1. Malam yang Mengerikan

72.5K 2.7K 40
                                    

Seorang gadis cantik tengah melamun di ruang keluarga. Manik mata hazel-nya melirik ke arah jam dinding berharap waktu segera usai. Keluarganya tengah membahas perjodohan dirinya dengan pria--yang pernah menjadi musuh bebuyutan saat sekolah dahulu. Gadis itu merasa tak betah lagi, ia langsung pergi menuju ke kamarnya.

Tanpa basa-basi dara cantik ini langsung mengambil tas selempangnya dan pergi ke kafe tempat janjian dengan temannya.

Beberapa menit di perjalanan, motor yang ia kendarai mogok. Dengan berat hati perempuan itu mendorong motornya ke bengkel yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kulitnya yang putih pun bersinar diterpa cahaya mentari. Setelah memasukkan motornya ke bengkel, ia langsung menaiki taksi menuju Kafe Maori.
Terlihat seorang gadis yang tak kalah cantik darinya tengah menyesap milk tea. Ia langsung mendekat dan duduk di sofa bundar bewarna marun.

"Rein, dari mana saja kamu? Aku udah setengah jam di sini nungguin kamu." Silfy menatap intens Rein yang heran dengan penampilan gadis itu yang sedikit berantakan. Peluh terus menetes dari sudut dahinya.
Gadis itu langsung duduk sambil meminum minuman yang telah dipesan temannya.

"Ya, maaf. Motorku tadi mogok, terus aku ke bengkel dulu," jelas Rein tanpa memandang Silfy karena ia terus berkutat dengan ponsel samsungnya begitu selesai minum.

"Ohh, tapi kamu enggak kenapa-kenapa, kan?"

"Hmm." Rein menarik napas pelan.

"Kamu kenapa, sih? Ini pasti masalah perjodohan itu ya makanya kamu kelihatan frustrasi?"

"Ya ... seperti yang kamu tahu. Orang tuaku memintaku untuk segera menikah." Rein mengaduk bubble tea yang telah dipesan Silfy untuknya.

"Nanti kamu ke pesta sama siapa? Sama Diyo, ya?"

"Aku udah putus sama dia. Orang tuanya enggak setuju, kalau dia pacaran sama pegawai rendahan kayak aku, makanya aku mau dijodohin. Kalau kamu gimana?"

"Aku berangkat sama Mas Dimas kepala staf kita yang baru. Sabar ya, Rein. Semoga aja Tuhan memberikan pengganti yang lebih baik."

Rein hanya tersenyum getir menanggapi ucapan Silfy.

***

Jam telah menunjukkan pukul 8 malam pertanda acara inti dari pesta akan dimulai, yaitu pidato dari sang presiden direktur baru mereka. Rein tak tertarik sama sekali dengan hal itu, ia tampak gusar, matanya menjelajah ke mana-mana mencari sosok Silfy. Ia sangat cemas karena melihat Ben--pria yang dijodohkan dengannya--ternyata termasuk daftar undangan penting di sini. Dirinya tak ingin melihat sorot mata tajam milik Ben yang mengintimidasi itu, hanya dengan melihatnya saja sudah membuatnya takut. Apalagi, menikah dengannya.

Ben adalah musuhnya sejak SMP dan parahnya mereka 6 tahun satu kelas dari SMP ke SMA. Ingatannya kembali pada peristiwa 6 tahun silam. Di mana hujan sangat deras mengguyur jalanan, Rein memutuskan untuk menunggu hujan reda karena ia tak membawa payung. Dirinya memutuskan untuk menunggu di perpustakaan yang sudah sepi, yang hanya tinggal dirinya dan penjaga.

Tepat pukul 4 sore, perpustakaan akan ditutup. Rein pun melangkahkan kakinya menuju gerbang. Namun, ada seseorang yang menariknya ke sebuah ruangan berdebu dan gelap. Gudang.

"Ben, kamu  ... ma ... ma ... u ... apa?" Tubuh Rein gemetar, ia takut gelap.

"Menurutmu?"

"Ben, jangan bunuh aku!" Rein ketakutan saat Ben mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Siapa yang mau membunuhmu?" tanya Ben santai. "Aku kan cuma mau ajak kamu main."  

Rein tidak menjawab karena matanya terpejam seketika. Ia benar-benar lelah hari itu dan berakhir jatuh pingsan.

Ingatan itu terus berputar di memorinya. Suara alunan musik membuyarkan lamunannya, sehingga menyadarkannya dari kenangan masa lalu yang buruk.

Rein berusaha menjauh dari Ben. Ia pun mencari sudut ruangan paling pojok. Tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya. Lelaki berkulit tan dengan setelan jas armani dan jam rolex yang melingkar di tangannya, menunjukkan orang itu bukan orang sembarangan. Pasti termasuk jajaran orang penting, pikir Rein.

"Hai, aku Joe." Pria itu mengulurkan tangannya.

"Rein," jawab Rein dengan senyum yang dipaksakan.

"Kamu sendirian aja?" Rein hanya mengangguk.

"Mau minum." Pria itu menyodorkan segelas minuman berwarna kuning kecokelatan. Tanpa pikir panjang Rein menerima minuman itu dan habis dalam satu kali tegukkan. Ia merasa pusing, pandangannya buram. Tak lama kemudian, gadis bermata hazel itu tak sadarkan diri. Pria itu menyeringai. Kemudian, membopong tubuh gadis itu ke sebuah kamar VVIP di hotel itu. Lalu, dirinya pergi kembali ke hall tempat diadakan pesta.

***

"Go, gue udah dapet ceweknya," bisik Joe dengan raut wajah masam seraya memberikan key card. Pria yang dipanggil Go itu pun tersenyum.

"Var, seperti janji lo kemarin yang kalah harus kabulin permintaan kita," Dargo menatap remeh Varlend.

"Lo mau apa? Lo tahu kan, jabatan gue baru aja naik beberapa hari, jadi enggak bisa kasih lo restoran punya bokap gue. Gue nggak mau bokap nyabut jabatan gue," elak Varlend.

"Oke, gue paham. Besok gue pikirin mau apa," balas Dargo santai dengan diakhiri senyum masam, ia menyimpan rencana jahat.

"Ini, buat ngerayain naiknya jabatan lo," Joe memberikan minuman kepada Varlend. Mereka bersulang. Lalu, meminum minuman masing-masing.

Beberapa saat kemudian, Varlend merasa tak hanya tenggorokannya saja yang terbakar, panas. Entah kenapa rasa panas itu menjalar ke tubuhnya. Dargo tersenyum penuh kemenangan. Sementara Joe memandang iba sahabatnya.

"Lo masukin apa ke minuman ini?" Varlend menatap tajam Joe seraya mengusap dadanya. Perlahan-lahan peluh dingin mulai membanjiri keningnya.

"Berengsek," geram Varlend dengan tatapan nyalang.

"Lend, mending lo istirahat ke kamar gue aja," ucap Dargo yang dibuat seperhatian mungkin, ia mengeluarkan key card dan memberikannya kepada Varlend. Lelaki itu menerimanya, lalu berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh ke kamar yang tak jauh dari ballroom hotel sebelum hal yang tak diharapkan terjadi, dirinya mencoba mengendalikan diri sebaik mungkin, meski nyatanya sangat sulit.

***
Sinar mentari menyelusup melalui jendela yang terbuka. Angin pagi menyapu kulit halus Rein. Perempuan itu pun terbangun, ia tampak syok dengan kejadian semalam. Terlihat bercak darah di sprei. Perlahan tapi pasti air matanya turun membasahi pipi mulusnya. Bayang-bayang pria yang menggaulinya terus berputar di memorinya. Dirinya ingin berteriak, tetapi tak mampu. Perempuan naas ini mencoba berjalan memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai.

Rein bergegas membersihkan dirinya. Ia langsung pergi meninggalkan kamar tempat jahanam di mana dirinya kehilangan kesuciannya. Netra teduhnya pun menjelajah untuk mencari taksi, tetapi tak sengaja ia melihat Ben mengendarai mobilnya, yang berasal dari parkiran hotel itu.

Rein yang melihat taksi di seberang jalan pun menghentikan langkahnya. Dirinya langsung berbalik arah dan berjalan ke depan. Ia terlalu tergesa-gesa hingga sebuah motor menabraknya. Naasnya motor itu langsung melaju dengan cepat meninggalkannya.

Beberapa orang pun mengerumuninya. Membuat jalanan padat. Pria bernama Arvano dengan wajah kebarat-baratan itu turun dari mobilnya. Kemudian, membantu perempuan yang tak sadarkan diri itu. Lelaki yang mengaku sebagai dokter itu pun langsung memeriksa gadis itu. Denyut nadinya melemah. Darah terus bercucuran di kepalanya. Ia langsung membawa Rein pergi ke rumah sakit tempatnya bekerja.

Perempuan malang ini dibawa ke Rumah Sakit Harapan. Petugas rumah sakit segera membawanya ke UGD. Dokter pun bergegas melakukan tindakan medis.

***

Tbc....

Lanjut atau enggak?

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang