kecil ke kamar mandi. Saat ia berlari dan melewati teman-temannya, suara tawa mereka terdengar dan bagai menyangkut di telinga, menggema dan terus terngiang-ngiang.

Untung saja kamar mandi sepi. Ia bisa melampiaskan kekesalan dan kesedihannya.

Sial, ia dipermalukan oleh cowok dingin tidak mempunyai hati! Berbeda sekali ia dengan Dave! Dave...begitu baik, murah senyum, penolong....seperti malaikan. Sedangkan Jove!? Jana memukul wastafel dengan tangannya, sehingga tangannya memerah saking kerasnya pukulannya. Jove begitu jahat, cuek, dingin, keras, judes, jutek! Segala keburukan ada padanya! Seperti iblis. Jangan-jangan Dave adalah jelmaan malaikat dan Jove adalah jelmaan setan, iblis!

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang