14. Kecewa

20.5K 1.6K 35
                                    

Setiap manusia pasti punya kisah hidup yang berbeda entah berakhir dengan kesedihan ataupun kebahagiaan, jangan bilang Tuhan tidak adil memberi duka untuk umatnya. Namun, ingatlah di balik cobaan yang menghadang pasti akan ada jalan di sana. Sebesar apa lukamu pasti akan ada obatnya. Akan tetapi, penyakit yang tak mudah disembuhkan ialah penyakit hati yang berupa macamnya dengan dampak mematikan.

Satu jam lamanya Varlend memeluk ibunya erat, meski yang ia peluk tak memberikan reaksi sama sekali. Sekarang kepada siapa ia hendak mengadu, jika tak ada lagi teman dan keluarga yang mendukungnya. Teman yang selama ini ia percayai mengkhianatinya, wanita yang ia cintai juga mencampakkannya dan wanita yang melahirkannya hanya bisa mendengar suaranya tanpa menanggapi semua ceritanya.

Lalu, kepada siapa ia meminta dukungan. Jika, tak ada seorang pun yang akan memberikan semangat untuknya. Lelaki itu punya ayah, tapi hanya nama. Kasih pria tua itu terbatas untuknya tak sebesar rasa sayangnya pada adik tirinya itu.

Nenek yang mengasuhnya ketika kecil pun telah tiada. Semua orang selalu mengatakan kehidupannya sempurna. Wajah rupawan, otak cemerlang, harta berlimpah itulah pandangan orang di luar sana. Namun, tak pernahkah mereka berpikir Varlend kurang kasih sayang. Ibunya mengalami depresi berat dan ayahnya hanya memikirkan bisnis dan putra bungsunya itu. Bahkan semua orang tak pernah mengerti kalau kehidupan indahnya hanya bayangan semu. Kadang jika ia tak ingat rasa sakit ibunya--ingin rasanya mengakhiri hidup tetapi sebelum ibunya tersenyum kembali, ia tak akan mengakhiri hidupnya yang pahit. Semakin hari siksa dunia semakin menyakitkan.

"Ibu, aku sangat menyayangi Ibu. Aku harap Ibu segera sembuh. Kita akan ke Amerika, Ibu, ke tempat yang jauh dari sini, Bu. Tak akan ada yang menyakiti Ibu lagi," ujar Varlend sambil mengecup puncak kepala ibunya. Tanpa Varlend sadari wanita paruh baya itu meneteskan air matanya.

***

Langit malam kian menghitam. Semburat merah kecoklatan terlihat dengan jelas dari balik jendela ruang kerja seorang dokter cantik yang tengah memandang orang yang berlalu lalang di jalanan. Namun, ada seorang yang membuatnya tertarik untuk tak mengalihkan pandangannya. Namun, hatinya bagai tertusuk duri melihat keakraban pria yang diam-diam ia kagumi sedang tersenyum bahagian dengan seorang perawat.

"Dokter A I U E O, kau sedang apa?" tanya Ben yang hendak memberikan laporan perkembangan pasiennya.

"Kau bisa tidak, tak memanggilku dengan panggilan itu, walau kau temanku satu angkatan saat kita kuliah tapi aku lebih tua satu tahun darimu Ben!"

"Oke, Dokter Aira cantik kenapa wajahmu ditekuk melihat Vano dengan asistenku. Oh, jangan bilang kau jatuh cinta padanya?"

"Jangan sok tahu, ya. Kau itu bukan Tuhan," Aira mengelak. Ia takut jika Ben akan menyebarkan kebenaran itu jika ia tahu dirinya memendam rasa pada Vano.

"Syukurlah, kalau begitu. Vano itu tak sebaik yang kau kira."

"Apa maksudmu?" Aira menatapnya dengan raut wajah gusar.

"Dia yang telah menghancurkan hidup orang yang aku cintai. Dia menghamili wanitaku."

Aira yang mendengar itu seperti tersambar petir. Semua organ tubuhnya serasa hancur. Ia menggeleng tak percaya.

***

Waktu masih pagi tetapi Varlend telah datang ke ruangannya untuk mengemasi barang-barangnya. Ia hendak berangkat ke Hawai hari ini untuk perjalanan bisnisnya. Semua barang-barangnya pun langsung ia bawa ke mobil. Setelah itu, ia pergi ke mini market yang buka 24 jam untuk membeli susu. Ia pun bergegas menuju ruangan Rein untuk meletakkan susu itu di sana bersama note kecil. Namun, saat hendak keluar ia berpapasan dengan Rein. Wajah wanita itu tampak pucat sekali.

"Rein, kamu sakit?" tanya Varlend lembut.

"Tidak," jawab Rein dingin. Raut wajah Rein begitu tak bersahabat. Ia sangat kecewa dengan Varlend.

"Tapi, wajahmu pucat sekali. Kamu harus istirahat yang teratur itu tidak baik untuk kandunganmu," Varlend menatap lembut Rein.

"Kenapa Anda harus peduli pada kami? Saya atau bayi ini tidak butuh belas kasihan Anda!" ujar Rein dengan nada yang meninggi.

Varlend tersentak mendengar ucapan Rein. Sebelumnya wanita itu tak pernah berkata dengan nada tinggi. Wanita yang berdiri di depannya itu selalu berbicara dengan lembut.

"Sepertinya kamu memang benar-benar sakit. Maaf, kalau telah menganggumu. Saya pamit."

Varlend langsung melangkah menjauh dari tempat Rein berdiri dengan perasaan yang tak menentu. Wanita itu hanya mampu memandangi punggung Varlend yang semakin menjauh. Hatinya terasa sakit setiap bertemu dengan Varlend setelah mengetahui kebenaran itu. Terkadang, terbesit untuk marah kepada lelaki itu dan berteriak memakinya. Namun, ia sadar betul itu tak akan mengubah segalanya.

Beberapa hari ini Rein tak bisa tidur dengan tenang--memikirkan kenapa harus Varlend yang menjadi ayah biologis dari anak yang ia kandung.

Selama ini ia memandang Varlend seperti malaikat karena begitu baik padanya. Bahkan cinta pertamanya adalah lelaki itu. Dulu ia kira tak akan pernah bertemu dengan Varlend lagi setelah pertemuan mereka di sekolah, makanya ia tak berharap lebih untuk bisa dekat dengan pria itu, sehingga perasaan itu menguap begitu saja  Namun takdir menemukan mereka kembali, hingga cinta lama yang sempat pupus kini berkobar kembali. Akan tetapi rasa sakit yang harus ia dapatkan, setelah mengetahui pemuda itu mencintai orang lain dan dia pula yang merusak masa depannya.

Tbc...

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang