2. Rasa yang Terpendam

40.2K 2.3K 50
                                    

"Bagaimana keadaannya?" tanya Vano panik setelah beberapa jam menunggu sang dokter beraksi dengan perasaan tak menentu.

"Kondisinya mulai membaik. Beberapa jam lagi, ia akan tersadar. Tapi--" Emil mengantungkan ucapannya. Menatap Vano ragu-ragu.

"Tapi, apa?" tanya Ben yang tiba-tiba muncul dari balik punggung Vano. Ia baru saja menemui rekannya, lalu sekalian berjalan menuju ruangan operasi untuk menemui Emil.

"Ini privasi, bagaimana aku mengatakannya," Emil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Katakan saja, Dokter." Vano menatap lekat Emil.

"Kecelakaan ini terjadi, apa karena kalian bertengkar seusai ...."

"Aduh sulit sekali mengatakannya," Emil tersenyum, ia menatap Vano kikuk, "saya melihat ada bercak keunguan di sekitar tengkuknya."

Sontak Vano mengernyit, ia berusaha mencerna apa maksud Emil.

"Jangan-jangan wanita itu koleksi barumu ya, Van?" seloroh Ben dengan suara meremehkan sambil menepuk pelan bahu sepupunya.

"Jangan asal bicara. Aku bukan lelaki berengsek sepertimu. Aku tadi tak sengaja melihat perempuan itu tertabrak," jelas Vano tanpa diminta.

"Benarkah? Dia bukan teman bermalammu. Padahal terdapat banyak bercak merah keunguan di sekitar tengkuknya."

Ben tertawa renyah.

"Terserah apa katamu. Namun, aku bersumpah tak melakukan apa-apa dengan wanita itu, bahkan aku tak mengenalnya."

Ponsel milik Ben berdering. Ia pun segera mengangkat telepon dari seseorang. Ternyata keluarganya menelpon ada urusan penting yang harus dirinya selesaikan, maka pemuda itu memutuskan langsung pergi tak menanggapi lagi ucapan sepupunya. Emil pun juga pergi setelah berpamitan dengan Vano.

***

Vano yang tak praktik pun memilih untuk menunggu Rein. Kemudian, diamatinya setiap inci wajah cantik wanita itu secara saksama. Entah kenapa ia merasa tak asing dengan wanita yang masih setia memejamkan matanya itu.

Wajah itu mirip sekali dengan cinta pertamanya yang membuat ia dan Ben bertengkar karena perbedaan pendapat tentang gadis yang ia puja. Padahal mereka adalah saudara dan sahabat, tapi kini mereka hanya dua orang yang saling membenci, lebih tepatnya kecewa dengan keputusan masing-masing.

Waktu berputar begitu cepatnya, sehingga Vano yang tengah melamun tak sadar, jika Rein telah terbangun. Wanita itu kehausan dengan kondisi yang masih lemah, ia pun mencoba mengambil segelas mineral di nakas sebelah ranjangnya. Namun, sayangnya gelas itu dengan tidak sopannya terjatuh ke lantai, sehingga membuyarkan lamunan Vano.

"Nona, kau tak apa?" ujar Vano panik.
Rein hanya menggeleng. Dirinya masih syok dengan semua hal yang terjadi tiba-tiba. Seolah-olah waktu menghukumnya.

"Kenapa saya bisa di sini?" ujarnya ketakutan. Memori buruk beberapa jam yang lalu ia ingat kembali. Air mata itu pun terjatuh bebas di pipi Rein.

"Anda mengalami kecelakaan, lebih tepatnya tabrak lari. Saya yang membawa Anda kemari," jelas Vano halus.

"Kenapa Anda menolong saya, biar saya mati saja," jawab Rein frustrasi karena masa depannya telah hancur.
Vano mencoba menenangkan Rein yang terisak. Entah kenapa melihat wanita itu menangis sama dengan melukai hatinya. Apalagi, menatap mata teduh itu membuat hatinya tak keruan.

***
Pria bermata sipit dengan kulit putih mulus tanpa noda itu terus melampiaskan amarahnya ke berbagai benda yang ada di kamarnya. Dirinya merasa menjadi pencundang. Tak peduli dengan harga barang-barang mewah yang hancur karena amukannya. Meski tangannya terluka hingga berdarah, ia juga tak akan menghentikan aksi gilanya.
Suara gedoran pintu terus terdengar semakin keras. Namun, tetap saja tak digubris oleh pria itu. Tiba-tiba, pintu dari jati itu roboh bukan karena sudah tua, melainkan karena dobrakan seseorang.

"Var, lo itu gila, ya!" teriak Ben yang cemas. Pria itu pun langsung menarik kerah baju Varlend.

"Ngapain lo di sini? Itu bukan urusan lo!" teriak Varlend sambil mencoba menyingkirkan tangan Ben.

"Gue peduli sama lo. Makanya gue kemari. Apa gue harus sujud di kaki lo? Atau gue harus teriak-teriak di jalan kalau gue sayang sama lo, Var? Apa yang harus gue lakuin agar lo tahu, kalau gue takut kehilangan lo," ujar Ben tulus. Ia langsung memeluk tubuh jangkung di depannya. Meski pria itu tak suka, jika Ben selalu mendekatinya. Apalagi, memeluknya seperti ini. Melihat Ben selalu mengingatkannya pada pengkhianatan yang besar.

“Pergi jauhlah dari hidupku dan keluargaku, maka aku tak akan membencimu lagi," ujar Varlend dengan tatapan sengit.

Tbc...

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang