12. Ketahuan

20.5K 1.5K 42
                                    

Tetesan air hujan basahi jalanan petang. Udara kian mendingin. Hiruk pikuk orang-orang yang tengah berlalu lalang untuk pulang saling berdesak-desakan menembus derasnya hujan membuat seorang gadis harus jatuh tersungkur ke dinginnya aspal. Ia memekik kesakitan naasnya para penunggu bus di halte tak peduli. Di pikiran mereka hanya satu untuk cepat-cepat pulang ke rumah.

Beruntungnya baju perawat itu tak sobek hanya kotor terkena noda. Ia pun mencoba berdiri, tapi kakinya tak mampu digerakkan. Hujan tampak tak bersahabat semakin deras membuat luka di lutut gadis itu semakin perih. Wajah pria yang tak asing untuknya tengah berjalan menggunakan payung dengan satu gelas kopi hangat di tangan kanannya.

"Dokter!" teriak suster cantik itu. Pria yang dipanggil itu pun mengalihkan pandangannya dari kopinya, lalu mendekati sang perempuan.

"Kanaya, kau kenapa?"

"Dokter Ben, kaki saya terkilir."

Ben yang mengerti tanpa dijelaskan lebih lanjut langsung menolong gadis itu dengan menggendongnya. Ia pun langsung menghubungi sopirnya untuk menjemputnya. Kemudian, mereka menunggu di depan kafe.

"Naya, kau baik-baik saja?" tanya Ben lembut.

"Alhamdulillah, sekarang lebih baik."

"Tunggu sebentar, ya. Sopirku sedang dalam perjalanan. Kau baca saja istighfar. Siapa tahu rasa sakitnya berkurang."

***

Rein terus memandangi album kenangan, saat ia SMA dulu. Di sana ia lihat fotonya yang satu kelompok bersama Ben. Pria itu menggunakan jas dokter karena tema kelompok mereka adalah profesi, sementara ia menggunakan pakaian pramugari dan tak pernah disangka lelaki yang tak bisa diam seperti kincir angin itu kini menjadi dokter. Sungguh Rein kadang merasa iri dengan Ben yang selalu mudah mendapatkan apa yang ia mau. Mereka dulu saingan dalam pelajaran dan juga bermusik. Dari situlah mereka saling adu mulut. Namun, semakin hari ia semakin takut terhadap Ben yang kadang suka mengerjainya, meski tak sampai mendapat luka walau pemuda itu yang akhirnya menolong dirinya juga. Akan tetapi, seolah-olah kebaikan Ben menguap begitu saja saat kata-kata pedas terucap atau raut wajah yang sedingin es dengan mata elang yang menusuk.

Sekarang tak pernah ia sangka Ben akan mengejarnya setiap ada kesempatan. Bahkan lelaki itu terus membujuk keluarganya agar mendukung keputusannya untuk menikahi dirinya. Siapa bilang jika Rein tak tersentuh dengan ketulusan pemuda itu. Akan tetapi, banyak hal yang tak bisa menyatukan mereka. Apalagi, Ben adalah seorang pemuda muslim yang saleh rajin beribadah.

Rein masih ingat beberapa kejadian waktu SMA, ketika Ben hendak bertanding basket ia terlebih dahulu melaksanakan sholat Dhuha  atau saat pria itu memberikan napas buatan untuknya dengan perantara selang, saat ia pingsan karena terjatuh di kolam renang. Pria itu benar-benar orang yang baik sebenarnya. Namun, tingkah hiperaktifnya kadang membuat dirinya terkesan buruk karena kelakuan jailnya itu. Fakta itu yang memperkuat bahwa mereka tak mungkin bersatu karena Rein juga seorang Katolik yang taat. Apa pun yang terjadi Rein tak akan menukar agamanya demi apa pun dan ia yakin Ben juga tidak akan melakukan hal itu.

Sempat terbesit pikiran bahwa ia ingin menikah dengan Vano saja yang se-kepercayaan itu lebih memudahkan jalannya pernikahan. Namun Rein sadar benar, jika itu tak mungkin terjadi karena ia tak mau memanfaatkan kebaikan Vano untuk memberikan namanya untuk bayi yang ia kandung. Apalagi, dirinya tak mencintai Vano  bahkan ia tak mengenal seperti apa diri lelaki itu. Sekarang, ia harus berpikir bagaimana caranya membesarkan anaknya, lalu apa yang harus ia katakan pada kedua orang tuanya.

"Rein, ada seorang pria yang menunggumu di luar," ujar Nyonya Adrian yang tengah bersandar di depan pintu kamar Rein membuyarkan lamunan perempuan itu.

"Siapa?" tanya Rein.

"Ibu juga tidak tahu."

Rein pun langsung menuruni anak tangga. Matanya membulat sempurna saking tak percayanya melihat pria berkulit tan yang menjebaknya di pesta kantornya. Siapa lagi kalau bukan Joe, pria gila yang menawarinya sebuah minuman.

Banyak pertanyaan hinggap di benaknya saat mendapati sosok yang sangat ia benci itu berada di rumahnya sekarang.

Sekarang, lelaki itu tengah santai berbincang-bincang dengan ayahnya di kursi single berwarna abu-abu. Pemuda yang memiliki wajah rupawan itu terlihat akrab dengan ayahnya, tetapi bagi Rein pria itu adalah pria terbengsek di dunia.
Lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya menatap Rein setibanya perempuan itu. Matanya tak berkedip memandangi wajah cantik di depannya. Wanita yang ia hancurkan hidupnya. Hatinya seperti teriris melihat tatapan perempuan itu yang terkesan tak ramah tetapi yang terlihat di mata pemuda ini adalah tatapan terluka.

"Rein, duduklah! Temani temanmu ya. Ayah mau menelpon dulu," ujar Tuan Ardian.

Mereka pun duduk saling berhadapan. Namun, tak ada suara yang keluar dari keduanya. Entah kenapa Rein mulai menitikkan air matanya. Ia kembali mengingat hari yang buruk itu. Pria itu akhirnya bereaksi.

"Hai, apa kabar?" ujar pemuda rupawan itu untuk sekedar basa-basi.

"Seperti yang kau lihat. Mau apa kau kemari dan bagaimana kau bisa tahu rumahku?" ujar Rein setenang mungkin, meski hatinya tengah mengumpat Joe.

"Aku tahu kau tak akan memaafkanku, tapi jujur aku ingin meminta maaf. Aku mendapatkan alamatmu dari temanku," ujar Joe ragu.

Pria itu menunduk lesu.

"Maaf? Maaf tak akan pernah menghapuskan semua lukaku!" Amarah yang Rein tahan menguap begitu saja karena lelaki di depannya itu mudah sekali mengucap kata maaf.

"Aku berjanji akan bertanggung jawab untuk semua kekacauan ini. Sekali lagi aku minta maaf gara-gara aku, kau harus mengandung anak temanku," ucap Joe dengan nada suara yang sengaja dibuat sekeras mungkin.

Ibu Rein yang baru saja datang untuk mengantarkan minuman untuk mereka pun menjatuhkan baki, setelah mendengarkan percakapan mereka. Ia tak percaya anak perempuannya itu tengah hamil diluar pernikahan.

"Rein, benarkah kamu hamil?" ujar Nyonya Selina tak percaya sambil menatap nanar putrinya.

Rein terisak. Ia tahu semuanya akan terungkap. Perempuan ini hanya berani mengangguk tak mampu berucap.

"Rein, ibu kecewa padamu!" Nyonya Ardian yang biasanya lemah lembut ingin menampar putrinya tetapi Joe menahan tangan ibunya Rein.

"Saya mohon jangan tampar Rein, Nyonya. Saya berjanji akan bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi ini."
 

Tbc...

Apa yang akan dilakukan Joe?

Teman, kalian bisa follow instagram @lanavayudia atau add facebook Lanav Ayudia. Untuk informasi tentang penulisan dan aku juga jual barang-barang siapa tahu suka. Pengiriman dari Magelang

Yang mau beli e book He Called Me Buluk udah di google play book atau bisa beli pdfnya seharga Rp 30.000 ke wa 087825497438

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang