Prolog

312 31 4
                                    

Waktu seakan tak pernah melangkah mundur, seperti aku yang tak akan pernah kembali menjadi anak kecil, lagi.

***

"Teng..Teeng..Teeeng..!!"

Bunyi lonceng akhir pertanda pulang Madrasah tempat Mentari mengaji telah berbunyi. Mentari berlari keluar kelas dan ia segera menaiki sepeda yang ia parkirkan di kantin belakang Madrasah.

"Bu, Mentari pulang yah, makasih udah jagain sepeda Mentari" ucapnya kepada ibu kantin yang dengan senang hati mau menjaga sepedanya.

"Iya Nak, hati hati ya.. jangan kencang-kencang naik sepedanya nanti jatuh." Jawab Ibu kantin sambil melambaikan tangannya kepada Mentari.

"Siaaaap Bu. Daaaaaah !" Sambil berteriak Mentari lambaikan tangan dan segera pulang kerumah.

Sore itu, menjelang senja di ufuk barat, Mentari menitip pesan kepada Langit.

"Hei Langit, katakan pada sang Senja, tunggu aku setelah mandi nanti ditempat biasa. Akan ku kenalkan dia pada teman baruku."

Langit hanya diam. Namun Mentari tau Langit pasti sedang tersenyum dibalik awan putih yang menyelimutinya dan akan menyampaikan pesan Mentari pada sang Senja.

"Assalamualaikum Bunda, Mentari pulang " kata Mentari kepada Bunda yang sedang asik menonton TV.

"Waalaikumsalam Gadisku, baru pulang ya Sayang?." Jawab Bunda sambil mencubit pipi anak gadisnya yang bulat.

"Iya Bunda, Mentari langsung mandi yah. Soalnya Mentari mau lihat Senja nanti, terus Mentari mau ngenalin Senja sama Mini boneka baru yang Ayah belikan kemarin."

Sambil tersenyum Bunda menjawab, "Iya, siap Gadisku."

Mentari hanya perlu waktu 8 menit untuk mandi, 2 menit untuk pakai baju dan celana, dan 5 menit untuk Ibu yang akan selalu mengepang rambutnya setelah Mentari selesai mandi.

Mentari mengambil dan memeluk Mini boneka baru pemberian Ayahnya lalu diajaknya Mini duduk ke tempat favorit dirumahnya, tempat pertemuan rutinnya dengan sang Senja saat sore hari.

Lokasi teras kecil samping rumahnya termasuk tempat yang paling bagus jika ingin melihat Senja saat sore hari karena tepat mengarah ke ufuk Barat, ditambah view Gunung Simbolon dan pepohonan serta perumahan yang terlihat kecil jika dipandang jauh membuat mata termanjakan oleh pemandangan sederhana itu.

Jika Mentari tak salah menerka, luas teras samping rumahnya sekitar 1,5x1,5 meter persegi. Tepat didepan teras samping terdapat pagar pembatas antara rumahnya dengan atap rumah tetangga. Posisi rumahnya jauh lebih tinggi dari rumah tetangganya karena tepat didaerah rumah Mentari memiliki letak tanah yang lumayan tinggi. Jadi jika berjalan kerumah Mentari, pasti rasanya seperti naik-naik ke puncak gunung.

Rumah Mentari tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Mentari tidak bisa mengira berapa luas tanah rumahnya, karena jika ukuran kira-kira yang diberikannya keluasan, Mentari akan dimarahi tetangga karena mengambil sedikit tanahnya, dan jika ukuran kira kira yang diberikannya kesempitan, mungkin Mentari akan diancam Bunda pindah kerumah tetangga. Halaman depan rumahnya lumayan lebar, buktinya sering dijadikan lapangan bermain untuk Mentari dan teman temannya bermain pecah piring. Seperti itulah sekilas tentang letak rumah dan letak tempat favoritnya.

Sore itu, Langit mulai memancarkan pesonanya, terlukis warna jingga, merah jambu, dan ungu di atas sana, ada pula gumpalan awan putih yang perlahan mulai berubah warna mengikuti warna Langit. Itulah Senja. Dia selalu menjadi favorit Mentari. Teman terbaik penghapus lelah dan penatnya dari dulu hingga sekarang.

"Sore Senjaku." Sapa Mentari kepada sang Senja yang mulai merona merah di langit sore.

"Sore Mentariku." Jawab sang senja padanya.

"Kau sangat cantik sore ini, aaaah kau memang selalu tetap cantik." Kata Mentari memuji sang senja.

Sang senja tersenyum dan menjawab, "terimakasih Mentari, aku terlihat cantik seperti ini juga karena kau Mentari."

"Ya, tapi bukan karena Mentari aku, tapi karena Mentari Dia." Jawab Mentari sambil menunjuk ke arah Matahari yang membulat jingga seperti kuning telur bebek.

"Senja, aku mau kenalin kamu sama teman baruku, Mini." Lanjutnya sambil melambaikan tangan Mini di depannya.

"Oh, Hai Mini. Aku senja. Kau boneka yang cantik, sama seperti si Gadisku Mentari." Jawab sang senja.

"Tidak Senja, masih cantikkan aku kata Bunda, hehe. Ayahku yang memberinya karena aku juara satu lomba makan kerupuk waktu 17Agustus semalam, ayah janji katanya mau kasih aku hadiah kalo aku dapat juara satu. Ehhh rupanya aku menang, yaudah aku minta hadiah deh sama Ayah." Celotehnya sambil meringis geli karena pamer menang lomba makan kerupuk.

"Hahaha. Hebat! Selamat ya Mentari. Jika begitu kau harus menjaga Mini, karena dia adalah hadiah dari Ayahmu." Kata Senja yang perlahan mulai memudarkan jingganya.

"Ya, dia kan sekarang udah jadi temanku, pasti aku akan sering mengajaknya bermain dan dia juga akan kuajak bertemu denganmu setiap sore."

"Baiklah. Aku senang mendengarnya. Sepertinya sudah waktunya aku pergi, besok jika ada waktu, kita akan bertemu lagi Mentari. Sampai jumpa" ucap sang Senja yang mulai menghilang ditelan gelap sang Malam.

Mentari melambaikan tangannya dan tangan Mini sambil mengatakan, "Sampai jumpa besok Senjaa.."

Mentari tersenyum diantara setitik jingga dan pekat malam yang mulai menutupinya. Satu detik berlalu Mentari mulai merindunya, dan selalu merindunya hingga detik ini.

***

September 2017

Doinkk!

Mentari kembali tersadar dalam lamunan panjangnya ketika ponselnya berbunyi keras diselingi getar yang membuat badannya geli. Pertanda ada satu pesan yang baru masuk. Mentari mengayunkan jempolnya dari atas kebawah mengusap si layar datar. Terlihat jelas di notifikasi sebuah nomor tidak dikenal mengirimkannya sebuah pesan. Dan Mentari segera membukanya.

From 0822xxxx
Aku rindu. Rumahmu belum pindahkan?


Deg.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang