Varlend menangis dalam tawa. Menangisi masa lalunya yang indah dan kini berubah menjadi kegelapan yang tak kunjung terang karena ulahnya sendiri. Paling menyakitkan lagi adalah kenyataan dirinya tak bisa menepati janji kepada semua orang yang ia sayangi. Kebanggaan mereka padanya meredup. Satu langkah salah tetap dinamakan kesalahan, meski sengaja atau tak sengaja. Andai waktu bisa diulang kembali.
Semalaman dia tak tidur hanya terduduk lesu di lantai yang begitu dingin merenungi segala kesalahannya.
Dia sudah gagal menjadi anak, kakak, saudara, sahabat yang baik. Waktu kecil dia selalu menjaga Vano ketika mereka tinggal seatap. Pergi selalu bersama hingga mereka bertemu dengan Rein di sebuah taman dekat kompleks tak hanya di tempat itu, tetapi di gereja mereka selalu bertemu hingga sebuah pertemanan terjalin. Varlend mengganggap gadis kecil itu sebagai adiknya dan Vano menyukainya. Namun, Rein diam-diam mengagumi Varlend tanpa sepengetahuan mereka. Akan tetapi, Vano yang selalu memperhatikan Rein tahu benar bahwa gadis itu mengagumi saudara yang sudah seperti kakaknya.
Varlend kecil anak yang baik karena didikan neneknya yang selalu mengajari kebaikan. Dia selalu menolong siapa pun tanpa takut celaka. Setiap hari dia menjaga saudara sepupunya itu yang sangat manja karena selalu diberikan apa pun yang ia mau oleh ayahnya, karena ibunya sudah tiada untuk mengalihkan perhatian sesaat. Namun, sekarang semuanya berubah Varlend yang baik selalu menerapkan ajaran neneknya berubah menjadi seseorang yang hanya mengikuti egonya. Berbeda dengan Vano semakin dewasa, ia semakin bijaksana, meski kecilnya dia anak yang cengeng, ceroboh, dan ketergantungan.
Roda kehidupan selalu berputar entah cepat ataupun lambat. Duka bisa berubah menjadi suka. Cinta menjadi benci. Kaya menjadi miskin dan seterusnya. Namun, orang yang menyerah kepada kehidupan hanyalah seorang pecundang, itulah yang selalu Varlend dengar dari ibunya. Dia tak ingin menjadi pecundang tapi tak tahu caranya harus berbuat apa. Tempat yang begitu sepi yang hanya beberapa meter persegi itu telah mengurungnya beberapa waktu ini yang menghambat dirinya untuk pergi memperjuangkan apa yang harus ia perjuangkan. Di saat penuh pikiran seperti ini seorang kepala sipir membuka pintu jerujinya, menyuruhnya menemui kerabat yang ia tak tahu siapa itu.
Varlend berjalan malas dengan wajah terluka. Matanya menyipit mendapati Vano telah duduk di meja tunggu dengan setelan jas kerjanya. Entah kenapa melihat pria itu perasaannya menjadi tak keruan.
"Van, ada apa kemari?" tanya Varlend halus. Vano mengambil sebuah undangan berpita emas dari balik jasnya. Varlend yang melihat itu sudah tahu benar apa isi undangan itu. Hatinya serasa diiris-iris.
"Aku, mau minta doa restumu. Bagaimanapun kau lebih tua dariku, makanya aku selalu menghormatimu." Vano menyodorkan undangan itu ke Varlend. Varlend menerimanya dengan tatapan pilu. Entah kenapa dadanya terasa sesak mengingat waktu kebersamaannya bersama Rein. Bayangan perempuan itu tersenyum terus menari-nari di pikirannya. Ada yang aneh pada dirinya, tidak tahu kenapa ia takut kehilangan Rein. Bukan sekadar karena anaknya saja. Ada rasa yang sulit dijabarkan.
"Rencananya kami mau nikah di gereja deket rumah Rein, satu hari setelah persidanganmu. Aku yakin kasusmu akan menang. Aku harap kau bisa datang," lanjut Vano yang membuat Varlend semakin frustrasi.
Vano menepuk pundak Varlend sebentar, lalu pamit pergi. Namun, lelaki itu tak menanggapinya. Dia sibuk dengan pikirannya. Air mata menitik. Tak pernah ia rasakan akan sehancur ini. Sekarang dia benar-benar bingung apa alasannya untuk tetap hidup. Ayah dan ibunya telah membencinya, lalu anaknya akan mendapatkan nama orang lain. Sanggupkah ia menyaksikan semua hal itu? Sekarang dirinya benar takut akan kehilangan semua yang ia cintai.***
Aira tengah mengikuti Ziffany yang tengah memasuki ruangan administrasi. Dokter cantik ini ingin memastikan bahwa mantan kekasih--ralat kekasih sahabatnya itu benar-benar masih hidup. Dia mencoba mencari celah untuk membawa gadis itu menjauh dari kerumunan orang yang berlalu lalang.
"Kau siapa? Lepaskan aku?" ujar Ziffany mencoba melepaskan tangan yang menarik tangannya.
"Ini aku Aira, tenanglah," jelas Aira sambil memegang pundak Ziffany lembut.
Ziffany dan Aira pun duduk di taman belakang rumah sakit.
"Zi, kenapa kau tak menemui Vano setelah kau selamat dari kecelakaan itu?"
"Aku tak mau merepotkan Vano dengan kondisiku yang seperti ini. Tolong mengertilah, jangan paksa aku menemuinya."
"Tapi, Vano sangat mencintaimu. Kalian saling mencintai bukan?"
"Yang saling mencintai belum tentu berakhir di pelaminan. Vano sudah bahagia tanpaku, jadi kurasa semua akan baik-baik saja sekarang. Lagi pula, tanggal dua puluh lima aku akan pergi ke Denmark untuk memulai hidup baru di sana."
Aira hanya diam saja. Dirinya bertekad untuk memberitahu Vano secepatnya agar semua tak terlambat dan sekarang ia pura-pura mengikuti perintah Ziffany untuk tak mengatakan kebenaran itu kepada Vano.
Tbc...
Ada yang mau dateng ke acara nikahannya Vano sama Rein?
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Romance-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015