Rumah bergaya indis yang sudah berdiri ratusan tahun yang telah mengalami rekonstruksi ini menyimpan banyak kenangan. Terutama untuk sepasang kekasih berwajah oriental khas orang China yang memiliki harapan penuh untuk membina rumah tangga di tempat ini, tetapi sayang itu hanyalah angan-angan saja karena sang wanita telah menikah dengan pria lain.Bangunan inilah yang diincar oleh Varlend. Pemuda itu hendak membeli rumah kuno, tapi mewah itu--untuk hadiah ibunya--setelah menyelesaikan proyeknya di Hawai. Lelaki ini berharap pemiiknya mau memberinya waktu satu bulan untuk membayar uang seharga 4,6 milyar. Namun harapannya sirna begitu saja, tatkala sang pemilik telah menjualnya kepada orang lain. Kini, Varlend hanya mampu memandangi bangunan penuh sejarah itu dari gerbang pintu. Mata elangnya membulat tak percaya mendapati Vano yang baru saja keluar dari rumah. Tak mungkin saudaranya pemilik baru rumah tua itu karena sudah dipastikan Vano tak mampu membelinya.
Varlend pun hendak mengejar Vano, tetapi ponselnya berdering dengan keras.
"Halo, Ayah," ujar Varlend malas karena kemarin baru saja mereka bertengkar.
"Ayah tak mau basa-basi, kau harus berangkat malam ini juga ke Hawai untuk menyelesaikan proyek pagelaran busana itu, jika kau masih mau menyandang nama Gerlad."
Belum sempat Varlend menjawab ucapan ayahnya, tetapi pria paruh baya itu sudah memutuskan panggilan telepon terlebih dahulu.
Sungguh hatinya tak rela meninggalkan Rein dan jabang bayi dalam kandungan Rein di saat kondisi Rein melemah. Namun, bagaimana lagi ia sudah berjanji untuk menyelesaikan proyek itu dan taruhannya adalah nasib ratusan ribu karyawan, jika proyek itu gagal total. Lelaki itu pun pergi ke rumah sakit untuk berpamitan kepada Rein, sebelum berangkat ke bandara.
***
Rein telah sadar, ia juga telah diperbolehkan memakan nasi. Namun, perempuan itu sekarang tengah beristirahat agar kondisinya cepat pulih, sehingga ia tak tahu Varlend datang. Pria itu pun duduk mendekat terus mengamati wajah tenang wanita di hadapannya. Dalam hati, ia berdoa agar perempuan itu baik-baik saja.
"Rein, aku pamit dulu ya. Jaga anak-anak kita." Varlend mengecup singkat perut Rein yang mulai membesar itu sebelum pergi.
Tepat setelah lelaki itu pergi, Ben datang untuk memberi vitamin. Rein pun perlahan membuka matanya. Pertama kali yang ia lihat adalah senyum milik Ben yang terlihat sangat tulus. Melihat wajah pemuda itu membuatnya dadanya sakit karena tak bisa membalas semua kebaikan Ben. Jika cinta boleh memilih bukan datang dari hati, maka ia pasti akan memilih Ben untuk menjadi orang yang ia cintai. Pria itu pantas dicintai untuknya.
"Ben, kau terkena sindrom tersenyum atau kau sudah gila," canda Rein dengan nada khas orang bangun tidur.
"Tentu saja tidak. Siapa sih orang yang tak tersenyum bahagia melihat bidadari secantik dirimu."
Mungkin wanita lain akan berbunga-bunga mendengar ucapan Ben, tetapi tidak untuk Rein--rasa bersalahnya semakin menjadi. Ia tak mau melukai Ben lebih dalam lagi dengan membiarkan pria itu mencintainya sepihak.
"Ben, ini sudah terlalu lama. Kau mencintaiku, tapi itu hanya sepihak. Sudah waktunya kau mencari wanita lain yang mencintaimu dan jauh lebih baik dariku." Rein memandang lekat manik cokelat itu berharap pemuda itu akan mengerti.
"Rein, aku sangat mencintaimu. Bahkan aku dengan ikhlas memberikan nama dan kasih sayang untuk anakmu, jika kau menikah denganku. Tak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisimu di hatiku."
"Yang saling mencintai belum tentu bersama, apalagi kau yang mencintaiku sepihak. Seyakin-yakinnya kau mengatakan kalau kau mencintaiku, tetapi jika Tuhan tak berhendak, lalu kita umatnya bisa apa?" Rein menatap Ben nanar, "lagi pula, kita memiliki banyak perbedaan Ben."
Ben terdiam. Ia menunduk dan merenung.
"Ada batas di antara kita. Kamu dan aku tak mungkin bersatu sampai kapan pun," ujar Rein kembali dengan nada lembut, berharap Ben mengerti.
Jantung Ben berdebar dengan tak keruan, dadanya terasa sesak. Ia paham sekali ucapan Rein. Bibirnya kelu tak sanggup berujar sedikitpun. Ia memilih untuk keluar dari ruangan inap Rein--mencoba menenangkan diri.
***
Ben terus memandang langit sore dengan raut wajah lesu. Embusan angin terus membelai tubuhnya yang memanas itu. Sedari tadi, pikirannya kacau."Dokter Ben, Anda kenapa?" tanya Kanaya yang heran dengan gelagat aneh Ben--yang memandang kosong langit sore--yang kian menghitam.
"Aku hanya bimbang dengan hatiku. Aku sangat mencintai Rein, tapi dia tidak. Itu sangat menyakitkan."
Kanaya hanya diam mendengar ucapan Ben. Ia mengerti benar apa itu cinta bertepuk sebelah tangan karena ia juga mengalaminya.
"Kau diam saja, pasti karena kau tak mengerti," ujar Ben mengalihkan pandangannya ke gadis di sampingnya yang tengah memandang pohon rindang di samping gerbang keluar.
"Tentu saja, saya mengerti. Cinta bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan, tetapi lebih menyakitkan lagi, jika kita tidak mendapatkan kasih Tuhan. Meski cinta saya bertepuk sebelah tangan, tapi saya tetap bersyukur karena saya yakin, Tuhan pasti telah memilihkan jodoh yang terbaik untuk saya," sahut Kanaya dengan nada lirih, takut Ben tersinggung, "kadang orang menikah, tak harus dengan cinta. Cukup kepercayaan dan saling mengerti, maka bahtera rumah tangga yang indah akan terbina dan cinta itu akan datang sendirinya bukan?"
"Tapi, yang saling mencintai saja bisa bercerai, lalu bagaimana dengan orang yang tak saling mencintai?" Ben menatap Kanaya penasaran.
"Jika kita menikah dengan alasan karena cinta, maka rumah tangga itu akan terus berjalan dengan lancar kalau cinta itu masih ada. Namun kalau kita menikah karena mengharap ridho' Allah, meski cinta itu tidak ada, InsyaAllah pernikahan itu tetap berjalan dengan lancar."
Ben mencoba mencerna ucapan Kanaya. Benar sekali ucapan Kanaya itu, pikirnya. Dirinya bertekad untuk berhenti mengejar Rein karena sekarang ia sadar kalau sampai kapan pun perempuan itu tak akan mencintainya dan menerimanya.
"Dokter, banyak orang pula menikah dengan orang yang mereka benci, bukan yang mereka cintai karena garis takdir tak bisa diingkari. Kadang juga ada orang baik-baik yang menikah dengan orang yang tidak baik karena semua sudah menjadi pilihan kita untuk menerimanya atau tidak. Jodoh yang sebenarnya itu di akhirat, di dunia kita masih bisa mengusahakan, tetapi di akhirat sudah ditentukan oleh Sang Pencipta."
"Maksudmu?"
"Di dunia orang bisa memilih kriteria orang yang akan mereka nikahi. Tak peduli itu baik atau buruk untuk kita. Asalkan cocok bisa langsung menikah, jika di akhirat tentu saja tidak begitu." Kanaya mengehela napasnya sejenak, "misalnya, ada seorang suami istri yang di dunia saling mencintai, tapi apakah di akhirat mereka akan bersama? Jika salah satunya ternyata seorang pendosa, pasti yang satu akan masuk surga dan yang satu masuk neraka. Lalu, apakah Tuhan akan membiarkan umatnya yang bertakwa kesepian tanpa pendamping di sana, tidak bukan?"
Ben terkejut mendapati sosok perempuan yang tengah berlari ke arahnya dengan keringat di pelipisnya.
"Ben, kondisi Rein memburuk."
Ben pun langsung berlari menuju ruang inap perempuan yang ia cintai itu dengan menarik Aira. Kini, ia dapati Rein yang tengah merintih kesakitan memegangi kepalanya. Ia merasa menyesal meninggalkan perempuan itu sendirian.
'Tunggu pembalasanku, Vano.'
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Romance-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015