23. Kebenaran yang Terungkap

18.1K 1.4K 46
                                    

Malam bertaburan bintang tampak indah, sepertinya waktu berpihak kepada seorang pria bermata sipit yang tengah mendekorasi tempat itu menjadi sangat memesona. Wanita mana yang tak akan terbawa suasana ketenangan malam yang didesain romantis. Lilin merah berbentuk hati mengitari meja makan di pantai. Ombak bersahutan santai dan angin yang berembus terus berembus dengan tenang tak berlarian. Aroma mawar menguar di sana karena bunga-bunga itu diletakkan di pasir dengan membentuk dua kata namun penuh makna.

'Marry Me!'

Perempuan yang ditunggu Ben telah datang dengan setelan seragam perawatnya. Laki-laki itu pun langsung mengambil penutup mata. Ia pakaikan kepada gadisnya, bukan, tetapi calon istrinya.

"Dokter, mau membawaku ke mana?" tanya Kanaya keheranan. Ben hanya diam terus menggandeng erat Kanaya hingga sampai ke tempat yang telah ia hias.

"Kamu boleh membuka penutup matanya."

Kanaya menatap tempat romantis itu tak berkedip sekalipun. Apalagi, ada bunga mawar yang membentuk kata-kata sakral. Gadis ini terharu tak pernah ia pikirkan sedikitpun akan dilamar dengan cara seromantis ini. Selama ini hanya berharap kelak bisa mendapat calon suami yang menyayanginya selalu.

"Dokter sedang tidak bercanda, kan?" Kanaya menatap lekat Ben berharap ini bukanlah permainan untuk menghiburnya.

"Kenapa? Kamu tak suka? Aku sungguhan," jawab Ben mantap disertai senyuman menawan khasnya.
Kanaya menitikkan air mata masih tak percaya dengan kenyataan manis ini.

"Kenapa kamu menangis? Apa aku menyakitimu. Kamu boleh menolakku, jika ini membebanimu. Seharusnya aku tahu diri bahwa aku tak pantas untuk gadis sebaik dirimu." Ben menatap lekat Kanaya.

"Namun, setidaknya aku mau jujur, aku mulai menyukaimu. Mungkin ini terlalu cepat tapi itu nyatanya. Aku tak mau seperti di masa lalu terlalu pengecut untuk mengatakan kejujuran kepada orang yang kucintai, sehingga orang lain yang mendapatkan hatinya," lanjut Ben dengan nada serius.

"Maaf, Dokter--" Belum sempat Kanaya menyelesaikan ucapannya Ben telah memotongnya.

"Tidak usah minta maaf. Kamu punya hak menolakku. Jangan menangis lagi. Aku tak mau malaikat mengutuk langkahku karena telah membuat seorang gadis menangis," canda Ben untuk menutupi kegelisahannya.

"Tidak, aku tidak menolak Dokter. Ini air mata bahagia. Jadi, malaikat tak akan mengutuk setiap langkah Dokter."

"Jadi, kamu mau menikah denganku?" Mata sipit itu pun berbinar karena senang. Senyum merekah menghiasi bibir Ben.

"Dengan syarat Dokter harus segera membawa orang tua Dokter untuk melamarku."

"Tentu, setelah keadaan membaik, ya. Soalnya keadaan keluargaku sedang tidak baik. Tunggu sampai kakakku bebas. Sebenarnya aku merasa tak yakin mau melamarmu di saat keluargaku sedang dalam keadaan buruk, tapi kata Vano kamu mau dijodohkan. Karena, ibumu ingin kamu segera memberi cucu untuknya. Aku takut kehilangan kesempatan. Makanya, aku langsung melamarmu tanpa persiapan yang matang."

"Aku mengerti. Tak usah minta maaf, ini lebih dari sekedar cukup."

Hari itu adalah waktu terindah untuk Ben setelah terjebak cinta bertepuk sebelah tangan. Keikhlasan hatinya melepas Rein membawakan hasil yang manis. Seandainya dari dulu ia sadari bahwa obsesi hanya akan membuatnya terbelenggu dalam gejolak cinta yang tak pasti. Maka, mungkin ia bisa menemukan cinta sejatinya dari lama.

Dulu dia mencintai Rein sepenuh hati tetapi caranya yang salah. Ia selalu mencoba membuat pria lain yang mengejar Rein menjauh agar dia dapat memiliki Rein. Namun, apa nyatanya Rein tak pernah mencintainya. Cinta itu tidak dapat dipaksakan karena datangnya dari hati, hal itu kini Ben sadari.

***

Varlend memandang malas wanita yang berkunjung ke sel tahanannya. Sudah beberapa hari wanita itu selalu mengucapkan kata maaf hingga Varlend muak mendengarnya. Jujur dia sudah memaafkan sejak lama akan kesalahan perempuan itu. Namun setiap melihat mata itu, ia kembali mengingat pengkhianatan besar yang merubah jalan hidupnya.

"Sekali lagi, aku minta maaf Lend," ujar Letta dengan pandangan nanar. Perempuan itu tak sanggup melihat kondisi lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu sangat tak terawat. Hatinya seperti tercabik-cabik.

"Jika aku memaafkanmu, apa kau akan pergi?" tanya Varlend dengan suara serak. Tinggal empat hari di penjara membuat fisiknya melemah karena tak biasa tidur di lantai yang begitu dingin.

"Aku akan pergi setelah kau bersatu dengan anakmu. Aku janji akan membebaskanmu."

"Untuk apa kau membebaskanku? Bukankah kau senang jika aku menderita?"

"Lend, selama ini aku sakit melihatmu tersiksa. Pura-pura membencimu padahal aku mencintaimu sangat. Aku mencintai sepenuh langit dan bumi. Sedikitpun tak pernah kulupakan namamu di dalam doaku." Letta mulai terisak. Air mata yang ia tahan tak bisa diajak kompromi. Sungguh ia tidak mau Varlend melihatnya dalam kondisi seperti itu.

"Pembohong!"

"Tidak, Lend. Untuk yang satu ini aku jujur."

"Jika kau mencintaiku sepenuh langit dan bumi, lalu kenapa kau tinggalkan aku di hari pernikahan kita?"

"Aku terpaksa. Keluargaku punya hutang budi dengan Dargo. Jika, aku menjelaskan pun kau tak akan mengerti. Intinya aku dan Joe berbuat keji padamu itu atas paksaan Dargo. Ini kebenarannya, Lend."

Letta pun keluar dari penjara dengan hati yang kacau. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menariknya.

"Joe, lepasin." Letta mencoba melepaskan tangan Joe yang mencengkeram tangannya erat.

"Oke, gue lepasin. Lo ngapain nemuin Varlend? Mau cari mati, huh?"

"Joe, gue dah capek jadi bonekanya Dargo buat nyiksa pria yang sangat gue cintai. Apa lo masih sanggup nyiksa sahabat lo sendiri, huh?"

"Gue juga sakit, Let. Tapi, nyawa adik gue di tangan Dargo. Gue bisa apa? Kalau lapor polisi, pasti psikopat itu bunuh adik gue. Gue bersyukur banget keluarganya Rein enggak nuntut Varlend karena semua ini terjadi udah settingannya Dargo. Varlend korban, gue, lo semuanya korban. Tapi, si berengsek itu belum puas kalau belum liat semua orang benci Varlend.

"Lo tahu enggak perasaan gue waktu nemuin mamanya Varlend? Gue ngerasa jadi anak durhaka karena gue ikut dalam kesalahan satu malamnya Varlend. Tapi, jika kita bantuin Varlend terus nyawa keluarga kita gimana? Gue pengen banget teriak Varlend itu orang baik yang jadi korban iblis, di wajahnya si tengik itu," ungkap Joe.

"Gue bakal bantuin Varlend apa pun itu tanpa ada korban," ujar Letta mantap tanpa ada satupun titik keraguan di matanya.

"Caranya?" Joe menatap Letta tak yakin.

"Diyo, satu-satunya orang yang bisa nolong kita."

Tbc...

Mau update kemarin tapi work enggak bisa dibuka, jadi balas komentar pakai akun lain.

Mau update lagi???

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang