20. Sulit Dimengerti

16.4K 1.4K 27
                                    

-Kebenaran itu kadang menyakitkan, tetapi kenyataan itu harus diungkapkan karena kita tidak hidup dalam ilusi-

Dalam tidur pun kadang tak bisa tenang, apalagi saat terbangun dari mimpi. Kadang kala waktu tak berpihak pada manusia atau mungkin manusia yang mengingkari hingga waktu menyiksa. Entahlah apa yang salah dalam kehidupan perempuan cantik itu--yang tengah memandang rintik-rintik air hujan. Sepertinya kebahagiaan hanya berlabuh sejenak tak untuk menetap. Dua kali mencintai dan dua kali terluka. Setiap ia mencintai pasti pada akhirnya hanya kesedihan yang didapatkan.

Tirai berwarna kelabu ia sibakkan semakin lebar memperlihatkan wajah seorang pria yang begitu baik padanya. Lelaki itu tengah berjalan dengan seorang perawat cantik dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada seorang dokter cantik yang memandang masam. Dari situ Rein bisa menyimpulkan bahwa dokter itu tengah dilanda cemburu. Wanita hamil ini tersenyum melihat pandangan dari balik jendela itu.
Rasa iri menyelusup di hati Rein. Betapa beruntungnya Vano bisa diperebutkan banyak wanita. Mungkin karena Vano begitu sempurna memiliki wajah rupawan, otak cemerlang, harta berlimpah, dan sifat yang begitu baik. Maka gadis mana yang akan menolak lelaki seperti itu, pikir Rein. Jika ditanya wanita ini juga ingin memiliki pendamping seperti Vano, tetapi itu hanyalah angan saja.

"Rein," panggil Vano yang membuat Rein terkejut. Bagaimana tidak? Baru beberapa menit yang lalu, ia melihat dokter rupawan itu dari balik jendela, kini sudah berdiri di hadapannya.

"Dokter, ada apa?" tanya Rein sambil tersenyum manis.

"Kau boleh pulang besok kata Aira. Jangan terlalu banyak pikiran apalagi memikirkan Varlend." Ucapan Vano mampu membuat Rein membeku seketika.

"Maksud Dokter apa?"

"Aku sudah tahu. Jabang bayi itu milik Varlend, kan. Rein, jika kau membutuhkan tanggung jawab, langsung saja datangi Varlend. Mintalah baik-baik. Sebenarnya, dia lelaki yang baik, tapi aku tak tahu kenapa semuanya menjadi seperti ini."

"Dokter, aku tak membutuhkan tanggung jawab darinya. Aku masih mampu membesarkan anak ini sendirian."

"Tapi, bagaimanapun kau tak bisa memberikan kasih seorang ayah pada anakmu. Ini bukan masalah nama baik atau hanya sekadar tanggung jawab, tetapi kehidupan paling indah itu ketika seorang anak bisa tumbuh dan berkembang bersama kedua orang tua kandungnya. Aku melihat dengan jelas di mata Varlend, bahwa dia sangat menyayangi anak kalian."

Rein tak tahu harus berkata apalagi. Pikirannya buntu seketika. Jujur dia tak mau anaknya kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya, tapi mengharapkan Varlend sama saja menantikan batu berubah menjadi berlian--yang tak mungkin bisa dilogika. Apa dirinya sanggup bersanding dengan pria yang telah menghancurkan hidupnya--yang hanya mencintai wanita di masa lalunya.

"Sejujurnya, aku mengharapkan anakku memiliki orang tua yang lengkap. Namun, sayangnya Varlend bukanlah pria yang bisa diharapkan. Dalam doanya hanya ada nama mantan calon istrinya. Hatinya telah terisi oleh cinta yang tak berujung. Jika dia hidup terus menyakiti dirinya. Bagaimana dia bisa melindungi kami, jika misalnya, ia mau menikahiku?"

"Semua orang bisa berubah. Mungkin di masa lalu, orang itu seorang pendosa besar, tapi siapa tahu di masa yang akan datang. Jika Tuhan mau mengetuk hatinya, menunjukkan jalan yang lurus, maka dalam hitungan detik orang itu pun bisa bertaubat."

***

Kini wanita yang paling dicintai Varlend tengah memandang langit-langit malam dengan kursi rodanya--ditemani dengan anak tirinya. Kini, Nyonya Herlina sudah bisa tenang daripada beberapa hari yang lalu. Ia tak meraung dalam kesedihan lagi. Bahkan senyuman tipis yang hanya datang sekejap juga menghiasi bibirnya.

"Bunda, lihat bintang yang di sana itu indah kan," ujar Ben seraya menunjuk bintang yang tampak kecil.

"Iya, kamu benar," jawab Nyonya Herlina sambil menatap lekat anak tirinya yang tengah senyum.

"Maafin Bunda, ya," lanjut Nyonya Herlina membuat Ben mengerutkan dahinya.

"Maksud, Bunda?"

"Maafin Bunda, enggak bisa didik kakakmu dengan baik. Bunda enggak pernah nyangka Varlend sebegitu jahatnya sampai ngehamilin pacar kamu."

Ben bertambah bingung dengan ucapan ibu tirinya itu karena selama ini ia tak pernah memiliki kekasih. Lalu, siapa wanita yang dihamili Varlend, batin Ben terus bertanya-tanya. Ia masih tak percaya dengan pernyataan bundanya itu. Apalagi, setahunya Varlend sangat menghargai wanita mana mungkin tega merusak seorang gadis, pikirnya.

"Ben enggak punya pacar, Bun. Siapa yang bilang kalau Kak Varlend ngehamilin orang?"

"Joe, temennya Varlend yang sering kemari. Dia bilang Varlend nghamilin anaknya Mas Ardian, calon istri kamu."

Bagai tersambar petir Ben mendengar kebenaran itu. Sekarang ia mengerti kenapa kakaknya begitu baik dengan Rein. Lalu, kenapa Rein tidak membenci Vano, jika yang menghamilinya Vano. Ben benar-benar bingung harus bagaimana. Ia tak sanggup jika harus melampiaskan amarahnya kepada Varlend--kakak yang selalu ia sayangi.

***

Tbc...

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang