Malam

60 19 0
                                    

- Mentari Kecil -

Hanya ada satu kata yang bisa mewakili perasaan Mentari malam ini, "Bosan". Ya, bagaimana ia tidak bosan, jika Malam ini ia hanya duduk diam sambil mendengar deru hujan yang seakan mengejeknya. Jika sedang Hujan begini, alasan Bunda sangat kuat untuk tidak mengizinkannya menonton TV, kata Bunda, "nanti disamber gledek". Bunda seakan trauma pada kejadian yang menimpa tetangga mereka 2 minggu lalu, karena TV mereka disambar petir dan rumah mereka terputus aliran listrik karena korsleting dan selama 1 bulan pula mereka tidak bisa nonton TV, karena TV mereka yang tak kunjung diperbaiki. Dan itu sebabnya Bunda tidak ingin ketinggalan episode terbaru dari sinetron kesayangannya jika TV kami disambar petir.

Ah, Hujan. Lagi lagi Hujan membuat Mentari semakin tidak menyukainya. Menyebalkan. Alhasil, daripada Mentari termenung sendirian, Mentari memutuskan untuk bermain dengan Mini.

"Mini, Mini, Hujan itu menyebalkan kan?" tanyanya pada Mini.

"Ya, Hujan menyebalkan." ucapnya mengisi suara Mini sambil menganggukkan kepala Mini.

"Hujan hujan pergilah, datanglah dilain hari." Mentari bernyanyi sambil membentangkan tangan Mini seakan mengajaknya berdansa. Dan seketika itu pula Hujan reda. Tak ada terdengar satu rintik pun di jatuh diatas atap rumahnya.

"Hujan reda." gumamnya dalam hati dan tangannya perlahan membuka tirai jendela memastikan apa benar Hujan sudah reda?

"Yeeeeeeeaaaaay! Udah reda!" teriak Mentari sambil berlari keluar kamar menuju teras samping rumahnya.

"Hmmsh.. Hahhh.."  dihirupnya udara Malam yang sejuk diantara tanah basah hujan reda gerimis sisa. Segar. Hujan membuat Malam semakin dingin. Tapi Mentari suka. Bukan, Mentari belum suka Hujan, maksudnya Mentari suka dingin.

Kini pandangannya mengarah pada cahaya lampu lampu kecil yang menghiasi pemandangan Malam dibawah gunung Simbolon. Indah. Tak ada terdengar suara bising knalpot atau klekson telolet di Malam ini. Hening. Mentari suka.

Mentari berdiri di depan pagar, memandang Langit yang mulai memamerkan indah kemerlap bintangnya. Satu. Dua. Tiga. Sepuluh. Dua puluh. Dan kini mungkin ada beribu bintang dilangit. Senyum mengembang di bibirnya. Matanya berbinar melihat indahnya Malam ini. Kagum.

"Waaaaaah. Apakah jika habis Hujan akan ada bintang sebanyak ini?" tanyanyavpada Langit sambil mencoba menghitung bintang dan kurasa itu siasia.

"Malam.." ucapnya pelan pada sang Malam. Ia berharap sang Malam bisa mendengar suaranya.

Namun sang Malam masih diam bersama gelapnya.

"Malam. Bisakah aku minta satu dari beribu bintangmu?" tanyanyA pada sang Malam.

"Malam.. Apakah kau tidak bisa berbicara seperti Terik, Senja, dan Hujan?" tanyanya lagi dan berharap penuh sang Malam akan menjawabnya.
Dan nihil, sang Malam masih diam.

"Hmm. Padahal aku hanya ingin mengajakmu bercerita. Hanya itu." jawabnya sambil memasang wajah murung pada Langit Malam.

"Jangan bersedih."

"Malam?"

"Ya?" jawab sang Malam.

"Terimakasih" ucap Mentari sambil menyunggingkan senyum di bibirnya "ku harap kau mau jadi tempat pendengar ceritaku." lanjutnya.

"Aku bersedia apapun itu untukmu, Gadis kecil." balas sang Malam dan Mentari yakin dia sedang tersenyum padanya.

"Kau tau Malam? Tadi aku marah pada Hujan."

"Mengapa? Apa salah Hujan sehingga kau marah padanya?"

"Aku hanya tidak suka dia datang ketika Senja harus datang."

"Dan karena itu kau tidak menyukainya?"

"Tidak juga. Aku memang tidak menyukainya. Itu saja."

"Boleh aku memarahimu?" tanya sang Malam pada Mentari 

"Mengapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya. Mentari benar benar tidak mengerti mengapa sang Malam ingin memarahinya. Apa salahnya?

"Aku tidak menyukaimu." tegas sang Malam.

"Ta-tapi apa salahku? Berikan alasanmu." mata Mentari seakan terasa panas.

"Tak ada alasan pasti." lanjut sang Malam.

Bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi Mentari. Ia menangis. Sesekali diusapnya air mata yang jatuh. Tatapannya kini menatap ke bawah. Tanah itu masih basah seperti pipinya sekarang.

"Apa kau tau, Gadis? Ketika kau mengatakan pada Hujan jika kau tak menyukainya tanpa alasan pasti seperti yang kuucapkan tadi, Hujan juga melakukan hal yang sama ketika kini kau menangis." ucap sang Malam.

"Apakah Hujan menangis?" tanyanya lirih.

"Ya, lebih deras dari tangismu tadi. Apakah kau tak melihat Hujan turun hingga Malam hari?"

"Maafkan aku." ucapnya sambil menundukkan kepala.

"Minta maaflah pada Hujan. Bukan padaku."

"Ya, jika bertemu dengannya aku akan minta maaf padanya." pikiran Mentari kini melambung kepada Hujan. Sejahat itukah Mentari sehingga membuatmu menangis, Hujan. Maaf.

"Aku tau kau Gadis baik seperti yang diceritakan Senja padaku. Sudahlah, jangan menangis, nanti cantikmu akan hilang," ucap aang Malam, dia sangat baik. Bahkan ketika sedang memarahinya tapi dia masih sempat menggoda Mentari untuk tersenyum.

"Nihhh aku senyum.." Mentari tersenyum sambil memamerkan giginya dan Mentari kembali tertawa pada sang Malam.

"Masuklah, udara Malam tidak baik untuk anak kecil seperti kau, Mentari."

"Iya, baiklah. Oiya, aku tak ingin memintamu untuk hadir menemuiku besok, karena apa coba?" tanya Mentari pada sang Malam.

"Karena aku pasti akan hadir setiap hari tanpa absen."

"Hahaha. Yap. Kau benar. Baiklah, aku akan masuk rumah. Pr ku juga belum ku kerjakan, hehe. Sampai jumpa, Malam. Titip salam untuk Hujan." ucap Mentari sambil tersenyum padanya.

"Akan kusampaikan salammu untuk Hujan. Sampai jumpa." balas sang Malam.

"Selamat Malam, Malam."

"Selamat Malam, Mentari."

Terlihat satu bintang bersinar paling terang diantara bintang lainnya. Mentari menutup kembali tirai jendelanya sembari mengucap terimakasih pada sang Malam.

"Terimakasih Malam, bintangmu indah."

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang