"Darah ...??" Kata John dengan nada lirih nyaris tak terdengar.
Ia berteriak terkejut dan terjatuh ke belakang. Darah itu muncrat ke pakaiannya karena jatuhnya tubuh John. Ia merasa bahwa kakinya mati rasa akibat ketakutannya. Kini kedua tangan John yang digunakan untuk menopang tubuhnya yang jatuh, terkena darah di tanah. Jeremy terus menggeram. Ia meraih ponselnya yang masih menyala ketika ia baru sadar bahwa ponsel itu terpental. Ia sekarang menyinari apa yang ada di depannya. Dengan perasaan takut dan histeris yang menjadi satu, John memberanikan diri untuk melihat ceceran darah dan organ tubuh yang ada di depannya. Ia merasa sesuatu menyentuh tangan kanannya, dan itu adalah sebuah bola mata. John tak dapat berteriak. Berkali kali mulutnya bergerak gerak mengatakan suatu kata tanpa makna.
"Kenapa ... Kenapa pemandangan ini terjadi pada hari ini ...?" Tanya John linglung pada dirinya sendiri. Ia menutupi kedua matanya dengan tangan kanannya. Ia tak ingin menyadari bahwa dirinya sendiri akan meneteskan air mata ketakutan. "Siapa pun ... Yang ada disini. Siapa pun yang mendengar ... Suaraku ..."
John yang menyedihkan merangkak menjauhi tempat mengerikan itu. Tampak jejak darah yang terseret oleh pakaiannya. Ia mengambil belanjaannya yang terjatuh dekat tong sampah di sampingnya. Jeremy mencoba untuk mendorong John dengan tenaga kucingnya yang sia sia. Jeremy mengerti bahwa tuannya tengah dilanda rasa kengerian yang mendalam menjalari tubuhnya. Jeremy menjilat muka John untuk memberi semangat, dan pada akhirnya John berdiri dan berjalan walau sempoyongan.
Kian lama ia berjalan, John mulai mempercepat langkahnya. Seakan akan dikejar ketakutan itu sendiri, John dengan cepat sampai di rumahnya. Jeremy yang mengerti kondisi tuannya, memberikan John waktu untuk sendiri dan melupakan apa yang telah terjadi.
John melepas semua pakaiannya dengan jijik. Pakaian yang penuh darah itu membuatnya terbayang apa yang terjadi tadi. Ia mandi dengan tatapan kosong. Shower yang mengalirkan air dingin itu tak membuat John sadar dari lamunannya. Hal yang baru saja terjadi itu, benar benar mengerikan. Ketika ia bercermin saat mengeringkan rambutnya, ia mulai mengkhayal akan adanya darah yang telah kering di sekujur tubuhnya. Dan ketika ia sadar dari khayalannya, ia pergi dari kamar mandi.
John memakai pakaiannya dan menyiapkan makanan untuk Jeremy. Tangannya gemetaran. Dan saat ibunya telah pulang, John hanya menatap kosong ibunya.
"Ada apa, John?" Tanya John's Mom mengelus rambut anaknya dan menatap anaknya dengan penuh tanya. " Apakah tadi di sekolah kau mendapati pengalaman yang tak menyenangkan?" John's Mom mengambil sekaleng bir di dalam kulkas, membukanya, dan meminumnya. John tak menjawab pertanyaan ibunya.
"John ... Ceritakan pada ibu apa yang terjadi? Kau tampak pucat" kata John's Mom penuh kasih sayang. Bibir John bergerak mengucapkan sesuatu yang tak jelas. John's Mom mengerutkan dahinya. "Apa yang kau katakan, John? Aku tak mengerti"
John kini menatap mata ibunya langsung dengan tatapan ngeri. "Tak ada. Tak ada apa apa." Kata John menyungging senyum di bibirnya yang agak pucat. "Aku hanya lelah. Beberapa hari lagi, ada lomba basket dan aku terlalu memaksakan diri. Jeremy ... Makananmu telah siap!" John berangsur angsur pergi setelah menyuguhkan makanan kucing untuk Jeremy. Sebuah perasaan khawatir tersirat pada raut muka John's Mom.
***
"Hey, John! Apa kabar?!" Sapa Paul dengan akrab pada John yang baru saja memasuki kelas. "Baik" jawab John singkat melewati Paul dan duduk di bangkunya. Paul merasa sedih dengan John yang tak menyapanya dengan benar. Sudah lima hari berlalu sejak kejadian itu, dan beberapa sifat John berubah.
"Hei, John ... Sudah lima hari kau menyapaku dengan singkat. Rasanya itu sakit, kau tahu?" Kata Paul mendekati bangku John. "Aku ingin kau menyapaku dengan panjang. Jangan singkat"
"Panjang"
"Bukan 'panjang', tapi kalimat yang panjang dan akrab"
"Panjang akrab"
Paul mengatur nafasnya agar tak marah pada sobatnya pada pagi hari. "Apa yang terjadi padamu, sob? Kau tampak pendiam dari pada sebelumnya. Kalau ada yang ingin kau ceritakan, ceritakan saja padaku, okay?" Paul menjelaskannya dengan detil. Dan John menanggapi perkataannya dengan mengangguk. "Jadi, kali ini cerita apa yang akan kau ceritakan? Cinta? Romansa remaja? Petuala-"
"Tak ada" kata John singkat lalu membalik lembaran buku di hadapannya. Paul tampak lesu dan meraih tangan kiri John. John terbelalak melihat tangan Paul yang tampak berdarah di matanya. Dengan cepat, John menampik tangan Paul. "Jangan sentuh aku!!" Teriak John memenuhi ruangan kelas. Paul terkejut dan menatap benci John.
"Okay! Aku gak akan nyentuh ataupun nganggap kamu teman, dasar sampah!!!" Balas Paul dengan teriakan lalu pergi menjauhi bangku John. Mereka berdua menjadi pusat perhatian di kelas. John yang baru saja menyadari bahwa itu adalah khayalannya, ia menunduk dan menutup matanya dengan kedua tangannya. Ia tampak putus asa. Sebuah bisikan tersulut di benaknya, 'aku tak salah. Yang salah adalah mereka yang tak mengerti apa apa.'
***
'latihan hari ini sangat melelahkan. Aku ingin pulang dan menyelidi-'
Langkah John terhenti di mulut gang yang lima hari lalu membuatnya ketakutan. Walaupun ketakutan itu masih ada, ia ingin tahu apa yang ia lihat pada malam itu adalah khayalan atau bukan. 'jelas jelas itu bukan khayalan.' John ingin tahu apa yang terjadi di gang itu, namun ketakutannya menjadi penghalang bagi dirinya. John berjalan pelan dengan menutup mulutnya. Ketika melihat gang itu yang tampak bersih tanpa apa apa, ia terkejut. "Ini ... Bohongan?" Tanyanya pada diri sendiri. Gang itu bersih. Baik dari ceceran darah pada hari itu atau pun potongan organ tubuh. Apakah karena kejadian ini terlewat lima hari? Ataukah kejadian hari itu benar benar khayalan belaka? Namun darah yang mengotori bajunya tak dapat bersih dengan baik. Bajunya yang kotor itu ia sembunyikan ke sebuah koper di bawah ranjangnya. Ia takut untuk membuangnya ataupun melihatnya. Sejak kejadian itu, John selalu bermimpi buruk. Jelas jelas ini bukan khayalan.
Karena gang itu tampak bersih, ia cukup berani untuk melihat tempat itu dengan detil. Tempat sampah yang ada di gang itu tak berubah posisi. Dan, bagaimana bisa ceceran darah itu tampak bersih dengan sendirinya? Kalau pun itu dibersihkan oleh polisi atau petugas pemerintah, setidaknya ada sebuah berita di siaran TV harian. Apakah tempat ini dibersihkan oleh orang biasa? Tapi, siapa yang rela membersihkan ceceran darah yang tak jelas penyebabnya. John berpikir. Ia memutar posisi tong sampah itu dan menemukan bercak darah kering.
John menahan dirinya untuk tak muntah. Ia merasa mual. Ia terjatuh ke belakang dengan helaan nafas panjang. Lagi lagi, ia harus terlibat dengan hal yang seperti ini. Kalau itu terjadi padanya, mungkin ia akan terbiasa dengan hal yang seperti ini. "Mungkin nanti besar aku akan jadi dokter bedah" John mulai pasrah. Kalau hal ini terjadi lagi, ia tidak ingin terlibat lagi apapun alasannya.
"Pasrah ya? Kurasa itu pilihan terbaik untuk orang sepertimu"
John terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis dengan tubuh transparan menampakkan gambaran grafiti yang ada di balik tubuhnya. Bibir pucat nan pecah pecah, dan rambut panjang yang berantakan. Gadis dengan pakaian putih itu berdiri tak bergerak di tempatnya. Melihat kakinya yang tak menapak tanah, membuat John bergidik ketakutan.
"Oh ya... Kau bisa melihatku?" Tanya gadis itu lirih hampir menyatu dengan suara angin. John hanya menebak pertanyaan yang pasti akan diucapkan pada orang transparan seperti yang ada dihadapannya.
John mengangguk dengan tatapan takut. "Siapa ... Kau?" Tanya John lirih. Sebagian suaranya tak keluar karena ketakutan.
Gadis itu menatap kearah bawah dengan tatapan sendu. "Namaku Belle. Aku mati 7 tahun yang lalu akibat perampokan" jawab gadis itu bernama Belle. Dari tinggi gadis itu, sepertinya gadis itu meninggal pada umur 15 tahun. Perampok yang kejam, pikir John setelah mendengar jawaban dari gadis itu.
John menatap sekeliling. Mungkin gadis itu, Belle, tau apa yang terjadi di tempat ini 5 hari yang lalu. "Hei, bolehkah aku bertanya?"
"Silahkan.."
"Apa kau tau apa yang terjadi di sini lima hari yang lalu?"
"Hmm... Biar kuingat" kata Belle lalu memejamkan kedua matanya. Walaupun suasana agak melunak, tetapi tetap saja tubuh Belle yang transparan masih membuat John tak tenang. "Jika tak salah, ada pembantaian disini. Seorang gadis dengan ... 3 orang preman?" Belle memejamkan mata dan menebak nebak apa yang terjadi tempo hari.
"Gadis? Gadis macam apa yang dapat membantai 3 orang preman sampai berceceran dimana mana?"
"Darimana kau tahu?"
John terdiam dengan mata yang menerawang tempat di sekelilingnya yang penuh darah berceceran dan organ tubuh.
"Tunggu dulu... Kau anak lelaki yang kabur seperti pecundang itu kan?"
John sangat ingin menentang pendapat Belle. Mana ada orang yang tenang melihat darah dan organ tubuh berceceran. Dan Belle pasti tak dapat merasakan kengerian di sekujur tubuhnya karena ia telah meninggal dunia. John tak menentang Belle karena ia cukup ketakutan membayangkan hari itu.
"Coba ambil bola kecil berwarna hitam di sana" Belle menunjuk bola hitam seukuran kelereng yang ada di tanah.
"Yang itu?" Tanya John dan Belle mengangguk. John mengambil bola kecil itu. Dan tepat saat ia menyentuh dan memegang bola itu, tiba tiba di sekelilingnya tampak sama persis dengan apa yang seharusnya ada di tempat itu. Organ tubuh dan darah yang berceceran tampak jelas di sekelilingnya. Bahkan jejak kakinya yang menginjak darah pada hari itu tampak mulai menghitam dan kering. "Apa apaan ini?" Tanya John dengan tatapan kosong ke arah Belle.
"Itu adalah bola yang menutupi kejadian hari itu" kata Belle lalu bergerak mendekati John. "Ketika kau menyentuhnya, kau dapat melihat sebuah kebenaran. Dan saat kau melepasnya, maka kau melihat sebuah kebohongan. Seperti orang yang melarikan diri dari kenyataan. Cantik bukan?" Belle menyeringai.
John menjatuhkan bola hitam itu, dan tiba tiba di sekelilingnya tampak normal. John tak berkedip sama sekali. Tatapan kosong yang ia tunjukkan tampak seperti sebuah tatapan keputusasaan. "Ini bohong... Kan??" Tanyanya lirih. Belle tak menyahutnya. John kembali mengambil bola itu dan sekelilingnya menjadi tempat penuh darah.Aku tak dapat lari lagi...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Girl [TAMAT]
FantasyJohn tak menyadari kesalahan terbesar dari tindakannya yang mendekati si gadis misterius, Feyla Milagre. Ia kembali menguak cinta pertama ayahnya, bertemu dengan malaikat maut penuh muslihat, dan bertemu dengan jodohnya yang sebelumnya ia sempat sal...