Sebuah Rasa

59 16 2
                                    

Mei 2015

Seorang Gadis berjalan dengan langkah gontai sambil sesekali tersenyum paksa ketika berpapasan dengan teman sekampusnya. Hari ini moodnya sedang buruk karena pengaruh tadi malam, Neneknya masih saja membahas soal rencana perjodohan kepadanya. Ditambah lagi hari ini ia kedatangan tamu tak diundang dari bulan. Dan yang membuat moodnya semakin berantakan karena baru saja Dosennya tidak memperbolehkannya masuk kedalam kelas, perkara dirinya terlambat 3 detik dari jam masuk kelasnya. Sungguh penderitaan yang sangat sempurna, batinnya miris.

Langkah kakinya berhenti di depan sekretariat organisasi Mapala yang terlihat masih sepi, kemudian ia duduk di bangku rotan sambil menopang dagunya. Semilir angin pagi berhembus lembut menerbangkan dedaunan kering yang berjatuhan dan helai-helai rambut seorang Gadis yang terurai. Pandangannya terlihat kosong, sedangkan fikirannya tampak penuh dengan segala permasalahan ada.

"Mentari?"

Ia segera tersadar dalam lamunannya lantas menoleh kearah sumber suara. Tampak seorang Lelaki berambut acak-acakkan dengan kaos oblong dan celana ponggol sedang menghampirinya. Ia hanya menatapnya datar tanpa senyuman sedikit pun.

"Tumben? Cabut ya?" Lelaki itu mendaratkan bokongnya tepat disebelah Mentari.

Mentari menggelengkan kepalanya pelan lalu menatap Lelaki yang berada disampingnya dengan tatapan memelas dengan bibir yang dimanyunkan.

"Terus kenapa? Mau aku yang nanya? Atau kamu yang cerita?" Lelaki itu tersenyum lalu mengusap pelan puncak kepala Mentari.

"Huuaaaaaa.." Teriak Mentari histeris sambil memasang wajah seolah-olah ingin menangis. "Aku gak mau dijodohinnnn, Elang."

Elang mengerjapkan matanya berkali-kali dan membiarkan bibirnya terbuka sempurna. Sedetik setelah itu ia tertawa sekuat-kuatnya tanpa memerdulikan tatapan Mentari yang sudah berubah seperti sedang ingin menikam.

Elang membungkam kedua mulutnya setelah ia rasa puas tertawa mendengar Mentari ingin dijodohkan. Ia melihat tatapan tajam dari sepasang mata bulat yang selama ini jarang menatapnya seperti itu. Ia sudah lama mengenal Gadis ini, tapi ia belum pernah melihat tatapan yang tajam dari Gadis ini seolah ingin segera menikamnya. Sungguh seram.

"Ehm.. Maaf, Ri. Aku kelepasan."

Mentari mengalihkan pandangannya kearah depan. Ia menjadi malas melihat Lelaki yang berada disampingnya sekarang ini, bukannya memberi solusi tapi malah asik menertawai masalah temannya sendiri.

Tau gitu bagusan aku diam aja, batin Mentari.

Seperti sedang terjadi perang dingin diantara mereka berdua. Tak ada percakapan lagi setelah itu. Yang ada hanya hening.

Elang berdiri dari tempat duduknya lalu melangkahkan kakinya ke dalam sekret. Ia meninggalkan Mentari begitu saja.

Melihat Elang yang sudah pergi meninggalkannya sendirian, membuat mood Mentari semakin berantakan. Niatnya ingin menceritakan masalahnya kepada Elang malah tidak jadi karena Elang meninggalkannya. Ia kembali menopang dagu dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba dari atas kepalanya terlihat sebungkus permen Tamarin yang diayun-ayunkan oleh sebuah tangan kekar. Mentari menengadah ke atas, dan terlihat Elang sedang tersenyum kepadanya sambil menggerakkan mulutnya mengucapkan kata maaf tanpa suara.

Tanpa Mentari sadari, bibirnya mengulas senyum dan kepalanya mengangguk pelan. Mentari mengambil sebungkus permen Tamarin dan mendekapnya kedalam pelukan. Sungguh, hanya Tamarin yang bisa membuat moodnya baik seketika.

Elang menatap Mentari dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia suka melihat senyum Mentari. Apalagi jika mendengar suara tawa dari Mentari, hal itu akan membuat senyumnya mengembang sempurna. Kadang ia bertanya-tanya sendiri pada hatinya, mengapa ia sebahagia ini ketika melihat Mentari tersenyum? Apakah perasaan yang dimilikinya ini hanya sekedar menganggap Mentari sebagai seorang adik, karena kepribadian Mentari yang ceria sangat mirip dengan adik kandungnya. Atau malah lebih dari itu? Entahlah. Sampai sekarang ia masih bingung dengan perasaannya sendiri.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang