3. Tenanglah

31.7K 2K 22
                                    

Ben pun terdiam. Dirinya sungguh menyayangi lelaki yang dua tahun lebih tua darinya itu. Tak mungkin ia bisa pergi jauh darinya. Padahal dulu mereka selalu berbagi suka maupun duka.

"Kak, sebenarnya apa salahku?" tanya Ben ragu.

"Karena kau lahir dari rahim wanita yang telah membuat ibuku depresi berat!" jelas Varlend penuh amarah. Rahangnya mengeras seketika.

Pria itu menatap nyalang Ben. Setiap ia melihat mata milik adik seayahnya itu--selalu mengingatkannya pada wanita yang mengancamnya--waktu kecil dan membuat ibunya tertekan. Hari itu semua rasa sayangnya menguap begitu saja pada adik seayahnya--yang sebelumnya telah ia anggap sebagai adik kandung, meski berbeda ibu. Ibu kandungnya juga merawat Ben seperti anak kandungnya, tetapi apa yang Varlend dan ibunya dapatkan malah sebaliknya dari wanita yang diduga ibu kandung Ben.

Varlend dari kecil memang kurang kasih sayang orang tua. Waktu balita dirinya tinggal bersama neneknya dengan ajaran Katolik yang kental karena ibunya sakit-sakitan. Sementara ayahnya sibuk berbisnis. Meski dia tidak tinggal dengan orang tuanya, tetapi Varlend kecil begitu baik karena neneknya selalu mengajarinya banyak hal tentang kebaikan. Baru ketika sekolah dasar dia bisa merasakan kasih sayang ibunya. Namun, rasa itu tak bertahan lama sebelum kejadian naas membuat jiwa ibunya terganggu.

"Tapi, belum tentu wanita itu ibuku, Kak. Kata ayah, ibu kandungku berada di tempat yang jauh dan tak akan kembali kemari. Apalagi, Kakak dan Bunda juga belum pernah melihat ibuku bisa saja itu orang lain," elak Ben. Ia masih ingat sedikit tentang ibu kandungnya yang begitu lembut dan penyayang yang sakit-sakitan. Mereka berpisah karena orang tua ibunya tak mengharapkan Ben ada di dunia, karena mereka tak menyukai ayah kandung Ben--yang ternyata telah mempunyai istri.

Maka tepat saat umur enam tahun ayah Ben membawa Ben ke rumahnya bersama istri pertamanya. Istri ayahnya itu menerima Ben seperti anaknya sendiri karena pada awalnya Nyonya Herlina tahu bahwa suaminya mencintai orang lain, bukan dirinya karena perjodohan mereka bisa menikah. Namun, sebuah tragedi terjadi saat Ben berusia sebelas tahun yang membuat ibu tirinya trauma berat dan Varlend pun mulai membencinya.

"Kenyataannya wanita itu mengaku bernama Tara dan dia memakai kalung berbandul kunci yang merupakan pasangan dari kalungmu."

***

Burung-burung terus berkicau. Bersenang-senang menikmati hari. Sang mentari tersenyum menawan membuat dunia semakin cerah. Namun, di sudut taman ada seorang perempuan yang tampaknya sedang bersedih. Wajah cantiknya meredup. Dirinya memilih berjalan menjauh dari keramaian dengan perlahan-lahan sehingga berada di dekat jembatan. Ia pun memanjat pagar pembatas dan berteriak.

"Siapa pun kau pria brengsek! Aku bersumpah seumur hidupmu, kau tak akan tenang sebelum kau menebus dosamu!" teriak Rein berulang.

Semilir angin yang tenang berubah menjadi kasar. Surai hitam milik Rein pun tertiup, sehingga angin memperlihatkan leher jenjangnya. Tak hanya angin yang tak bersahabat, tetapi hujan juga mulai turun dari singgasananya.

Rein pun yang merasakan tetesan hujan membasahinya mencoba turun. Namun, saat ia membalikan tubuhnya tak pernah disangka pria yang paling ia takuti berada beberapa langkah dari hadapannya. Kekagetannya itu membuat ia terpleset dan hampir jatuh ke sungai. Untungnya, tangan sebelah kanannya memegang tiang pembatas jadi dia belum tercelup ke sungai. Ben yang melihat itu langsung berlari untuk menolong Rein.

"Nona, kemarikan tanganmu! Biar aku menariknya," ujar Ben halus.

Rein yang melihat Ben bertambah panik. Namun, ia pun berpikir untuk menerima uluran Ben karena hanya lelaki itu yang akan membantunya sekarang. Perlahan-lahan Ben menarik dan mengangkat tubuh Rein.

"Kau tak apa, kan?" tanya Ben.
Rein hanya mengangguk.
Ben pun mengamati wajah Rein saksama. Ia pun menyadari sesuatu hal wajah yang tak asing untuknya.

"Wajahmu tak asing."
Rein langsung menunduk. Ia takut Ben mengenalinya dan akan melakukan sesuatu yang diluar logika. Bagi Rein, pria di hadapannya adalah psikopat. Meski Ben tak sungguh-sungguh melukainya. Namun, bercandaan pria itu terakhir kalinya sangat mengerikan untuknya. Walau lelaki itu sudah minta maaf berulang kali.

"Kau wanitanya Vano, kan?"
Rein mengernyit bingung. Ia tak mengerti dengan ucapan Ben.

"Apa maksudmu?"

Tbc...

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang