☆BAB 10: Ikhlas☆

4.4K 309 9
                                        

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Menjadi bahagia itu bukan pilihan, tapi sebuah keharusan
***

"Selesai."  aku menatap tak percaya pada pantulan wajah yang ada di kaca,  benar ini wajahku? Mengapa bisa sangat berbeda?

Tanpa terasa tanganku menyentuh pipi lalu kemudian menepuknya, mengetes apakah ini kenyataan atau hanya mimpi saja?

"Jangan ditepuk nanti bedaknya nempel di tangan kamu!" aku menoleh dan menemukan Aiza berdiri di hadapanku. Aiza lalu menunduk dan mengecek wajahku khususnya di bagian pipi yang sudah aku tepuk tadi.

"Kamu ke mana aja sih daritadi aku cariin juga! " aku mencebik mengingat langkanya keberadaan Aiza tadi. Aku sampai harus meminta Nafisah memanggilnya hingga Aiza kini ada di hadapanku.

"Aku deg-degan nih! " Aiza merangkul bahuku dan mengusap punggungku. Usapannya yang lembut dan tulus sampai pada hatiku, hati yang tadinya tak menentu perlahan tenang dan mendekati normal.

"Nah gitu dong senyum, pengantin masa cemberut, cemberutnya karena deg-degan lagi! "

"Ih gak lucu! "

"Aku kan emang gak ngelucu, Sha. Udah ah ributnya, kita turun yuk akadnya udah mau dimulai. "

Aku menahan tangan Aiza," Kamu nanti temenin aku ya, duduk di sebelah aku. "

Ayesha terlihat berfikir lalu kemudian menggeleng perlahan,"Kenapa gak mau? "

"Gak etis lah, Sha. Biar Ummi dokter Nizam, Nafisah atau Bunda kamu yang ada di sebelah kamu nanti, yang penting aku ada di sana, mendoakan kelancaran acaranya. "

Aku kembali menahan tangan Aiza, "Ai, pliss. "

Lagi-lagi dia menggeleng namun gelengannya kini lebih kuat dan disertai tatapan yang tegas."Kamu ini udah mau nikah, harus lebih mandiri dan dewasa lagi, oke? Sekarang kita turun ya? "

Aku mau tak mau menurutinya.

***

"Saudara Nizam Arsalan Baqir Bin Husein Alatas Baqir,  saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Ayesha Syakila Atmarini Binti Faturohman dengan mas kawin berupa emas seberat 50 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."

Aku semakin menundukan pandanganku dan memelintir sepuluh jari tanganku saat Mas Dion memulai ijabnya.  Dadaku tiba-tiba dilingkupi sesak yang tak tertahan mengingat bahwa yang mengucap ijab itu Mas Dion bukan Ayah.

Hilangnya ayah selama bertahun-tahun harus terbayar oleh kabar kematiannya. Sebulan sebelum menikah, Mas Nizam mencoba mencari ayah dan memintanya untuk menjadi wali nikah kami nanti, berbeda dengan Mas Dion yang tak pernah berhasil menemukan keberadaan ayah, Mas Nizam berhasil namun yang ia temukan bukan sebuah alamat rumah seperti umumnya, namun rumah peristirahatan terkahir ayah.

Setelah perceraiannya dengan ibu kesehatan ayah menurun, itu mengapa ayah tak pernah kembali pulang padahal ayah janji perginya takkan lama, ia hanya menenangkan diri saja. Tak ku sangka bahwa kepergiannya yang tanpa ujung itu karena ayah sakit.

Jantungnya bermasalah sudah sangat lama dan perceraian menjadi satu dari banyaknya alasan kenapa jantung itu akhirnya berhenti berdetak.

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayesha Syakila Atmarini Binti Faturrohman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai. " dengan sekali tarikan napas Mas Nizam berhasil mengucap ijab qobulnya.

"Bagaimana para saksi, sah? "

"Sah. "

"Sah. "

[DSSP] Takdir Cinta AizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang