19. Bukan Dia

17K 1.4K 52
                                    

Rintik air hujan basahi kemeja Vano. Lelaki itu terengah-engah karena berlari. Tak peduli dengan bulir-bulir air hujan yang kian deras. Dalam otaknya hanya satu memastikan keadaan tantenya baik-baik saja.

Sepanjang koridor hanya satu atau dua perawat yang Vano jumpai hingga masuk dalam kamar inap bibi tersayangnya. Sosok paruh baya itu kedua tangannya diikat di sisi brankar. Air mata terus menitik di sana sembari menyerukan nama anak semata wayangnya.

"Bibi, ini Vano." Pria bermata jamrud itu mendekati bibinya. Hatinya berasa pedih menyaksikan sosok rapuh itu. Melihatnya terluka sama dengan melihat ibunya terluka. Sejak kecil ia sudah menganggap bibinya seperti--ibu kandungnya--yang kasihnya tak sempat ia rasakan di dunia, karena tepat beberapa menit setelah melahirkannya wanita itu menutup mata selamanya.

"Anakku bukan penjahat, anakku adalah anak baik-baik," ujar wanita cantik itu tanpa mempedulikan keberadaan Vano.

"Iya, Varlend anak baik dan akan selalu menjadi orang baik. Bibi tenang, ya. Semua akan baik-baik saja," Vano membuka kedua ikatan bibinya perlahan-lahan.

"Iya, Varlend anak baik tak mungkin berbuat jahat, kan?" Wanita tua itu tertawa sambil menitikkan air mata.
Vano peluk erat penuh kasih bibinya itu. Dekapan seorang ibu yang ia rindukan, kini bisa ia rasakan kembali meski dalam kondisi tak baik.

"Tapi, itu dulu. Varlend bukan anak baik lagi. Aku tak menyangka akan melahirkan seorang penjahat," isak wanita itu mengingat sebuah kenyataan pahit yang tak ia harapkan.

"Maksud Bibi apa?" tanya Vano penuh heran sambil melepaskan pelukannya.

"Varlend menghamili kekasih adiknya."

Vano tak menyangka wanita itu sudah mengetahui kebenaran perbuatan anaknya. Ia bertanya pada hatinya, siapa yang memberi tahu kebenaran itu. Tak mungkin sepupunya itu berani mengatakan kebenaran tercela yang ia buat.

"Siapa yang mengatakan itu?"

"Teman Varlend. Anakku sekarang sudah menjadi penjahat, dia tak sayang pada keluarganya. Aku benci Varlend. Varlend bukan anakku lagi!" Ibu kandung Varlend tak hanya berteriak, tetapi ia membuang bantal, selimut dan barang-barang di sekitarnya. Vano mencoba menenangkan wanita itu, tetapi hasilnya nihil.

***

Jingganya langit Hawai begitu memesona. Namun tak mampu membuat seorang Varlend tersenyum. Pandangannya kosong menatap laut. Hingga, ia tak sadar kedua sosok yang tak asing untuknya tengah berdiri tak jauh dari tempat ia berbaring di pasir.

"Varlend, ternyata kau di sini teman," ujar pria berbaju warna biru tua senada dengan rok pakaian pantai istrinya.

"Dargo," ujar Varlend penuh heran. Dunia begitu sempit hingga mempertemukannya dengan orang yang menghancurkan hidupnya dengan berlandaskan persahabatan.

"Kau tak mau menyapaku, Varlend?" ucap wanita cantik berwajah baby face yang begitu ia cintai.

"Hai, Let. Sudah kan kau puas?" Varlend memandang Letta dengan wajah sengit.

"Jadi, ini cara barumu menatap istriku," ejek Dargo dengan senyum masam khasnya.

"Terserah."

***

Ben terus berdoa kepada Sang Kuasa untuk melindungi Rein. Kondisi wanita itu memburuk karena beban pikiran yang bertambah setiap harinya. Lelaki ini sudah memutuskan untuk melupakan Rein. Ia tak mau menjadi daftar penganggu dalam pikiran Rein karena itu akan semakin memperburuk keadaan.

Biarlah cintanya hanya menjadi sejarah saja. Kini dalam pikirannya hanya satu, bagaimana membuat Rein bahagia. Maka setelah wanita itu bahagia tinggal gilirannya mencari kebahagian sendiri. Seperti janjinya, ia akan membalas Vano yang ia kira sebagai penyebab kehancuran hidup Rein--yang kenyataannya perbuatan itu dilakukan oleh kakaknya itu.

Kini kedua lelaki bersaudara itu saling tatap-menatap. Yang satu menatap penuh tanya dan yang satu menatap penuh kebencian.

"Vano, mulai detik ini aku pastikan hidupmu tak tenang seperti kau menghancurkan Rein," ujar Ben seraya mencengkeram bahu saudara sepupunya itu.

"Memangnya apa yang bisa kau lakukan?"

"Apa saja."

"Bahkan memukulku saja, kau tak berani!"

Satu pukulan mendarat di wajah Vano, tetapi pria itu tak membalasnya. Meski rasa sakit yang dideritanya sangat nyata terasa di pipi. Tak ia sangka Ben benar-benar memukulnya hingga babak belur.

"Ini baru peringatan untukmu!"

Ben berlalu pergi meninggalkan Vano. Tak jauh dari sana, ada seorang gadis yang menyaksikan peristiwa itu. Perempuan itu mencari es batu untuk mengompres Vano.

"Dokter, biar saya obati lukanya," ujar Kanaya dengan membawa sebaskom es beserta sapu tangan.

"Auww, pelan-pelan." Vano merintih kesakitan.

"Kenapa Dokter mengambil tuduhan yang tak Dokter lakukan sampai membahayakan nyawa Dokter sendiri."

Vano terbelak kaget dengan ucapan asisten Ben itu.

"Maksudmu apa?"

"Saya mendengar ucapan Dokter Ben dan Aira saat saya ditugaskan menjaga kamar Nyonya Reiniza. Dokter Ben mengatakan bahwa Anda ayah dari anak yang dikandung Nyonya Reiniza. Padahal sebenarnya ayah dari jabang bayi itu adalah pria yang bersama Dokter Vano kemarin, karena pria itu sendiri yang mengatakan dia ayah kandung dari jabang bayi yang dikandung Nyonya Rein."

"Ada banyak alasan aku mengambil tuduhan ini. Pertama, aku mencintai Rein. Kedua, Varlend tak mau bertanggung jawab. Ketiga, jika Ben tahu Varlend yang melakukannya, maka ia bisa hancur karena Ben sangat menyayangi kakaknya dan aku tak mau kedua kakak beradik itu saling membenci. Keempat, ibunya Varlend seperti ibuku sendiri dan aku tak mau melihatnya kecewa, tapi ternyata aku gagal, beliau sudah tahu kebenarannya."

Kanaya menatap kagum Vano tak ia sangka ada orang sebaik Vano yang mau mengorbankan nama baiknya, asalkan keluarganya tetap utuh. Namun, sayangnya pria itu tak terlahir untuknya.

"Tapi, bagaimana jika ayah kandungnya bayi itu mau bertanggung jawab?" Kanaya menatap Vano lekat.

"Tentu saja, aku akan mengupayakan agar mereka bersatu. Jika keduanya saling menginginkan. Aku tak berharap cintaku terbalas yang terpenting aku sudah berusaha memperjuangkannya, kalau dia bukan jodohku aku ikhlas karena Tuhan lebih tahu yang terbaik untuk umatnya."

"Semoga kalian berjodoh," ujar Kanaya tulus, meski hatinya terasa sakit.

Tbc...

Boleh tanya apa yang kamu pikirkan saat membaca Am I Pregnant? untuk pertama kali? Kamu dari awal duga cerita kayak apa sih?

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang