Sepasang suami istri ini tak kunjung berhenti berdebat. Mereka saling bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Sang wanita hanya ingin kebenaran yang akan terjadi bukan kebohongan lagi. Namun, sang lelaki tak kunjung mengerti maksud dari istrinya. Dia masih terdiam bersama rintikan sore.
"Dar, tolong bebasin Varlend. Dia itu enggak salah. Kamu udah denger sendiri kan kalau Diyo yang nggak sengaja merusak eksperimennya Varlend," ujar Letta menatap Dargo penuh harap.
"Lalu, aku harus berkata apa kepada polisi? Haruskah aku mengakui kalau semua itu manipulasi? Kemudian, aku di penjara dan kau bersenang-senang dengan Varlend, huh?" ujar Dargo dengan nada menaik sambil mencengkeram bahu istrinya.
"Tidak. Aku tak sejahat itu. Kau hanya hadir sebagai saksi kalau semua ini ternyata salah paham. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Aku tak akan meninggalkanmu. Kau suamiku. Lagi pula, Varlend berhak bahagia bersama anaknya."
Dargo tersenyum sinis menatap iris biru itu."Kau pikir aku bodoh. Kau dan Varlend saling mencintai selama ini. Varlend mungkin tak salah dan di sini semua akan menganggap aku yang jahat bukan? Aku melakukan ini karena sayang pada adikku. Jika, Varlend bukan pelakunya kenapa dulu ia yang mengatakan itu salahnya di depan para guru? Jadi, ini tak sepenuhnya salahku jika dia yang aku salahkan perihal kematian adikku."
Dargo menutup pintu dengan kasar hingga terdengar bunyi yang keras. Letta bingung harus bagaimana. Dia tahu membujuk Dargo tak semudah menenangkan anak kecil dengan memberi permen.
***
Vano menatap tubuh yang tergeletak di brangkar dengan tatapan bersalah. Ia tak pernah menyangka akan terjadi hal yang buruk menimpa gadis sebaik itu. Sejak beberapa hari gadis itu tak sadarkan diri Vano terus menemaninya di saat ada waktu luang. Bunyi ponsel di layarnya menyadarkannya dari alam bawah sadar.
Sebuah pesan mengharuskannya pergi meninggalkan ruangan bernuansa putih itu dengan perasaan yang tak pasti. Tepat sosok itu pergi gadis cantik itu terbangun dari alam bawah sadarnya. Beruntungnya Kanaya segera masuk.
"Kanaya," lirih Aira dengan suara serak.
"Dokter Aira sudah siuman. Kalau begitu saya panggilkan Dokter." Kanaya hendak pergi, tetapi tangannya ditarik oleh Aira.
"Jangan. Aku ingin minta tolong padamu."
Kanaya mengernyitkan dahinya kebingungan. Dia segera mencari kertas dan pena setelah disuruh Aira dan kembali ke ruang inap Aira setelah mendapatkannya.
"Dokter, ingin saya menuliskan apa?"
"Tolong tuliskan surat untuk Vano."
Kanaya pun menulis,Dear, Vano
Van, aku sangat mencintaimu hingga saat ini. Kau tahu semua syair dan lagu yang sering aku tulis dan disimpan di rumah pohon markas kita itu semua tentangmu. Aku harap kau bahagia, jika mengetahui kebenaran Ziffany masih hidup. Dia besok akan pergi ke Denmark jam sepuluh pagi. Aku harap kau bisa memutuskan pilihan terbaikmu menikah dengan Rein atau kembali bersamanya.
Xoxo,
Aira"Terima kasih, kau mau menuliskan surat itu untukku. Tolong berikan itu pada Vano besok, sebelum dia mengucap janji suci di altar."
"Akan kuusahakan."
Kanaya langsung memasukkan surat itu ke kantongnya. Tak lama kemudian Ben masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk Aira.
"Ai, kau harus melakukan operasi besar. Jika tidak kau bisa mengalami kelumpuhan. Tapi, masalahnya ada kemungkinan besar operasi ini gagal dan berujung kepada kematian."
"Aku tahu. Lakukan saja operasi itu. Masalah hidup dan mati hanya Tuhan yang menentukan. Setidaknya kita sudah berusaha."
"Baik besok pagi, dokter kepala akan melakukan operasi untukmu."
***
Persidangan Varlend berlangsung dengan baik. Akhirnya hakim memutuskan ia tak bersalah, setelah kesaksian Dargo. Lelaki itu tak disangka memutuskan membantu Varlend setelah berdebat panjang dengan istrinya.
Seulas senyum yang pertama kali diperlihatkan Varlend, saat ia keluar dari pengadilan. Dia langsung memeluk satu per satu temannya. Di sana tak ada keluarganya satu pun yang datang termasuk Ben. Adiknya itu tengah sibuk memeriksa dan merawat pasien selama beberapa hari ini.
"Dar, makasih buat bantuan lo," ujar Varlend tulus.
"Seharusnya lo nggak usah ngucapin terima kasih sama gue. Gue banyak salah sama lo," jawab Dargo.
"Ya, gue tahu. Tapi, semuanya udah terjadi gitu aja. Terus gue harus apa? Menghajar lo? Itu nggak nyeselein masalah, kan. Kita mulai semuanya dari awal, Dar." Varlend menjabat tangan Dargo sebagai tanda pertemanan mereka kembali.
Dargo menatap haru sahabatnya. Dia benar-benar salah meragukan kesetiaan Varlend padanya. Ingin ia kembali memutar masa lalu berbagi tawa dan tangis bersama pria bermata sipit itu.Varlend pun memutuskan segera mencari taksi, setelah dompet dan bajunya diberikan oleh sipir penjara untuk menemui Rein dan anaknya. Ia sudah sangat rindu kepada mereka. Tepat saat ia keluar dari pintu belakang, Rein datang setelah berhasil mengelabuhi ibunya untuk menemui Varlend, tetapi waktu tak berpihak pada mereka.
***
Varlend telah berdiri di depan rumah megah kediaman keluarga Ardian. Ia memencet bel dengan penuh harap Rein yang membuka pintunya. Namun, Nyonya Ardian-lah yang membukanya dengan tatapan tak suka.
"Kenapa kau kemari?" tanya Nyonya Ardian memandang sengit Varlend.
"Saya ingin bertemu Rein. Ada banyak hal yang saya ingin bicarakan," jelas Varlend sambil berlutut.
"Rein, tak ada di rumah. Tolong jangan ganggu Rein lagi, jika kamu masih menghormati saya. Rein sudah bahagia. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Vano. Mereka saling mencintai. Mengertilah Varlend, anak saya sudah banyak terluka karenamu. Biarkan dia bahagia."
Nyonya Ardian menyuruh Varlend berdiri dan ia satukan kedua tangan di depan dada untuk memohon pada Varlend agar menjauhi anaknya. Varlend hanya terdiam dan ia tak bisa melihat wanita itu memohon seperti itu hingga menangis.
Varlend pun memutuskan pamit. Kemudian, ia pergi menuju rumah sakit jiwa untuk menemui ibunya. Namun, hasilnya nihil. Ibunya telah dinyatakan sembuh dengan rawat jalan dan telah pulang ke rumah besar mereka. Ada senang dan sedih pula yang terlintas di hati Varlend. Senang karena ibunya sembuh. Sedih karena ia akan kesulitan menemui ibunya, setelah ayahnya mencoret namanya dari keluarga Gerald.
***
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Romance-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015