16 : You Can Run, But You Can't Hide (The Truth)

149 7 0
                                    

Jana berjalan pelan dengan tatapan mata lurus menatap tapakan kakinya di tanah, langkah demi langkah ia mempersiapkan diri serta hatinya agar siap. Entah mengapa ia mengikuti hatinya untuk datang ke sini, tapi yang jelas belakangan ini ia lebih mengutamakan apa kata hatinya dibandingkan akal sehatnya. Dengan hati gamang, Jana berusaha untuk mengabaikan pikiran-pikiran buruk di kepalanya.

Ia tak sengaja menginjak ranting pohon, dan ketika ia mengangkat wajahnya ia melihat beberapa orang berpakaian hitam mengerumuni makam yang masih sangat baru tak jauh darinya. Mengapa makam selalu terkesan sayu dan muram seperti ini? Seperti pohon-pohon rindang yang membuat sejuk makam-makam di sekitarnya-tergoyang oleh hembusan angin, membuat beberapa helai daunnya jatuh ke tanah coklat. Seakan memberikan arti kepada dunia bahwa yang tua akan gugur dan tergantikan oleh yang muda.

Sebenarnya, ia agak seram juga datang ke pamakaman ini. Tujuannya hanya satu.

Makam Dave.

Tempatnya terletak di pojok, agak tersembunyi. Hanya beberapa orang khusus saja yang tahu letaknya.

Tapi, semenjak kematian Dave, Jana belum sempat mendatangi makamnya. Lebih tepatnya, ia tidak mau. Ia bahkan tidak datang ke pemakamannya. Ia bisa tambah gila membayangkan tubuh Dave yang kini sudah tinggal jasad terbaring di peti dan terkubur di dalam tanah, menyatu dengan bumi.

Dan ia rasa kini adalah saat yang tepat. Ia telah siap. Dulu ia kira ia akan melupakan Dave sepenuhnya, menyerah terhadap segala pertanyaan di benaknya. Tapi ketika ia melihat Jove....semuanya berubah, berbeda, bahkan pandangannya juga ikut berubah. Ia telah berbalik misi. Dan kini misinya adalah untuk menyelesaikan apa yang seharusnya belum selesai namun dianggap telah selesai oleh setiap orang. Ia akan menemukan sendiri jawaban atas segala pertanyaan di benaknya, dengan atau tanpa bantuan Jove.

Ketika Jana mengangkat wajahnya, ia terperanjat melihat sosok seorang cowok berjongkok di samping makam Dave, membelakangi dirinya. Tangannya terletak di atas pusara Dave, yang mengabadikan namanya.

Tanpa harus cowok itu membalikkan badan, Jana sudah tahu siapa itu.

Tapi ia tidak melakukan apa-apa selain menatapinya. Sampai cukup lama, barulah Jove berdiri tegak. Ia menarik napas dan membuangnya, lalu membalikkan badan. Dan saat itulah tatapan Jana dan Jove bertemu selama beberapa detik, bingung dan tidak tahu harus saling mengatakan apa. Jove tampak kaget dan panik melihat Jana berdiri di depannya, tapi Jana tahu sekali cowok itu setengah mati berusaha menyembunyikannya.

Setelah berhasil menguasai dirinya, Jove menarik tatapan matanya dari lalapan mata Jana yang tajam, lalu ia berjalan ke arah Jana dengan kedua tangan masing-masing di saku celananya. Jana sempat mengira cowok itu menghampirinya, tapi ia salah. Jove malah lewat begitu saja di sebelahnya-seolah ia tidak ada di sana.

Jana sudah entah berapa kali diperlakukan seperti ini oleh Jove. Ia sudah cukup.

"Tolong." Jana berkata dengan suara datar, "Tolong berhenti bersikap kayak lo nggak peduli." Ia tidak membalikkan badannya. Dan ia tidak tahu apakah Jove berhenti berjalan atau malah tetap berlalu tidak memedulikannya. 

Ternyata yang pertama.

"Apa susahnya buat mengatakan yang sebenarnya?" Kini Jana membalikkan badannya, dan ia tidak menyangka Jove juga sedang berhadapan dengannya. Ia tidak peduli lagi apabila cowok itu melihat air matanya. "Gue tahu lo juga sedih, untuk apa lo menutupinya dari gue?"

"Semua orang di dunia ini pasti akan meninggal. Mungkin Dave lebih cepat di antara kita semua. Dan gue ikhlas." Sergahnya dingin.

Jana berjalan mendekat, "Gue bukan ngomongin soal itu, Jov. Gue juga ikhlas melepas Dave. Tapi bukan itu yang..."

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang