8. Dia

21.6K 1.7K 63
                                    

Hal yang paling sulit dilakukan dan tak bisa dibeli dengan uang salah satunya adalah kejujuran. Maka, jangan heran kalau banyak orang sering berdusta.

"Saya ayah dari janin yang dikandung Rein. Memang kenapa jika Rein hamil? Itu masalah buat Anda? Jika Anda berkata yang buruk lagi terhadap ibu dari anak saya, maka saya pastikan Anda menderita," ujar Vano tegas.

Semua mata yang lewat di situ pun menyaksikan pernyataan pria rupawan itu yang mencengangkan. Mereka tak percaya, jika lelaki yang mereka hormati itu dan terkenal sangat menjunjung tinggi martabat wanita bisa melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan.

Varlend yang melihat kejadian itu menahan emosinya. Dirinya tak suka anaknya diakui orang lain. Sebenarnya dia juga lega, jika statusnya yang merupakan ayah kandung dari jabang bayi yang tengah dikandung Rein tidak ada yang tahu karena pengakuan Vano barusan.
Bayangan amukan ayahnya selalu menghantui Varlend, jika kebenaran itu terungkap. Belum lagi dirinya khawatir dengan kondisi ibunya yang akan memburuk kalau mendengar kelakuan bejatnya. Namun, hati kecilnya menginginkan anaknya yang tak pernah ia sangka kehadirannya itu tetap bersamanya. Setiap hari lelaki itu ketakutan, jika suatu saat ada orang lain yang dipanggil anak itu dengan sebutan ayah. Sementara dirinya hanya dianggap orang asing.

"Jadi, benar Vano sebejat itu. Tak kusangka dia seberengsek itu," ungkap Ben yang sudah berdiri di samping Varlend.

"Kau?" Tunjuk Varlend heran dengan adiknya itu yang muncul seperti jin. Kedatangannya selalu tiba-tiba.

"Hai, Kakak," sapa Ben dengan senyuman serta lambaian tangan.

"Sedang apa kau di sini?" Varlend menatap Ben kesal.

"Sama sepertimu menonton drama mereka," canda Ben yang langsung mendapat tatapan tajam dari Varlend.

"Kakek sakit. Makanya, aku ingin memberi tahu ayah tapi ternyata Vano sudah sampai di sini duluan," jelas Ben dengan santai.

"Kau kenal Rein, kan. Sebenarnya apa hubungan Vano dengan Rein?" tanya Varlend penasaran. Namun, Ben tak kunjung menjawab. Dirinya hanya senyum-senyum tidak jelas. Baru kali ini Varlend mengurusi urusan orang lain--yang membuat adik seayahnya itu bingung.

"Mereka sepasang kekasih. Kau kenapa? Kau tak suka Rein, kan?" goda Ben dengan senyum jail.

"Tidak. Aku hanya memikirkan nasib anakku," ceplos Varlend tanpa sadar.

Ben mengernyit. Dirinya mencoba memastikan pendengarannya tak salah.

"Anakmu?" ulang Ben.

Varlend yang menyadari kesalahan ucapannya segera mencoba berkilah.

"Kau tuli, ya. Aku bilang anaknya. Bagaimanapun kan Rein pegawaiku. Kasihan anaknya kalau harus besar tanpa seorang ayah," Varlend berujar dengan nada lirih. Ia tahu rasanya diabaikan oleh ayahnya sendiri, begitu menyakitkan. Apalagi, tumbuh dan berkembang tanpa seorang ayah. Dan dalam hati kecilnya, ia berharap anaknya bisa hidup bersamanya tetapi dirinya tak tahu bagaimana caranya. Dirinya takut kalau mengaku, ayahnya pasti akan murka padanya dan belum tentu Rein akan memaafkan kesalahannya, bahkan bisa jadi menjauhkannya dari anaknya. Dan satu lagi, ia takut kalau wanita yang dicintainya akan menjauh darinya setelah mengetahui fakta itu. Hal itulah yang menjadi beban pikiran Varlend.

***
Vano menatap Rein lekat. Dirinya benar-benar kasihan dengan perempuan itu. Sedari tadi wanita hamil itu terus menangis.

"Rein, sudahlah. Kasihan anakmu, kalau kamu menangis lagi," bujuk Vano seraya mengusap air mata Rein dengan sapu tangannya. Ia memandang lekat manik mata Rein, menatapnya penuh kelembutan.

"Maafkan saya, Dok. Saya merepotkan Dokter lagi. Terima kasih mau membela dan mengakui anak saya," jawab Rein dengan suara parau.

"Aku ikhlas. Aku tak mungkin bisa melihat perempuan sebaik dirimu dicaci dan dihina. Kamu hanya korban dari perbuatan buruk pria bejat yang tak bertanggung jawab dan dia adalah pria terbodoh yang menyia-nyiakanmu," Vano menepuk bahu Rein pelan.

Rein mencoba tersenyum, meski hatinya terluka. Dirinya berterima kasih sekali pada Tuhan yang mengenalkannya dengan pria sebaik Vano. Dari awal bertemu hingga saat ini, lelaki itu selalu menolongnya tanpa mengharapkan imbalan.

"Saya yang bodoh bisa dijebak seperti itu. Hanya satu yang saya takutkan anak saya tidak diterima di masyarakat."

Rein tak mampu membayangkan kalau anaknya nanti menjadi bahan gunjingan. Padahal, ia tak bersalah.

"Menikahlah denganku. Aku rela memberi nama dan kasih sayang untuk anakmu seperti anakku sendiri. Jujur dari awal kita bertemu, aku sudah menyimpan rasa padamu."

Rein yang mendengar pernyataan Vano itu menggeleng tak percaya, lelaki sebaik Vano mau menikahi wanita yang tengah hamil dan parahnya tak tahu siapa yang menghamilinya dengan ikhlas hati. Dirinya merasa tak pantas untuk pria sebaik Vano.

"Maaf, Dok. Saya tidak bisa menerima pinangan, Dokter. Dokter terlalu baik untuk saya." Rein menatap Vano dengan sendu.

"Tidak apa. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku. Kita teman, kan?" ujar Vano seraya mengacungkan jari kelingkingnya.

Rein mengangguk dan mengeratkan jari kelingkingnya ke jemari Vano.

Tbc...

Aku sarankan kalau yang baca cerita ini jangan baca Random Husband dulu, nanti kalau sudah selesai baca Random Husband dan lebih baik lagi baca Pernikahan Status juga sebelum baca Random Husband haha. Biar runtut, ceritanya lengkap kok.

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang