Hilangnya sebuah Bayangan

341 18 1
                                    

"Kau.. siapa namamu? Dan..." Gin menelan ludah. Ia memberanikan dirinya untuk menyuarakan apa yang ingin dia ketahui.
"Siapa kau yang sebenarnya?"
Mata Feyla tetap terpejam. Dan terpejamnya mata Feyla menunjukkan seolah olah dia bukanlah seseorang yang patut dicurigai, atau bisa saja Feyla memikirkan jawaban untuk pertanyaan Gin. Gini masih menunggu. Peluh pun mengalir menuruni dahinya. Hawa di ruangan UKS itu terasa panas. Apakah AC-nya rusak? Tidak. Bukan AC yang menyebabkan hawa panas ini, tapi penantian Gin akan jawaban dari Feyla lah yang membuat Gin berkeringat. Gini masih menunggu sebuah suara yang keluar dari bibir Feyla. Mata Gin berpindah pindah dari wajah Feyla ke pakaian John. Ia menemukan sebuah kejanggalan.
Gin yang tak sabar dengan jawaban yang belum keluar dari Feyla, ia pun mulai membentak. "Hei, cepat jawa-"
"Selesaikan masalahmu dengan John terlebih dahulu. Bukankah kau masih ada kegiatan klub?" Kata Feyla pelan. Gin terkejut. Apakah Feyla mengelak dari pertanyaannya atau mengingatkannya?
"Aku akan menjawab pertanyaannya. Tapi tidak kali ini. Suatu saat" kata Feyla seolah olah dapat menebak isi pikiran Gin. Gin menundukkan kepalanya. Ia mulai berpikir kalau Feyla cukup bisa dipercaya.
"Baiklah kalau begitu" kata Gin lalu berjalan lesu keluar ruangan. Feyla menatap kaki John yang terkilir. Tangannya mengelus pelan perban di kaki John, lalu berpindah ke kepala John. Bibirnya yang mungil mengucapkan beberapa patah kata. Ia pun duduk tenang dan dengan mata terpejam.
***
Gin menempelkan ponsel di telinga nya. Ia sedang menelepon seseorang. "Iya, benar. Itu yang aku lihat dengan mataku sendiri. Mungkin dugaan mu benar" kata Gin menelepon. Terdengar sebuah gumaman dari ponsel Gin.
"Apa yang baru saja kau katakan itu cukup mengejutkan. Tak kusangka dugaanku benar"
"Apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan hampir tak bisa berpikir jernih setelah melihatnya langsung. Kumohon, apa lagi yang harus aku lakukan sekarang?" Kata Gin bingung. Ia putus asa sekaligus ketakutan.
"Yah.. kupikir lebih baik kamu mengawasi mereka berdua saja. Dugaanku mengatakan bahwa mereka berdua ada hubungannya pada masa lalu. Dan, apabila kamu masih ketakutan, anggap saja seperti kamu memerankan salah satu tokoh di film horror" suara di dalam ponsel itu tampak tenang dan berbeda dengan raut muka Gin yang mendengarnya.
"Kau gila? Aku lebih suka jadi tokoh figur di dalam film, daripada jadi tokoh utama atau tokoh pembantu, okay?" Gin menahan rasa paniknya. "Huft... Apapun untukmu, Kate" kata Gin pada akhirnya menyerah atas yang dialaminya. Terdengar suara tawa manis di ponsel Gin.
"Terima kasih, Gin. Senang mendengarnya" lalu sambungan telepon itu diputus. Gin mengenal napas.
***
Mata John perlahan terbuka. Ia menyesuaikan matanya dari cahaya senja yang ada di sekitarnya. Ia mulai mengingat-ingat apa yang terjadi kepadanya sampai sampai ia berada di ruang UKS. Ia pun melihat Feyla ada di sebelahnya, tengah duduk dengan mata terpejam. Ia merasa ada sesuatu yang membalut kakinya. Dan ia pun telah mengingat semuanya. Kejadian kecelakaan saat latihan basket. Namun ia tak merasa sakit pada kaki dan kepalanya. Apa dia sudah mati?
"Feyla.." panggil John. Ia pun memutuskan untuk duduk daripada berbaring. Panggilannya tak membuat Feyla terbangun. Ia ketiduran ya, pikir John. Ia pun melihat perban di kakinya sekali lagi. Apakah dia yang membalutnya?  Tanya John dalam hati. Ia memegang kepalanya. Rasa sakit yang ia rasakan ketika jatuh tadi benar benar tak terasa sama sekali. Seakan akan ia tak pernah tergelincir tadi.
"Hei, Feyla-" suara John tersekat bersamaan dengan tangannya yang hendak menyentuh dagu Feyla. Ia masih melihat cahaya walaupun Feyla menutupi cahaya di tangannya. Atau lebih tepatnya, Feyla tak memiliki bayangan. John terkejut. Apakah Feyla yang ada di sampingnya adalah sebuah ilusi atau arwah?
John memegang dahinya. Mungkin ia salah lihat. Matanya kembali melihat tempat seharusnya bayangan Feyla ada. Namun bayangan itu tetap tak ada. John ketakutan. Detak jantungnya berdetak kencang. Nafasnya tak teratur. Matanya terbelalak menatap Feyla yang masih tertidur. Dengan sekuat tenaga ia menelan ludah. Ia mulai berkeringat. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dan berpikir dengan kepala dingin.
Yang pertama muncul di kepalanya adalah Shelly. Ia harus memberitahu Shelly soal ini. Ia pun teringat bahwa ponselnya ada di dalam tasnya di kelas. Ia menghela napas, dan turun dari kasur dan berjalan pelan keluar ruangan.
John melewati lorong dengan tanpa ekspresi. Sepertinya peristiwa di UKS barusan membuatnya bingung dan tak dapat berkata kata. Luka akibat kecelakaan tadi benar benar tak terasa. Mungkin ia telah diberi obat bius oleh pengurus UKS, begitulah pikirnya. Lorong yang dilalui John sepi. Cahaya senja yang menembus melalui kaca jendela menjadi penerang satu satunya di lorong ini. Semua murid telah pulang ke rumahnya. Mungkin ada beberapa yang masih menjalankan aktivitas klub.
John mengambil ponsel di tasnya. Ia menghidupkan ponselnya dan akan mengirim pesan kepada Shelly. Namun, ia mendapat sebuah pesan dari Shelly sekitar 1 jam yang lalu.
From: Shelly...
'kudengar kau kecelakaan saat latihan basket, tapi kulihat klubnya masih berlatih seperti biasanya. Apakah kabar itu benar?'
From: Shelly...
'Dan lagi, sedari tadi aku lihat pengurus UKS sedang menyiram bunga, lalu siapa yang mengurusmu di UKS? Tadi aku lihat ada orang yang bicara sendiri di UKS. Sepertinya dia Junior-mu di klub basket. Kurasa dia sedang bersandiwara untuk membangunkanmu. GWS..'
John agak bingung atas apa yang ditanyakan oleh Shelly di pesan tersebut. Namun ia merasa malas untuk memikirkan isi pesan Shelly tersebut. Kini ia sedang mengetik tentang apa yang baru saja ia alami. Namun ia menghapus kembali apa yang baru saja ia ketik. Ia berpikir ulang. Shelly pasti akan menganggapnya gila apabila mengetahui peristiwa di UKS tadi.
Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, memanggul tasnya, lalu keluar dari kelas itu. Ia memilih untuk pulang dan menjernihkan kepalanya, walau setiap kali kejadian tadi terlintas di benaknya, ia merasa ngeri menjalari tubuhnya. Kejadian itu cukup menakutkan bagi dirinya yang sama sekali tak pernah mempercayai adanya hantu atau roh roh gentayangan. Bibirnya gemetaran dan tak dapat ditutup dengan segenap tenaganya. Ia menampakkan tatapan putus asa. Ia menatap langit senja ini dengan tatapan nanar. Ia ketakutan setengah mati. Ia terus berjalan tanpa sedikitpun rasa sakit di pergelangan kakinya yang terkilir.
"Aduh.."
John menurunkan arah pandangannya ke arah seorang gadis yang baru saja menabraknya. Atau lebih tepatnya, John yang tak sengaja menabraknya. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian ngeri tadi.
"Maafkan saya" kata John formal kepada gadis yang telah ia tabrak tidak sengaja. Gadis itu tersenyum sambil menyelipkan poninya ke punggung telinga kanan.
"Tidak apa apa. Tak usah terlalu formal." Kata gadis itu lalu terkejut dengan muka John yang pucat sedari tadi. "Kau tak apa apa? Wajahmu tampak sangat pucat. Kau sakit?" Gadis itu menanyakan kondisi John.
John yang mendengar ucapan barusan, hanya nyengir tidak jelas dan menggaruk belakang kepala yang tidak gatal sama sekali. "Aku tidak apa apa. Hanya sedikit kelelahan saja" jawab John, lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. "Aku duluan" kata John.
Gadis itu menatap punggung John yang kian menjauh darinya.
***
"Aku pulang" kata John sembari memasuki rumah. Ia menata sepatunya di rak lalu berjalan menuju kamarnya. Rasa lelah dan penat menguasai tubuhnya. Cukup rasa takut dan syok yang menempati pikirannya. Ia melempar tasnya ke ranjangnya, dan duduk di kursi dekat meja belajarnya. Ia menghela nafas lalu menggerutu.
"Apa apaan kejadian tadi?? Kejadian apa itu? Dan bagaimana bisa ada kejadian seperti itu?" Gerutunya memasang raut muka kesal pada dirinya sendiri yang tak mempercayai apa yang dilihatnya sendiri. "Beritahu Shelly atau tidak ya??" Ucapnya lirih di akhir gerutunya.
Ia mengambil buku hariannya yang ada di laci dan sebuah pencil. Ia menulis tanggal dan bulan pada hari ini di lembaran barunya. Ia menulis sesuatu.
'date: 14 Februari 2.....'
'Kakiku terkilir saat latihan basket dan dibawa ke UKS. Saat sadar, rasa nyeri di kakiku dan kepalaku menghilang. Feyla ada di UKS bersamaku. Ia tertidur. Bayangannya tak ada'
John melepaskan pensil di tangannya dengan tiba tiba. Ia merasa sangat lelah dengan semua ini. Dan ia baru sadar, bahwa sedari tadi ibunya tak menjawab suaranya. Mungkin ibunya sedang ada acara dengan teman temannya.
Lonceng bel pun menghampirinya. Itu adalah Jeremy. Dengan tubuh gemuk dan bulunya yang tebal. Kucing gemuk John ini, datang dan berjalan di sekitar kaki John.
"Ada apa, Jeremy? Kau lapar?" Tanya John, dan dijawab oleh Jeremy. Sudah kuduga. Kucing ini datang kalau ada maunya aja, gerutu kesal John dalam hati. "Iya iya.. aku akan ambilkan"
John menuruni tangga, menuju dapur. John membuka laci yang ada di atas, dan mencari makanan Jeremy. Namun makanan itu telah habis. John memandang kucing gendutnya itu. Pandangan memelas yang dilontarkan Jeremy melalui kedua matanya tak mempengaruhi John.
"Mending hari ini kamu puasa" kata John lalu berjalan keluar dapur. Jeremy tampak tak terima. Ia mengikuti di manapun John berjalan. Tak lupa juga dengan suara 'meong'-nya yang semakin menjadi jadi, dan memenuhi seluruh rumah.
John berusaha untuk bersabar.
'kriiing... Kriiing...'
Ponsel John berdering, dan dengan segera John mengangkatnya. "Hello?"
"Oh, John anakku. Bolehkah Mom titip sesuatu kepadamu?" Suara John's Mom terdengar di ponsel John. "Mom ingin titip apa kepadaku?" Tanya John kepada ibunya di telepon.
"Bisakah belikan telur dan tepung di supermarket? Ibu sibuk hari ini. Tolong belikan ya?" Pinta John's Mom.
John mengangguk. "Baik, Mom. Telur dan tepung seperti biasanya, kan?"
"Iya. Uangnya ambil saja di laci kamar ibu. Dan hati-hati, John. Mungkin saja ada kejadian yang aneh di jalan" kata John's Mom dengan nada hati-hati. "Aku takutnya ada penjahat yang menculiknya atau menjualnya"
John menahan tawa. "Iya iya, Mom. Kapan Mom pulang?" Tanya John mengalihkan topik pembicaraan.
"Mungkin nanti malam. Atau larut malam. Pokoknya hati hati, John. Kamu kan ganteng. Tubuhmu seksi dan lagi-"
"Iya iya, Mom. Aku beli dulu. Bye" potong John lalu mematikan sambungan teleponnya. John selalu mengatakan hal itu. Dasar korban berita, batin John.
John bergegas menuju supermarket setelah mengambil uang di laci kamar ibunya. Ia berjalan kaki menuju supermarket. Namun, Jeremy mengikutinya. John tahu. Jeremy mengikutinya untuk mengingatkan John bahwa ia harus membelikan makanan untuk Jeremy juga saat di supermarket. Sungguh kucing yang licik.
Jeremy menunggu diluar saat John membeli bahan titipan ibunya di supermarket. Dan John cukup terkejut dengan Jeremy yang setia menunggunya sampai acara belanjanya selesai. "Aku juga membeli makananmu" kata John.
"Meong..." Jawab Jeremy senang.
Hari mulai gelap. John memilih untuk melewati jalan pintas agar ia cepat sampai ke rumahnya. Jalan yang lika-liku dan cukup gelap.
Tiba tiba, Jeremy menggeram.
John sedikit bingung dengan apa yang dilakukan oleh Jeremy. Di depan tidak ada apa apa. Hanya beberapa benda yang kurang jelas untuk dilihat karena minimnya penerangan di gang ini. John melangkah dan mendengar suara genangan air di sepatunya. 'air?? Padahal hari ini tidak hutan. Tapi mengapa ada genangan air disini? Pipa bocor ya?'
John melihat ke sekelilingnya, namun tetap saja gelap. John meraih ponsel di sakunya dan menyalakan mode lampu senter pada ponselnya. Genangan air itu tampak keruh. Bahkan sangat keruh. John pun melanjutkan langkahnya dengan pencahayaan dalam ponselnya. John hanya menyinari apa yang ada di sekitar kakinya. Pada langkahnya yang ketiga, John mulai curiga dan melihat air yang keruh itu lebih dekat. Jarinya menyentuh air keruh, yang tak disangka berwarna agak gelap. John memberi bahaya pada jarinya.
Air itu berwarna pekat. Merah pekat. Tak lama, angin berhembus menerbangkan bau bau-an yang ada di gang itu. Bau yang jelas jelas hidung John tangkap adalah bau anyir.
Hal itu menguatkan segalanya. John terkesiap. Air yang barusan ia sentuh berwarna merah pekat, ditambah bau anyir yang memenuhi gang itu, dan Jeremy yang menggeram. Jelas jelas, air ini bukan air biasa. Ini adalah ...
"Darah ...??"

***

Mysterious Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang