Kedua saudara itu saling memandang lekat. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Namun, Vano tetap pandai mengendalikan ekspresinya. Ia tetap terlihat tenang, meski sebenarnya pikiran dan hatinya tidak.
"Katakan sejujurnya, Lend. Sebenarnya kau kan ayah dari jabang bayi yang tengah di kandung Rein?" ujar Vano halus, tetapi terdengar tegas.
"Itu bukan urusanmu," jawab Varlend kesal.
"Tentu saja urusanku. Jika, kau tak mau mengakuinya. Aku rela mengambil tuduhan itu." Vano menatap Varlend lekat dengan suara tegas, "Lagi pula, aku tidak akan merasa rugi bila menikah dengannya. Rein adalah perempuan yang baik. Aku yakin ia bisa mendidik anaknya dengan baik agar tak mewarisi sifat burukmu itu. Jangankan nama untuk anakmu itu bahkan aku rela memberi nyawaku untuk melindungi mereka."
Varlend mengepalkan jemarinya. Namun, ia tak mampu memukul saudaranya itu. Bahkan tak ada alasan untuk marah untuk perakataan pria itu semuanya benar.
"Kau tidak bisa menikahinya dan memberikan namamu untuk anakku. Bahkan Ben yang mencintainya saja sejak remaja tak pernah ditanggapi, apalagi kau yang baru ia kenal. Belum tentu perasaanmu ini cinta bisa saja iba bukan?" Varlend menatap tajam Vano, ia tak terima dengan ucapan lelaki itu.
"Kau salah, Lend. Bahkan aku, kau dan Rein sudah mengenal sejak kecil. Mungkin kau lupa karena dalam otakmu hanya ada iblis itu. Dan aku bertemu kembali dengan Rein, ketika SMA saat ia menjadi juniorku di klub musik. Kenyataan itu baru kuketahui beberapa hari ini dan juga kebenaran kau memperkosanya, setelah aku menyuruh detektif untuk menyelidiki siapa Rein sebenarnya."
Varlend terdiam seketika, entah kenapa debaran jantungnya menjadi tak menentu. Ada sesuatu yang aneh menyelimuti pemikirannya.
"Saat aku bertemu dengan Rein kembali, aku merasa dia cinta pertamaku saat remaja." Vano menjeda kalimatnya seraya tersenyum singkat, "kau tahu mengapa aku dan Ben bertengkar sampai saat ini? Itu karena kami mencintai orang yang sama. Saat aku menunjukkan foto Rein, ketika SMA kepada Ben, ia langsung mengatakan hal buruk tentang Rein, agar aku tak mencintai perempuan itu. Namun, hatiku tak bisa dibohongi kalau Rein itu sebenarnya gadis yang baik," jelas Vano santai.
"Tap--" Belum sempat Varlend membalas ucapan Vano. Lelaki itu berujar kembali.
"Aku yakin Rein tidak akan menolak pinanganku dan saat itu terjadi aku harap kau tak menangis. Karena aku sudah sering melihatmu seperti gelandangan yang tak terurus." Vano tersenyum masam sebelum berlalu meninggalkan Varlend.
***
Gereja Katolik yang tak jauh dari rumah sakit Harapan ini tampak sepi. Tak terlihat ada jemaat di sini, tentu saja karena hari telah menggelap sehingga bangunan kokoh yang tertata rapi di setiap sudutnya tampak bersih, meski setiap hari banyak orang datang untuk bersembahyang dan berdoa pada Sang Pencipta alam semesta ini. Pria bermata sipit yang biasanya akan tersenyum tenang untuk melangkah memasuki tempat beribadah, kini malah tampak tak bersemangat.
Biasanya bangku paling depan yang akan menjadi pilihannya untuk duduk berdoa dengan khidmat, namun lantai yang begitu dingin tepat di tengah ruangan yang menjadi tempat bersimpuhnya. Derai air mata basahi paras rupawannya. Baru kali ini lelaki itu bisa berdoa sambil menangis.
"Tuhan, apakah masih ada ampunan untukku?" lirihnya seraya menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan, terlihat wajahnya pias. Keringat dingin bercucuran dari dahinya.
"Pantaskah aku mendapat pengampunanmu. Aku sangat berdosa Tuhan telah menghancurkan masa depan seorang gadis yang begitu baik. Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki kesalahanku?"
"Aku takut jika berkata jujur ia akan membenciku dan memisahkan aku dari anakku. Aku takut ayah mencabut namaku dari daftar keluarga. Aku telah mengecewakan ibuku. Jika, semua orang tahu pasti nama baik kedua orang tuaku yang akan rusak. Aku tak mau mendengar ada yang menghujat ibuku."
"Justru jika kau tak mengakui kesalahanmu, maka kau akan kehilangan anakmu untuk selamanya. Mungkin nama keluargamu tak hancur tapi seumur hidupmu akan dihantui rasa bersalah." Silfy berujar dengan lirih, tetapi masih dapat di dengar Varlend. Sontak lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Silfy.
"Tanyakan pada hati kecilmu! Apa kau rela anakmu akan memanggil orang lain dengan sebutan ayah? Apa kau rela anakmu mendapatkan kasih sayang dari orang lain?" ujar Silfy lagi dengan santai, tetapi nada meremehkan sangat kentara. Perempuan itu diam-diam mengikuti Varlend yang baru keluar dari ruangan Rein sampai ke gereja.
"Kau?" Varlend menatap Silfy penuh keterkejutan. Setiap saat gadis itu selalu muncul dan selalu menerornya.
"Aku ingatkan satu hal Tuan. Orang menikah bisa bercerai, orang berpacaran bisa putus, orang berteman bisa menjadi bermusuhan dan akan berganti status menjadi mantan istri, mantan pacar, dan lawan. Namun, apakah ada yang namanya mantan anak? Tidak. Sebesar apa pun kau berusaha mengungkiri anakmu, tapi darahmu akan tetap mengalir di tubuhnya." Silfy melipat kedua tangannya di depan dada dengan senyum masam.
"Kau mengakui atau tak mengakui sama saja dia anakmu. Tapi, jika kau mengakuinya, kau bisa bersamanya, melihatnya berkembang, merawat dan menjaganya. Namun kalau kau tak mengakuinya, kau tak punya alasan untuk sekedar membayangkan bersamanya. Kebahagian terbesar seorang anak, ialah bisa mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya," ungkap Silfy kembali dengan nada tegas.
Varlend hanya menatap gadis itu tak berani membantah setiap ucapan Silfy.
Silfy pun melangkah ke arah pintu cendana yang diukir dengan bunga mawar itu--meninggalkan Varlend dalam kebimbangan. Lelaki berwajah oriental ini pun bersujud memohon pada Sang Kuasa agar ia bisa menebus kesalahannya. Beberapa saat kemudian ia berdiri merapikan pakaiannya. Lalu, berlari keluar. Seolah-olah ia baru saja terlahir kembali ke dunia. Tak peduli dengan petir yang menggelegar, ia terjang derasnya hujan untuk segera menemui Rein.
Tbc..
Yeayyy update lagi...
Kasih semangat bua
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Romance-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015