7. Pernyataan Tak Terduga

23.3K 1.8K 59
                                    

Keluarga besar Rein tengah berkumpul di ruang keluarga. Rein pun telah duduk manis di dekat ibunya. Mereka sedang membahas perjodohan Rein dengan Ben.

"Rein, lusa orang tua Ben ngajak kita makan malam di sana. Kamu mau, kan?" tanya Nyonya Selina dengan nada semringah.

"Ibu, aku sudah bilang menolak perjodohan ini. Ben dan aku itu tak memiliki hubungan yang baik sedari dulu." Raut wajah Rein yang semula ceria berubah seketika menjadi masam.

"Ibu melihat cinta di matanya untukmu Rein. Mungkin caranya yang salah mendekatimu tapi cintanya tulus."

Nyonya Selina menatap lembut putrinya. Perempuan setengah baya itu mencoba meyakinkan anaknya.
Rein membalas tatapan ibunya lembut. Namun, jawabannya tetap sama. Perempuan itu menghela napas sebelum berucap, "Ibu, lagi pula aku dan Ben juga berbeda keyakinan. Kami sulit bersatu. Kenapa kalian ingin menjodohkanku dengannya?"

"Rein, dulu Ayah dan Om Gerald sewaktu kami masih bujang berjanji akan menjodohkan anak-anak kami, jika berbeda kelamin sebelum Gerald pindah keyakinan. Sebenarnya Gerald juga ingin menjodohkan putra pertamanya yang sekepercayaan dengan kita, tapi dia tahu kalau Ben mencintaimu. Ayah tidak bisa menolak karena telah berutang budi banyak sekali dengan Gerald," jelas Tuan Ardian mengingat permintaan temannya itu secara tiba-tiba.

Dulunya Tuan Gerald ingin 
menjodohkan putra pertamanya dengan Rein yang satu keyakinan dengan keluarga temannya. Anak pertamanya itu sedari kecil ikut neneknya, sehingga dirinya memeluk agama yang sama dengan neneknya. Namun, lelaki paruh baya itu mengetahui dua hal, yakni Varlend sangat mencintai kekasihnya dan Ben sangat mencintai Rein, sehingga ia putuskan untuk menjodohkan anak bungsunya dengan Rein karena dirinya sudah bersumpah untuk selalu membahagiakan putra dari istri keduanya itu.

"Ayah tak akan memaksamu Rein untuk menerima perjodohan ini, tapi tolonglah ikut dengan kami lusa untuk makan malam di rumah Tuan Gerald. Hanya makan malam," lanjut Tuan Ardian.

Dengan berat hati pun Rein menyetujuinya. Ia berharap Ben tidak akan mengatakan kejadian beberapa minggu yang lalu kepada orang tuanya, jika lelaki itu telah mengetahui jati dirinya besok.

***

Suasana kantin kantor sangat riuh karena tak biasanya presiden direktur mereka itu mau makan di kantin. Apalagi, ia tak suka repot-repot mengantri berdesakan. Biasanya pemuda itu akan memilih sekretarisnya untuk memesan makanan dan ia tinggal menikmatinya di ruangan, tetapi semenjak mengetahui wanita yang telah ia tiduri itu hamil, pria bermata sipit itu terus berada di sekitar perempuan hamil itu, ketika ia memiliki waktu luang untuk memantau bahwa wanita yang tengah mengandung anaknya itu baik-baik saja.

Varlend tanpa basa-basi langsung menarik kursi di depan Rein. Ia tak peduli tatapan-tatapan anak buahnya yang bertanya-tanya. Baginya yang terpenting ia bisa memantau makanan wanita di depannya itu agar tak berdampak buruk pada kandungannya.

"Ini aku belikan ea krim green tea," ujar Varlend seraya menyodorkan es krim untuk Rein.

Rein langsung menerima es krim pemberian Varlend tanpa curiga. Entah kenapa beberapa hari ini, ia sangat menyukai es krim itu. Mungkin pengaruh janinnya.

"Emh, Presdir dari mana Anda tahu saya sedang ngidam es krim ini?" tanya Rein dengan nada ceria.

Varlend malah mengerutkan dahinya. Ia tak tahu jika Rein tengah mengidam es krim itu. Lelaki ini memang sengaja membeli es krim di saat cuaca panas seperti ini untuk ia nikmati. Namun, saat melihat Rein, ia berpikir untuk memberikan itu kepadanya.

"Aku sangat menyukai yang berbau green tea. Cuaca panas itu cocok untuk menikmati es krim. Aku cuma ingin berbagi es krim. Aku tak tahu kalau kau ngidam," jelas Varlend sekenanya.

Rein menatap manik mata Varlend lekat, tapi tak ada kebohongan di sana. Daripada memikirkan hal itu, ia lebih memilih kembali menikmati es krimnya. Sementara Varlend lebih memilih menikmati ayam panggangnya. Namun, belum sempat Rein menghabiskan es krimnya, rasa mual kembali hadir. Ia langsung bergegas menuju kamar mandi. Varlend pun berjalan mengikutinya untuk memastikan wanita itu baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian Rein telah keluar dari toilet. Di belakang perempuan itu ada seseorang wanita yang telah memasuki kepala tiga. Meski begitu wajah rupawannya membuat ia lebih muda dan membuat semua orang mengira bahwa ia masih berumur dua puluh tahunan.

"Rein, kamu hamil, ya?" tanya perempuan itu.

"Emmh, kok Mbak bisa mikir gitu?" Rein tak tahu harus menjawab apa.

"Dulu, waktu Mbak hamil muda juga kayak gitu dikit-dikit muntah. Apalagi, kamu sekarang kan suka yang makan yang aneh-aneh. Udahlah Rein jangan bohong sama mbak kayak sama siapa aja."

Rein hanya menunduk. Ia takut mengucapkan kebenarannya. Ketakutan terbesarnya adalah jika seluruh pegawai di kantor mengetahui kehamilannya itu dan mengunjingnya. Dia hanyalah korban lelaki brengsek yang tak ia ketahui bagaimana wajahnya.

"Kamu bisa ceritain siapa yang hamilin kamu. Mbak akan selalu ada buat kamu kalau mau curhat."

"Aku enggak tahu Mbak siapa pria itu. Tolong Mbak rahasiain kehamilan aku," pinta Rein. Tak disangka ada orang lain yang mendengar ucapan mereka.

"Rein kamu hamil dan kamu enggak ngasih tahu aku!" teriak Silfy yang berjalan ke arah mereka.

"Sil, aku bingung mau cerita gimana ke kamu." Rein menatap Silfy gusar, ia remas bajunya untuk melampiaskan kegamangannya.

"Selama ini Rein yang aku kenal enggak bakal menyembunyikan apa pun dariku. Apalagi, hal sebesar ini. Siapa ayah dari bayi ini?"

"Aku enggak tahu," lirih Rein dengan nada lesu.

"Jangan bohong. Kamu pasti mau ngelindungin pria itu kan. Kamu jadi cewek jangan bego dong, mau aja ditinggal setelah hamil. Kamu bukan cewek murahan, kan? Kamu itu Reiniza, sahabatku yang paling baik. Aku kecewa denganmu!" Silfy menekan Rein dengan ucapannya.

"Terserah kamu mau bilang apa. Aku emang murahan, kamu puas?"

Rein sakit hati mendengar ucapan Silfy itu. Harga dirinya seperti diinjak-injak. Ia tak menyangka Silfy akan memakinya seperti itu di depan umum. Dirinya tahan air matanya agar tak terjatuh. Tak mau terlihat rapuh.

Sementara dari ujung sana Varlend menatap nanar Rein yang diperlakukan seperti itu. Entah kenapa ia merasa kesal kepada Silfy. Rahang lelaki itu menggeras, tangannya mengepal, dan matanya menajam.

"Rein, kamu sahabatku. Aku kenal baik kamu, tapi sekarang kamu berubah. Aku enggak ngenalin kamu lagi! Aku kasihan sama anakmu nanti, kalau dia lahir ke dunia masa enggak tahu bapaknya!" desak Silfy lagi.

"Saya ayah dari janin yang dikandung Rein. Memang kenapa, jika Rein hamil? Itu masalah buat Anda? Jika Anda berkata yang buruk lagi terhadap ibu dari anak saya, maka saya pastikan Anda akan menderita."

Tbc...

Siapa yang ngaku itu?
Varlend apa bukan?
Ada yang sepet sama Varlend enggak?

Am I Pregnant? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang