Setiap kejujuran yang diucapkan diri sendiri, dengan yang diucapkan orang lain, dampaknya akan berbeda. Jadi, biarkan orang mendengarkan kebenaran dari mulutmu, bukan mulut yang lain. Meski akan ada orang yang kecewa dengan kejujuran itu. Agar tidak ditambah atau dikurang.
***
Senyum yang telah lama hilang kini mengembang, tatkala Varlend telah sampai di ruangan inap Rein. Perlahan tapi pasti ia mendekat ke brankar tempat tubuh mungil itu berbaring. Wanita itu masih setia memejamkan matanya meski kondisinya membaik. Varlend pun menggenggam kedua tangan perempuan hamil itu dengan lembut.
"Rein, cepatlah pulih. Doaku selalu menyertaimu. Aku berjanji setelah pulang dari Hawai, aku akan memperbaiki semua kesalahanku untuk anak kita, agar dia tak kurang kasih sayang sedikitpun dari orang tuanya."
Varlend terus mencurahkan isi hatinya, meski dirinya tahu wanita cantik itu tak akan menanggapi ucapannya.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, pria ini memutuskan untuk membeli minum sebentar, meski hatinya terasa berat meninggalkan Rein sendirian. Tepat, saat ia membuka pintu di depannya telah berdiri kedua orang tua Rein yang baru tiba dari Cirebon. Melihat wajah Varlend membuat amarah ibu Rein muncul, tetapi suaminya mencoba menenangkan--dengan mengusap lembut tangan istrinya--agar tak menuangkan emosinya. Hal itu berhasil tetapi gurat ketidaksukaan kentara sekali di wajah wanita paruh baya itu.
"Om, Tante!" sapa Varlend dengan lembut. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan ayah Rein, tepatnya ia hendak mencium hormat pria paruh baya yang sudah seperti ayahnya itu. Tuan Adrian menyambut hangat niat baik Varlend, walau dalam hati ia merasa sangat kecewa dengan lelaki di hadapannya. Sementara Nyonya Adrian terus menyebikkan bibirnya kesal. Setelah acara mencium tangan Tuan Ardian, Varlend pun mengulurkan tangannya untuk menyalami Ibu Rein, tetapi wanita itu masih besedekap tak menggubris.
Tuan Ardian pun memandang lekat istrinya--memberi isyarat untuk menerima uluran tangan Varlend dan akhirnya wanita itu mau menjabat tangan Varlend--meski dengan berat hati.
"Varlend, Om mau bicara dengan kamu. Bisa keluar sebentar?" tanya Tuan Ardian dengan nada rendah, meski hatinya gundah. Berdebar tak keruan karena mengingat duka putrinya akibat ulah anak temannya itu. Sebaik mungkin ia menahan emosinya agar tak meluap karena percuma saja tak ada gunanya. Tidak bisa membalikkan keadaan dan membuat semua masalah menjadi besar.
"Iya, Om. Saya juga mau membeli air. Bagaimana kalau kita bicara di kantin saja," tawar Varlend sesantai mungkin, entah kenapa ia merasa kikuk.
Kedua lelaki beda generasi itu pun berjalan menuju ke kantin bersama. Hingga mereka memesan dua cangkir kopi hitam. Menikmati manis dan pahitnya kopi itu.
"Lend, kamu tahu tidak apa persamaan kopi dengan hidup?" tanya Tuan Ardian tiba-tiba.
"Tentu saja, Om. Jika kita tak tahu bagaimana cara menikmatinya, maka akan terasa pahit. Namun, kalau kita tahu cara menikmatinya maka akan terasa manis," Varlend berujar seraya mengaduk kopinya untuk menutupi rasa gugupnya.
Tuan Ardian pun menyeruput kopinya sambil menikmati aromanya. Lelaki itu tersenyum sekilas mendengar jawaban Varlend.
"Lalu kamu masuk kategori yang mana?"
"Pahit, Om," jawab Varlend lesu.
"Sebenarnya kehidupanmu itu tidak pahit kalau kamu mau bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diberikan kepadamu." Tuan Ardian menatap raut wajah Varlend dengan saksama. Sementata yang ditatap menjadi bertambah gusar. Peluh mulai menitik dari pelipis Varlend.
"Kamu memiliki wajah rupawan tentu saja itu mudah untuk memikat hati wanita, tetapi kamu malah terbelenggu pada cinta butamu. Kamu punya harta yang melimpah sehingga mampu membeli apa pun dibandingkan mereka yang hidup kesulitan di jalanan. Kamu pintar Varlend tetapi kamu hidup seperti orang tak berakal selalu mengejar-ngejar yang fana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Romance-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015