Insiden di Malam hari

51 5 0
                                    

Juli 2015


Mentari meluruskan pandangannya ke depan, tepat ke arah anak-anak kecil yang sedang melantunkan nyanyian malam diiringi petikan ukulelenya. Dari sudut ini, ia bisa melihat tulusnya senyuman yang diberikan para pengamen cilik itu kepada banyak orang yang telah mengapresiasi mereka dengan tepuk tangan. Ada pula beberapa orang yang mengapresiasinya dengan memberikan mereka sejumlah uang.

Sudut bibir Mentari perlahan tertarik ke atas. Ada rasa bangga tersendiri di dalam lubuk hatinya melihat semangat pengamen cilik itu. Dulu, saat usianya masih seperti anak-anak itu, ia tak pernah berani bernyanyi di depan umum, apalagi jika untuk mencari uang di malam hari yang dingin seperti saat ini. Dulu, jika ia ingin membeli jajan, ia tinggal memintanya pada Bunda. Tapi anak-anak ini berbeda, mungkin saja mereka harus mencari uang dulu lalu setelah itu bisa membeli makanan. Pada satu sisi, ia sangat salut kepada mereka.

Namun, di sisi yang lain kemana orangtua mereka? Mengapa anak-anaknya dibiarkan keluar malam mencari uang sendiri? Bukankah anak-anak seusia mereka saat ini lebih membutuhkan kepedulian dari orangtuanya? Lalu kemana orang tua mereka? Ataukah orangtua sudah tiada? Jika begitu, apakah mereka tak punya rumah? Mereka akan tinggal dimana? Dan untuk besok pagi, apakah mereka akan sekolah seperti anak-anak seusia mereka? Atau mereka akan kembali bekerja?

Mentari masih berkutat pada fikirannya. Banyak tanya yang membuatnya penasaran tentang kondisi anak-anak itu. Tiba-tiba di sela lamunannya, ia dikejutkan dengan suara teriakkan yang sangat kencang dari arah belakangnya. Dan kini mulai bersahutan.

"COPET!!"

"COPET!!"

"KEJAR WOI!"

"COPEEEET!!"

"DOMPET!!"

Mentari menoleh ke belakang, ia melihat semua orang menunjuk tepat ke arahnya.

Ada copet yah? Gumamnya sambil melihat keadaan yang semula tenang menjadi ramai.

"KAK! DOMPET, KAK, DOMPET!!"

Dompet? Batinnya. Ia mengerutkan keningnya. Lalu ia melirik ke arah dashboard motornya, tempat ia meletakkan dompetnya. Dan...

Kosong.

Mentari melebarkan matanya diiringi jantungnya yang berdebar tak karuan. "Sialan! Dompet aku!" pekiknya. Lalu ia berlari meninggalkan motor matic yang dibiarkan terparkir sendiri.

"WOI!! COPET!! BERHENTI!!"

"BALIKIN DOMPET AKU!!"

"COPET!! BERHENTI!"

"BERHENTIIIII." Teriaknya saut-menyaut sambil berlari mengikuti kemana arah orang berlari.

"HOI! PARCOPET! BALIKIN DOMPET AKU!"

"COPET SIALAN! AKU BARU NARIK SEMALAM! BERENTI KAU!! BALIKIN DOMPET AKU!!"

Setelah sekian banyak ia teriak dan sekian jauh ia berlari, akhirnya gadis berkuncir kuda itu kelelahan.

"Co-pet...hahhh... Ber-henti...hhhh." ucapnya sytambil ngos-ngosan.

"Ak-aku...hah..hhh Cah-pek...hahhh." Mentari berhenti sejenak dalam keadaan membungkuk. Ia kelelahan. Bahkan naik gunung tertinggi sesumatera utara saja tidak sebegini lelahnya, pikirnya.

Ya namanya berlari sambil teriak kuat-kuat, gimana gak capek toh?

Mentari menegakkan tubuhnya, mengambil nafas lagi dan lagi sampai ia tidak merasa ngos-ngosan lagi. Lalu ia memicingkan matanya, melihat ke arah persimpangan jalan sebelah kanan, terlihat kerumunan orang sedang berkumpul dan telinganya mendengar suara teriakan "copet" berakhir disana.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang