Awal Kerinduan

40 6 2
                                    

Juli 2015

Sesuai janjinya pada Elang kemarin, hari ini tepatnya di hari Sabtu, Mentari sedang berpatisipasi mengikuti kegiatan menanam pohon di kawasan hutan lindung, Aek Nauli. Pasalnya, di kawasan ini sering terjadi longsor, sehingga tim Mapala dari kampus mereka memutuskan untuk menanam pohon di kawasan ini guna mencegah adanya longsor. Apalagi mengingat kawasan ini banyak dilintasi kendaraan bermotor.

"Tumbuh besar ya pohon. Nanti aku bakal sering kesini, memberimu makanan agar kau cepat besar dan kuat." ucap Rona sambil menepuk pelan tanah yang baru saja ia tanami sebuah pohon.

Mentari hanya tersenyum mendengar temannya itu asik berceloteh dengan pohon. Bagaimana tidak, Rona adalah perempuan yang sangat menyukai tumbuhan. Tidak heran jika di halaman depan sekretariat Mapala sudah seperti taman bunga, dan di halaman belakang sudah seperti kebun buah yang banyak ia tanami beberapa jenis pohon. Itulah sebabnya Rona sering berbicara pada tumbuhan karena sanking cintanya ia pada makhluk hidup jenis tumbuhan itu.

Setelah selesai menanam pohonnya, Mentari menyandarkan diri disalah satu pohon yang terlihat paling tua diantara pohon yang lainnya. Bisa diperkirakan pasti usia pohon ini sudah ratusan tahun. Dilihat dari batangnya yang begitu besar, dan tingginya kira-kira sampai 10 meter dari tanah yang di pijak Mentari sekarang, begitu juga akar-akarnya yang mungkin sudah sampai pada poros bumi.

Mentari menghirup nafasnya perlahan, ia suka menghirup aroma hutan yang masih segar. Lalu ia menutup kedua matanya. Berusaha sejiwa dengan alam. Rasanya tenang jika berada jauh dari jangkauan hiruk pikuk kota yang tidak pernah setenang di hutan.

Lagi. Mentari menghirup nafasnya perlahan dan..

"What the.. Argh! Bau apa ini?!" pekiknya dan langsung bangkit dari tempat duduk.

"Loh? Ada Mentari?" tampak seorang lelaki bertubuh kurus tiba-tiba nongol dari balik pohon tempat Mentari duduk tadi.

"Kamu kentut?" tanya Mentari to the point sambil menutup hidung pada sosok lelaki yang hampir merusak paru-parunya.

"Iyaa, hehehe. Ucok fikir disini gak ada orang." balasnya sambil nyengir.

"Ucok! Ih! Jorok kali."

"Ri, kentut adalah salah satu anugerah, karena bisa ngeluarin penyakit dari tubuh kita." jelas Ucok sok ilmiah.

"Tapi bisa jadi musibah bagi orang yang nyium kentut kamu yang baunya luar binasa ini, Ucok!" balas Mentari tidak mau kalah.

"Heheh. Tapi dari pada Ucok tahan, kan jadi penyakit untuk Ucok, Ri."

"Tapi ada baiknya lihat-lihat situasi juga, Ucok."

Tapi..
Tapi..
Tapi...
Tapi seterusnya masih berlanjut.

Disela berdebatan mereka yang unfaedah ini, muncullah Elang ditengah keduanya. Sebenarnya Elang sudah memperhatikan mereka sejak tadi, bahkan jauh sebelum Ucok datang ke pohon itu, lebih tepatnya sejak Mentari duduk tenang disana.

"Sudah debatnya?" tanya Elang, "Yuk. Makan." ucap Elang sambil menarik kedua tangan temannya yang masih saja belum berhenti berdebat.

Setelah selesai makan bersama diatas kertas nasi yang disusun berjejer rapi atas tanah seperti yang biasa mereka lakukan, akhirnya mereka langsung beres-beres agar segera kembali ke sekretariat. Kegiatan menanam pohon berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.

***

Mentari merogoh kantong celananya yang terasa bergetar. Terlihat satu notifikasi pesan baru disana. Ia segera membukanya.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang