39 : Fate

128 8 0
                                    

Benar-benar di luar dugaannya. Apakah ini kebetulan? Atau memang beginilah takdir Tuhan untuknya?

Jana tak henti menangis dan meratapi masalah baru yang kini datang menghadangnya, yang baginya adalah masalah terberat. Yang menjadi masalah kini adalah hatinya yang bimbang bercampur dengan emosinya yang tercampur aduk.

Ya, mungkin ini kebetulan. Ada alasan mengapa Tuhan mempertemukannya dengan Dave, lalu Jove. Namun yang menjadi salah adalah, dirinya yang terlanjur jatuh cinta kepada Jove, membuat semuanya terasa berat dan kian rumit.

Mengapa harus ayah Jove yang menjadi penyebab kematian kedua orangtuanya? Mengapa harus Jove yang menjadi putranya? Dan mengapa, ia harus jatuh cinta pada Jove? Ia membenci ayahnya karena beliau yang menyebabkan dirinya tak dapat bertemu dengan kedua orangtuanya. Namun di lain sisi, perasaannya untuk Jove begitu kuat dan betapa besar keinginan Jana untuk bersama dengannya. Tetapi, hatinya pun bimbang. Ia marah, emosi, benci...di lain sisi, ia kini merasa kehilangan seseorang yang berarti untuknya.

Pantaskah ia marah kepada Jove atas kesalahan yang diperbuat ayahnya?

Dunia begitu sempit. Ternyata selama ini alasan di balik kematian kedua orang tuanya berada begitu dekat dengannya, namun ia hanya tidak menyadarinya...

Sekuat tenaga Jana berusaha untuk melupakan Jove. Ya, ia harus belajar untuk hidup tanpanya, anggap saja ia tidak pernah mengenal cowok itu. Untung saja selama proses penerimaan ijazah, Jove tidak masuk ke sekolah karena masih mengurusi masalah ayahnya. Kalau tidak, Jana akan bingung sekali bagaimana harus bersikap dengan cowok itu. Dalam hati ia mengeluh, mengapa kini masalah datang lagi dan membuatnya harus berpisah dengan Jove? Padahal, ia baru merasa bahagia dan senang sekali bisa berada dan bersama lagi dengan cowok itu...

Atau mungkin memang ini sudah pertanda baginya, bahwa ia tidak dapat bersama dengan Jove? Bahwa ia harus benar-benar melupakan cowok itu?

Di saat ia tengah merenung di kamarnya sendiri, Jana mendengar suara bel rumah. Memang di rumah tidak ada orang selain dirinya, Tante Ani dan Om Adi sedang pergi ke Singapura untuk urusan bisnis mereka, dan Githa sedang pergi entah kemana. Otomatis, Jana melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah gontai dan beranjak membuka pintu.

Alangkah terkejutnya ia ketika melihat siapa tamu yang datang.

Jove dan Detektif Quentin.

Saking tertegunnya, Jana sampai lupa membuka pintu untuk mereka.

"Jana?" Jove memanggil gadis itu, membuatnya tersadar.

Jana langsung mengubah raut wajahnya menjadi dingin, "Ada apa kalian kemari?"

"Jana, tenang dulu. Aku tahu kamu masih marah soal...soal..." Detektif Quentin berpikir sebentar sebelum melanjutkan, dan ia memilih untuk berdeham. "ada sesuatu yang perlu kami sampaikan."

"Apa lagi? Berusaha meyakinkan gue kalau Bramantya Maherlangga yang hebat itu bukanlah pembunuh kedua orang tua gue?"

Jove mengeraskan rahangnya, "Jan, please...gue mohon. Sekali ini aja, dengerin gue."

Jana terdiam sebentar, agak lama. Setelah berpikir keras, ia mempersilakan dua orang itu untuk masuke ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.

Sesampainya di sana, Jana merasa canggung. Ia diam-diam melirik Jove yang duduk di seberangnya. Ia tahu sekali, dari gurat wajah cowok itu, kalau ada rasa bersalah dan galau di dalam hatinya. Sebenarnya, Jana sedikit bersimpati dengan cowok itu. Kini ia dilanda cukup banyak masalah, dan dengan dirinya yang menjauhi cowok itu...pasti hanya akan menambah bebannya. Tetapi ketika mengingat kesalahan ayahnya, rasa simpati itu sekejap sirna.

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang