Ben tengah menunggu sang kakak yang baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Matanya menyelisik setiap orang yang berlalu lalang. Dari arah yang sama Ben melihat Letta dan Varlend sedang berbicara. Namun, ia kaget ketika Dargo menarik wanita itu. Kini hanya Varlend yang berjalan menuju ruang keluar.
Varlend mengumpat sepanjang koridor tak menyadari adiknya itu berjalan di sampingnya sedari tadi.
"Lend, jalannya bisa pelan-pelan enggak? Kaki gue sakit kemarin gara-gara jatuh kepleset," ujar Ben sambil menarik lengan kakaknya. Pria yang ditarik itu langsung mengalihkan pandangannya ke adik semata wayangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ngapain lo di sini? Kayak setan aja," ujar Varlend sambil tersenyum masam.
"Gue mau menjemput lo. Ada banyak hal yang mau gue omongin, Lend. Penting banget ini menyangkut bunda, ayah juga. Kali ini lo jangan marah-marah sama gue karena ini menyangkut kehidupan orang banyak, Lend."
Varlend mengacuhkan ucapan Ben. Lelaki itu tetap berjalan dengan cepatnya tetapi Ben tetap mengikutinya. Meski kakinya terasa sangat perih, sehingga ia memutuskan untuk berlari menyusul Varlend yang telah berdiri di seberang jalan menuju mini market. Ben tak sadar ada mobil yang melaju ke arahnya. Varlend yang melihat itu langsung membanting kopernya asal. Ia berlari mendorong adiknya hingga mereka jatuh di pinggir jalan.
Ben bukannya menangis karena sakit tapi ia malah tersenyum. Pemuda itu merasa sangat bahagia--kakak satu-satunya yang ia sayangi--yang selalu mengatakan membencinya malah menolongnya. Sedari dulu Ben tak pernah meragukan kasih Varlend padanya, meski ribuan kali pria itu mengatakan membencinya. Namun, ia yakin hati kakaknya berkata lain.
"Lo gila ya senyum-senyum sendiri," ujar Varlend sambil menepuk pakaiannya untuk menyingkirkan debu yang melekat di busananya itu.
"Gue cuma seneng aja."
"Seneng? Lo seneng mau mati, huh? Kalau lo mati siapa yang bakal ngikutin gue ke mana-mana kayak setan?"
"Bukannya lo seneng kalau gue mati?"
"Lo gila ya, kakak mana yang seneng lihat adiknya mati di depannya?" teriak Varlend tanpa ia sadari, kalau secara tak langsung dia menganggap Ben sebagai adiknya dan takut kehilangannya. Saat ini ia emosi bukan karena marah tapi dia takut kehilangan saja.
Ben tertawa. "Berarti secara enggak langsung lo nganggep gue adik lo?"
Varlend hanya diam.
"Kalau diem berarti iya."
***
Akhirnya Varlend mau berbicara empat mata dengan Ben. Kini mereka telah berada di sebuah restoran Chinese. Mereka memesan Mi Soba.
"Lend, kondisi Bunda kemarin saat lo di Hawai parah banget. Semua barang di kamarnya dibuang dan terus manggil-manggil nama lo, kata perawat. Bunda bilang kalau lo itu bukan anaknya lagi karena dia enggak pernah punya anak yang jahat. Tega nidurin gadis yang enggak berdosa."
Varlend menghentikan aktivitas makannya begitu mendengar penuturan Ben. Ia taruh kedua sumpit di genggamnya ke mangkok dan meminum air putih sedikit. Lalu, memandang Ben penuh tanya.
"Maksud lo apa?" tanya Varlend serius.
"Bunda udah tahu kalau lo ayah dari bayi yang dikandung Rein," lirih Ben agar tak ada orang lain yang mendengar ucapannya.
Mata elang itu membulat tak percaya. Ia heran siapa yang berani mengatakan hal itu kepada ibunya. Tak mungkin, jika Vano--saudaranya setega itu padanya atau keluarga Rein itu malah tak mungkin lagi. Siapa pun itu Varlend bersumpah tidak akan memaafkannya karena membuat kondisi ibundanya memburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Pregnant?
Roman d'amour-Baik buruknya seseorang terlihat dari cara seseorang memandang- EarlyCetta_2015