Tumpukan berkas pekerjaan membuat Vano harus berlembur untuk mengecek data-data pasiennya. Sebuah ketukan pintu membuatnya--menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menyuruh orang itu masuk dan mendapati Ben yang terlihat kacau Rambutnya berantakan dan matanya memerah seperti orang yang baru saja menangis, serta ada luka memar di tangan kanannya.
"Ben, kau kenapa?" tanya Vano sambil menutup map-mapnya.
"Aku tak kenapa-napa. Van, boleh aku minta tolong satu hal saja."
Ben bersujud di telapak kaki Vano seraya terisak. Vano sangat kaget sekali dengan perlakuan saudaranya yang begitu aneh.
"Berdirilah, aku pasti menolongmu jika bisa." Vano menepuk pelan bahu saudaranya dengan raut wajah bertanya-tanya.
"Tidak, bahkan mencium kakimu seribu kali tak menghilangkan dosaku padamu. Maaf telah memperlakukanmu dengan buruk atas dosa kakakku. Vano, tolong nikahi Rein," pinta Ben dengan nada memohon. Ia melakukan itu dengan harapan anak yang dikandung Rein bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah, melalui Vano.
"Kenapa aku harus menikahi Rein, bukannya kau mencintainya? Bahkan kau sampai membohongi kebenaran tentang Rein. Lalu, memusuhiku karena kau tak mau aku menjadi sainganmu untuk mendapatkannya?"
"Maaf, aku baru sadar sekarang kalau cinta tak harus memiliki. Seharusnya aku tak melakukan itu. Kau mencintai Rein, kan? Aku yakin, kau bisa membahagiakannya dibandingkan aku. Banyak perbedaan di antara kami yang sulit untuk disatukan. Aku ikhlas, jika Rein mendapatkan suami sebaik dirimu."
***
Bisik-bisik para pekerja tatkala melihat kedatangan Rein semakin menjadi-jadi, ketika mereka melihat perut Rein yang mulai membesar. Namun, Rein tak menghiraukan itu karena ini adalah hari terakhirnya kerja. Masa kontraknya telah habis dan ia enggan memperpanjang kontrak itu. Sudah ia putuskan untuk menjauh dari Varlend untuk menata kehidupan baru. Tak ada kebohongan lagi.Silfy mulai membantu Rein mengemasi barangnya. Entah kenapa gadis itu mengatakan itu adalah pertemuan terahkirnya. Ada ketidakrelaan Rein meninggalkan kantor. Dulu, mereka masuk bersama dan menjabat menjadi pegawai bersama, jika Rein pergi apa ia juga harus pergi. Keluarganya tak sekaya Rein, lalu ia harus bagaimana? Pastinya setelah itu ia akan sulit melihat Rein.
"Rein, terima kasih sudah memaafkanku," ujar Silfy dengan suara tercekat. Dia menangis dalam diam.
"Iya, aku tahu maksudmu baik tapi caramu salah." Rein mengambil satu bingkai foto yang berada di kubikelnya. Foto pertama kali ia memenangkan tender bersama rekannya. Hatinya terasa berat untuk meninggalkan perusahaan yang sudah seperti rumahnya.
"Aku jadi ingat. Proyek itu kita kerjakan bersama perusahaan milik Diyo," ujar Silfy tanpa pikir panjang. Rein hanya terdiam.
"Maaf, aku enggak maksud." Silfy langsung merutuki kebodohannya mengucapkan nama mantan kekasih Rein.
"Enggak pa-pa. Hari itu di mana Diyo nembak aku. Aku ngerasa, jadi cewek paling beruntung di dunia. Punya kekasih seperti Diyo, tapi keluarganya enggak merestui. Bagaimanapun restu orang tua adalah yang nomer satu, meski kami mencintai itulah menjadi alasan kenapa kami tak bisa bersama."
"Kenapa kamu enggak kasih tau keluarganya Diy,o kalau kamu itu anaknya Om Adrian. Pasti mereka menyetujui, kalau tahu kamu anak konglomerat."
"Aku mau mereka menerima aku sebagai diriku sendiri, bukan embel-embel anak siapa."
***
Kediaman rumah keluarga Tuan Gerald tengah digemparkan dengan kedatangan para polisi. Mereka mencari Varlend. Tuan Gerald tak percaya dengan tuduhan yang polisi itu berikan kepada anak sulungnya.
"Mana mungkin anak saya menggelapkan uang proyek pembangunan Hotel Mandela? Bahkan uang 5,7 Milyar itu sangat kecil untuk keluarga kami. Dia itu calon pewaris perusahaan keluarga kami--yang memiliki ratusan ribu pegawai," ujar Tuan Gerald dengan nada sedikit naik.
"Benar, Pak. Tapi, kami punya bukti yang kuat untuk menyeret anak Anda ke kantor polisi. Tuan Joe telah memberikan buktinya kemarin."
"Maksud Anda Arjoe Monarez? Tapi, sayangnya Varlend masih di Hawai. Anda bisa kembali nanti, jika putra saya sudah pulang."
"Iya, benar Tuan muda Monarez. Saya percaya penuh dengan Anda, Tuan Gerald. Saya harap, jika sudah pulang harap melapor ke kantor polisi."
Polisi itu pun pergi meninggalkan rumah mewah itu.
***
Tuan Gerald langsung menyuruh orang kepercayaannya untuk menghubungi Joe. Dan, hasilnya tak sampai satu jam lelaki berkulit tan itu telah berdiri di hadapan Tuan Gerald.
"Joe, kenapa kamu tega melaporkan temanmu ke kantor polisi?" ujar Tuan Gerald seraya menatap tajam Joe. Namun, pria itu tetap santai menanggapi ayah temannya itu. Ia pun mengeluarkan sesuatu dari balik saku jasnya.
"Karena Varlend telah menipu saya dengan menggelapkan uang itu."
"Tidak mungkin. Kamu berbohong?"
Joe tersenyum hambar.
"Bisa saja itu terjadi, Om. Bahkan Varlend saja bisa meniduri calon istri adiknya. Apalagi, hanya menggelapkan uang." Joe menyodorkan beberapa foto Varlend dengan Rein yang kurang pantas dilihat itu--sewaktu di hotel. Tuan Gerald mengambil foto itu ragu.
Tuan Gerald menggeleng tak percaya."Ini pasti bohong," elak Tuan Gerald.
"Om, jangan pikir itu rekayasa karena itu asli. Jika, Om tak percaya tanyakan saja pada Rein. Bahkan wanita itu tengah mengandung anak Varlend," Joe berkata sesantai mungkin.
Tuan Gerald meremas foto itu kuat-kuat, lalu melemparnya sembarang. Ia menajamkan matanya.
Tbc...
Teman ada yang mau beli pdf 4 ceritaku harganya Rp 50.000. 8 Rp 100.000. Bisa via pulsa.
Hub wa 087825497438
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Romance-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015