6. Entahlah

23.9K 1.7K 25
                                    

Gemerlap diskotik menjadi pilihan Varlend untuk membuang rasa lelahnya. Ia terduduk di sudut yang paling ujung--menyendiri. Beberapa lady escort datang mencoba menggodanya, tapi tak satu pun ia tanggapi. Dirinya bukan pemain perempuan. Jadi, percuma saja mereka menggodanya, hasilnya akan nihil.

Varlend terus meneguk tequilanya. Namun, sedari tadi ia juga tak dapat menghilangkan bayangan Rein yang menangis. Lelaki itu sekarang sadar bahwa wanita itu memang tak mengenalinya. Ada perasaan lega setelah mengetahui itu, tetapi ia juga merasa berdosa besar kepada perempuan yang sama sekali tak bersalah itu. Namun, bayangan amarah ayahnya selalu menghantuinya. Belum lagi hatinya masih terikat oleh gadis lain. Kenyataan itu membuat kepalanya berdenyut-denyut dan sesak di dadanya.

"Lend, lo kenapa?" ujar Joe yang baru datang, ia penasaran melihat wajah frustrasi Varlend seraya menepuk bahu sahabatnya itu--sahabat yang telah ia khianati--kepercayaannya.

"Lo tahu cewek yang lo bawa itu hamil," jawab Varlend dengan sinis. Ia pun tertawa miris.

"Hamil? Maksud lo, cewek yang lo tidurin." Joe tersentak.

"Iya, makasih Joe. Gara-gara lo, gue ngehancurin masa depan cewek itu," gumam Varlend dengan nada sendu, ada syarat penyesalan di sana.

Joe terdiam sejenak. Bagaimanapun ia merasa bersalah, semua terjadi atas campur tangannya.

"Sekali lagi makasih, Joe," Varlend merangkul Joe dengan tatapan sinis, "berkat lo, gue jadi brengsek."

Dalam hati Joe meminta maaf atas kesalahannya.

"Terus dia minta tanggung jawab gitu?" Joe menatap Varlend lesu.

"Enggak--" Belum sempat Varlend menyelesaikan ucapannya tubuhnya sudah limbung dan matanya pun terpejam erat. Joe menghela napas frustrasi.

***
Beruntungnya hari ini libur, Rein pun diam-diam memeriksakan kandungannya tanpa sepengetahuan keluarganya. Ia  memasuki ruangan dokter kandungan itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut dan gerogi.

"Ibu tak usah khawatir karena janinnya baik-baik saja. Ini saya beri resep vitamin untuk Ibu," ujar dokter cantik itu. Rein pun tersenyum setelah mengetahui janinnya baik-baik saja.

Dengan wajah semringah Rein keluar dari ruang periksa. Namun langkahnya terhenti, saat ia melihat dokter yang pernah menolongnya. Pria itu menatapnya dengan pandangan yang tak mudah diartikan.

"Dokter Vano," sapa Rein halus diiringi senyuman.

"Iya. Emh, kata temanku kau membatalkan janji bertemu dengannya. Kenapa kau membatalkannya?" tanya Vano cemas.

Hari itu di mana Rein terbangun dari pingsannya, wanita itu sepertinya mengalami guncangan mental, sehingga Vano menyarankan Rein untuk menemui temannya yang seorang psikolog. Mungkin saat mereka bertemu, perempuan cantik itu akan lebih terbuka menceritakan hal buruk yang menimpanya, pikir Vano.

"Maaf, saya telah merepotkan Anda. Saya baik-baik saja, jadi saya tak butuh psikolog," ujar Rein dengan nada lembut, takut menyinggung Vano.

"Ya, sudah kalau begitu. Kau sakit apa?" Vano menatap Rein lekat.

Rein mengambil napas sejenak. Ia ragu untuk mengucapkan kebenarannya.

"Saya tidak sakit, tapi saya memeriksa kandungan." Rein menatap Vano sebiasa mungkin dan mencoba tetap terlihat ceria.

"Kau hamil?" Ada perasaan aneh mendengar kenyataan wanita itu hamil. Ada rasa kecewa di hatinya. Ia berpikir Rein telah menikah. Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada wanita itu?

Rein mengangguk.

"Selamat, ya. Saya duluan ya masih ada pasien," pamit Vano dengan senyuman dipaksakan. Ia berjalan menjauh dengan perasaan berkecamuk.

***
Rein yang sedang ingin memakan soto pun mampir ke kantin rumah sakit. Ia memesan soto lamongan. Kuah yang mengepul membuat selera makannya meningkat.

Tatkala makanannya telah habis. Ia mendapati dua orang yang dirinya kenal, yaitu atasannya dan pria yang menjadi rivalnya dari SMP. Siapa lagi kalau bukan Varlend dan Ben. Perempuan ini pun diam-diam menguping ucapan mereka.

"Gue udah ingetin lo jangan ikut campur hidup gue mendingan lo urus diri lo sendiri," ujar Varlend dengan nada suara meninggi. Ia menatap Ben dengan tatapan tajam. Namun, yang ditatap begitu terlihat biasa saja.

"Gue sayang sama lo Var. Letta itu cewek enggak bener. Makanya gue berusaha agar lo enggak kejebak sama cewek ular itu," ujar Ben tulus.

"Itu bukan urusan lo. Letta udah balik jadi gue nggak punya alesan untuk ngelepasin dia lagi. Hilangin perasaan sayang lo ke gue karena gue jijik dan benci sama lo!"

Rein yang mendengar perdebatan itu berpikir bahwa Ben itu gay dan ia mencintai Varlend.

Tbc...

Kalau orang kayak Varlend pantesnya diapain, ya.

Ini cerita pertamaku di akun ini, usiaku sekitar 15 atau 16 tahun waktu itu, makanya aneh, sama wattpad dihapus. Maaf, ya kalau bikin pusing. Sekarang usiaku mah 23 tahun hehe

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang