Senja

105 19 0
                                    

September 2017

Entah sudah berapa jam Mentari duduk di teras sambil menatap ponselnya yang berisi pesan dari seseorang. Sesekali ia meletakkan ponselnya lalu mengambilnya lagi. Ia ingin membalas pesan kepada si pengirim tadi, namun ia mengurungkan niatnya untuk saat ini. Ia menatap awan kelabu di ujung petang yang sendu.

Dimana jinggaku? tanyanya dalam hati.

Kini, putaran waktu sudah masuk pada bulan dengan akhiran "ber" dimana pada bulan ini, awan hitam dan rintik hujan akan sering mengunjungi hari.

Sesekali diseduhnya kopi hitam yang sudah tak hangat lagi sambil membaca ulang catatan harian pertamanya. Sekilas kenangan terbayang dalam ingatan. Tentang sosok yang kini masih dan selalu ia rindukan.

Kau sedang apa sekarang? Mungkin disini sebentar lagi akan turun hujan. Disana bagaimana? tanyanya dalam hati.

Sejenak Mentari mengingat kembali dialog pertamanya dengan sang Senja. Mentari hanya rindu, itu saja.
Mungkin jika Dia sedang berada disamping Mentari sekarang, sontak Dia pasti bertanya pada Mentari tentang siapa yang paling Mentari rindukan? Dia atau sang Senja? Tenang saja, untuk hal paling masih Dia juaranya. Tapi untuk sekarang biarlah Mentari merindu Senja di bulan penghujan ini.

🌻🌻🌻

Sore itu.
Mentari bersembunyi dibalik semak-semak yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, Mentari layaknya tentara yang sedang gerilya di medan tempur.

"Sanaaaa! Ini tempatku. Kau cari tempat lainlah, jangan ikutan." ucap Mentari pada Candra yang sejak tadi mengikutinya mencari tempat berondok (sembunyi).

"Kan aku yang nemui tempat ini duluan." balasnya tak terima.

"Aku! Kau yang mengikutiku dari tadi."

"Enggak! Aku! Kau yang pigi sana."

"Mentari, Candra , CINDONG!!" teriak Windy kepada kami berdua.

Mentari bangkit dari tempat gerilyanya, diikuti langkah Candra sambil bibirnya yang tipis itu mengoceh kepadanya.
"Ah ketauan kan aku jadinya, ini gara gara kau. Coba tadi kau nggak ikut samaku pasti aku nggak ketauan. Huh."

Mentari memutar bola matanya lalu menatap malas kearahnya tanpa mengucap satu patah kata pun. Baginya, berdebat dengan Candra adalah hal yang membosankan. Apalagi saat permainan Alip Cindong atau sering disebut Petak Umpet berakhir dengan Mentari yang jadi penjaganya.

Oiya, Candra adalah tetangga Mentari sekaligus sahabatnya sejak kecil. Letak rumahnya berada tepat di depan rumah Mentari. Umurnya sama seperti Mentari. Dia sangat suka makan supermi mentah. Entahlah, katanya itu begitu lezat. Dia adalah salah satu generasi micin bangsa ini.
Dan Windy juga tetangga sekaligus sahabat Mentari. Tapi bedanya, rumahnya agak jauh dari rumah Mentari. Meskipun begitu, Windy sering main dengan Mentari dan Candra. Tempat main langganan mereka di belakang mesjid, lapangan luas tempat para anak-anak mengekspresikan kesenangannya.

"Ku hitung 1 sampai 10 ya, bawang putih bawang merah, kalo kena jangan marah. 1..2..3..4..5..6..."

"Mentarii.."

Mentari membuka mata dan melihat kearah suara yang ia yakin itu adalah Ayahnya.

"Ya Ayah?"

"Ayok pulang, mandi. Udah sore loh, mau terus main sampai malam?"

"Yaaaah, baru aja Mentari yang jaga. Huh." jawabnya sambil menghampiri Ayahnya.

"Besok kan masih bisa, Sayang. Yah, ayo pulang. Udah jam 5 lewat ini." bujuk Ayah pada Mentari.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang