☆BAB 9: Hari Pernikahan☆

4.3K 317 11
                                        

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ikhlas, satu kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan
***

Hari ini adalah hari yang dinantikan semua orang, terutama dokter Nizam beserta keluarga besarnya. Perhelatan pernikahan sudah hampir dimulai, ijab qobul pun segera dilaksanakan. Aku masih terduduk dipojok ruangan sambil melihat ruangan rumah Ayessha yang disulap bak istana raja. Banyak tamu yang datang pada acara akad nikah ini, semua staf rumah sakit juga datang semua. Sekilas aku melihat dokter Rico ada disamping Nizam yang sudah siap di depan penghulu.

Aku salut padanya, ketika hatinya hacur melihat orang yang dicintainya menikah dengan sahabatnya, dia masih terlihat kuat dengan mendampingi calon suami dari wanita yang ia dambakan sejak dulu menjadi makmumnya.

Aku tahu, dibalik senyum ramahnya, tersimpan rasa sakit yang sangat dalam di hati dokter Rico. Sama sepertiku sekarang, fisiku terlihat kuat dan baik baik saja, tapi hatiku perlahan sudah tak berbentuk seiring rasa sakit yang kuderita belakangan ini.

Nizam Arsalan Baqir..
Ku ikhlaskan kamu pergi dari hatiku.
Pergi untuk memilih takdirmu sendiri. Pergi berlayar menunuju pelabuhan yang kau nantikan selama ini.

Nizam..
Karena kamulah aku dapat merasakan Cinta.
Karena kamu pula aku jadi semakin ikhlas berlapang dada menerima takdir yang sudah ditulisakan olehnya.

Mencintaimu membuatku sadar, jika semua yang kuharapakan tak semuanya bisa terwujud. Termasuk keinginanku memilikimu. Aku tak mau menyalahi takdirnya, tak mau menjadi wanita egois.

Aku tidak menyalahkanmu, Nizam.
Allah yang menitipkan rasa itu padamu, seperti halnya Allah menitipkan rasa cinta ini padaku untukmu.

Walau kutahu, rasa sakit ini tak akan hilang dalam waktu yang dekat, dan harapanku untuk memilikimu hanya menjadi bayang bayang semata.

Demi Allah, aku ikhlas Nizam. Aku ikhlas membiarkanmu berlayar dan berlabuh pada dermaga pilihanmu sendiri.

"Mbak, Ai!" Suara teriakan cempreng itu berhasil mengejutkanku. Gadis remaja yang memiliki senyum jiplakan Nizam itu berhasil menarikku kembali pada kenyataan.

"Eh, Naf. Ada apa?"

"Mbak Yesha minta ditemenin tuh diatas, katanya deg degan."

Aku tersenyum, "Ok. Mba Ai ke atas dulu ya," pamitku. Baru saja tiga langkah, Nafisah menarik tanganku kembali.

"Mbak, Ai. Naf mau tanya sesuatu boleh?" Tanyanya padaku. Wajahnya begitu polos.

"Boleh, Naf. Mau tanya apa?"

Nafisah tiba tiba menyuruhku mendekatkan telinga ke mulutnya.

"Emang orang yang mau nikah itu suka deg degan ya?" Pertanyaan konyol itu berhasil membuatku terkekeh.

"Kok kamu nanyain itu sama mbak, Ai? Kan mbak juga belum pernah nikah," ada ada saja Nafisah ini.

"Ihh kirain mbak, Ai tau. Naf penasaran banget."

"Ya kamu harus nikah dulu, baru bisa ngerasain kaya apa rasanya," godaku pada Nafisah.

"Ihh Naf masih belum cukup umur buat nikah, lagian Naf mau sekolah dulu, belajar yang rajin biar bisa jadi dokter kaya Mas Nizam," ocehnya. Lihat? Bagaimana aku tak menganggumi sosok Nizam. Bukan hanya sahabat atau staf rumah sakit saja yang mengagguminya. Adik kandungnya juga mengangguminya.

"Lho, kenapa kok mau jadi dokter kaya Mas Nizam?" Tanyaku penasaran.

"Naf suka kalo liat Mas Nizam nyelamatin orang, mas Nizam juga keliatan keren sama jas putihnya plus kalung stetoskop yang menggantung dilehernya."

[DSSP] Takdir Cinta AizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang