10. Sebenarnya

21K 1.5K 78
                                    

Bisik-bisik para pekerja di kantor membuat suasana hati Rein memburuk. Sedari tadi, ia mendengar ucapan buruk tentang dirinya. Mereka banyak merendahkan Rein yang katanya mendekati Vano untuk menguras hartanya.

Rein memutuskan untuk menangis di toilet. Hatinya sakit sekali. Jika boleh ia memilih tuli saja sekarang.

Beberapa saat kemudian, dari balik bilik kamar mandi ia mendengar seseorang yang sedang menelpon. "Aku pastikan Varlend akan menderita. Kau tahu dia cinta mati padaku, bukan? Kehancurannya adalah kebahagian kita," ujar seorang wanita dengan balutan mantel bulu.
Rein yang mendengar ucapan perempuan itu mencoba mengintip. Namun, sayangnya ia tidak bisa melihat jelas wajah perempuan itu.

Dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Ternyata ia mendapat sebuah pesan dari Ben yang tak tahu dari mana lelaki itu memiliki nomornya.

Rein, aku tunggu kau di restoran depan kantormu nanti waktu jam makan siang. Ini penting.

Ben

Rein langsung menghapus sms itu. Ia tak mau bertemu dengan Ben karena itu hanya akan membuatnya pusing saja. Cukup sudah pria itu dulu menyakitinya dengan ucapan pedasnya, tapi tidak untuk kata manis tentang cinta. Ia sudah tak percaya lagi dengan cinta.

Rein pun kembali ke ruangannya. Ia dapati sekotak cokelat dengan selembar surat.

Tak usah pikirkan ucapan orang. Lebih baik nikmati cokelat yang manis daripada mendengar ucapan yang pahit.

Ben

"Hai," ujar Ben di ambang pintu.

"Kenapa kau bisa di sini?" tanya Rein.

"Karena aku ingin. Lagian aku juga tak ada jadwal praktik. Ayo, kita makan siang," ajak Ben sumringah.

"Aku masih ada pekerjaan. Lain kali saja," tolak Rein.

Bukan Ben jika akan menyerah begitu saja. Ia terus membujuk Rein hingga perempuan itu mau makan siang bersamanya. Mereka pun langsung memesan makanan.

"Rein, makan sayur yang banyak biar anak kita sehat," ujar Ben.

"Sejak kapan anakku menjadi anakmu?"

"Kapan saja bisa. Lagian kau akan menikah denganku, kan? Aku yakin, kau nanti yang akan mengejarku."

Rein memilih diam saja. Ia malas berdebat dengan Ben. Pasti akan kalah. Tak sengaja ia melihat Varlend dengan seorang perempuan. Ia yakin wanita itulah yang ia lihat di toilet.

"Ben, kau kenal wanita itu?" Tunjuk Rein ke arah perempuan tadi.

Ben yang melihat itu terkejut.

"Dia adalah wanita ular. Jangan memandangnya. Bisa-bisa kita kena sial."

***
Sang raja siang telah berani menampakkan diri setelah berlama-lama menyembunyikan diri di peristirahatannya. Goresan embun telah hadir menyapa. Pertanda hari telah berganti pagi bergelora. Embusan lembut angin pagi membelai sekujur tubuh seorang pejalan kaki. Lelaki itu berjalan tak menentu. Pandangannya kosong entah berapa gelas bir yang telah ia teguk semalam.

Jas keluaran armani yang tampak mewah itu kini berubah menjadi lecek. Banyak noda di kemejanya yang kancingnya tak terkancing dengan benar. Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi kini acak-acakan. Matanya yang indah kini memerah. Benar-benar tak ada yang mencerminkan dia seorang bangsawan.

Sekarang belum ada jam tujuh pagi, tapi pria itu telah sampai di gedung tinggi yang seolah-olah menantang langit. Lelaki itu tak peduli dengan tatapan penjaga kantornya yang memandangnya dengan tatapan heran. Ia terus melangkah menuju ruangannya. Di sepanjang koridor ia terus mengumpat. Untungnya para pegawai banyak yang belum datang sehingga tak ada yang tahu dengan perilakunya tadi. Tinggal beberapa langkah lagi ia sampai ke ruangannya, namun tak sengaja ia terpleset. Sontak ia memekik kesakitan.

"Presdir!" Rein yang baru saja mengkopi datanya di ruang entri data langsung berlari ke sumber suara yang mengagetkannya. Namun, ia malah mendapatkan kejutan besar dengan melihat bosnya yang terkenal sangat memedulikan--yang namanya penampilan--tengah terduduk di lantai dengan penampilan yang menyedihkan.

"Rein?" ujar Varlend dengan tatapan penuh tanya. Ia tak menyangka sepagi ini perempuan hamil itu telah datang di kantor. Ia pun segera berdiri.

"Anda tak apa-apa, Presdir?" tanya Rein ragu.

"Seperti yang kamu lihat. Sangat buruk. Sedang apa kau pagi-pagi di sini?"

"Saya sedang memfoto kopi data-data penjualan baju anak Minggu ini. Saya mau izin untuk periksa ke dokter, jadi saya masuk lebih awal," jelas Rein sambil menunjukkan map yang ada di tangannya.

"Ohh, lain kali langsung izin saja tak masuk. Kasihan anakmu pagi-pagi sudah harus diajak bekerja. Saya tak akan memotong gajimu."

Rein hanya mengangguk.

"Tolong rahasia kan, kalau kamu melihatku seperti ini."

"Baik, memangnya Presdir dari mana?" ceplos Rein. Perempuan ini jelas-jelas tahu kalau pria di depannya itu pasti habis menghabiskan malam di bar karena bau alkohol sangat kentara di indra penciumannya.

"Kamu tak buta, kan? Jelas-jelas kondisiku seperti ini. Pasti aku dari bar!" Suara Varlend meninggi membuat tubuh Rein bergetar ketakutan. Ia tak menyangka reaksi pria itu akan seperti itu. Entah kenapa hatinya terasa ngilu. Air mata tak kuasa dibendungnya. Perasaannya memang sensitif akhir-akhir ini. Mungkin itu faktor kehamilannya.

"Maaf, aku tak bermaksud untuk membentakmu," sesal Varlend. Suasana hatinya memang dalam keadaan yang buruk. Namun seharusnya, dirinya bisa mengontrol emosinya untuk tidak menyakiti hati wanita itu. Ia pun berjalan mendekati Rein. Jemarinya tergerak untuk menghapus air mata yang terus terjatuh di pipi wanita cantik itu. Lalu, lelaki itu langsung memeluk Rein.

"Sekali lagi, aku minta maaf," ujar Varlend halus sambil mengusap-usap punggung Rein.

Seharusnya Rein muntah mencium aroma tubuh Varlend yang sangat kentara dengan alkohol. Namun bukannya ingin muntah, ia malah ketagihan dipeluk Varlend. Ada rasa nyaman dan tenang saat lelaki itu menenangkannya. Hatinya terasa sejuk. Mungkin karena janin dalam kandungannya mengenali hangatnya dekapan ayahnya, sehingga Rein merasa tak ikhlas jika Varlend melepaskan pelukannya.

"Tidak apa-apa, Presdir. Saya hanya sedang sensitif saja."

"Kau akan berangkat ke dokter jam berapa?"

"Sekitar jam sepuluh."

"Nanti, kuantar sampai selesai konsultasi. Kebetulan aku hanya ada satu pertemuan dengan klien hari ini. Anggap saja itu ucapan permintaan maafku."

"Tapi, Presdir--"

"Ikuti saja ucapanku. Tadi, aku belum sempat ke mini market. Nanti, kita ke mini market dulu untuk membeli susu stroberi untuk anak kita," ceplos Varlend tanpa ia sadari.

Rein kaget dengan ucapan Varlend bukan karena pria itu mau menemaninya kontrol kandungan. Bukan pula karena mengajaknya membeli susu. Biasanya memang Varlend suka membelikannya susu stroberi di pagi hari karena pria itu tahu sejak mengandung Rein menjadi ketagihan dengan susu stroberi, tapi ucapan terakhir pria itu yang mengatakan bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya, meski secara tak langsung membuatnya terkejut bukan main. Jika yang mengaku-ngaku itu Ben atau Vano ia tahu karena para lelaki itu mencintainya. Lalu, atas dasar apa pria bermata sipit ini menyatakan hal itu karena Rein tahu dengan benar bahwa Varlend sangat mencintai perempuan yang ia lihat di restoran tempo hari lalu dari cara bosnya memandang gadis itu.

"Maksud Presdir, apa?"

"Yang mana?" tanya balik Varlend yang belum menyadari ucapannya tadi.

"Maksud Presdir apa dengan menyebutkan anak saya dengan 'anak kita'?"

Varlend langsung menyadari kesalahan ucapannya. Matanya melotot seketika. Detak jantungnya berdetak dengan cepat. Ia benar-benar merutuki bibirnya dalam hati. Sekarang ketakutan terbesarnya kembali datang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

"Anakmu itu sebenarnya--"

Tbc..

Ngaku gak???















Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang