#19

770 67 5
                                    

       Tumpukan kertas berserakan memenuhi ruangan pengap dan panas yang bersebelahan dengan perpustakaan sekolah. Enki memberi angin pada dirinya sendiri yang berkeringat dengan kertas kosong yang akan menjadi bahan untuk membuat puisi.

       “Eh, Ki! Kertasnya jangan dibuat kipas, pakai ini!”

       Enki tersenyum canggung, sedikit merasa bersalah karena mendapat teguran dari seniornya.

       Dengan senang hati, Enki menerima kertas bekas sebagai pengganti kipas kertasnya yang hampir saja lecek.

       Seniornya menggeleng, beruntung tidak marah.

       Walau sedang ada acara festival, tim redaksi sekolah tidak pernah libur, jika memang ada hal yang harus diselesaikan maka seluruh anggota tetap harus ikut bertugas.

       Majalah sebelumnya telah terbit bulan lalu, tetapi rancangan majalah bulan maret sudah harus selesai dirancang. Beruntung sekarang masih Januari akhir, jadi tim tidak perlu terburu-buru.

       Gadis itu menyingkap rambut yang menutupi bagian wajahnya agar tidak mengganggu. Kali ini ia mendapat tugas mencatat seluruh prestasi yang diraih siswa-siswi SMA Hang Tuah 1 selama bulan Januari hingga Maret.

        Sebenarnya mendapat tugas satu inibembutuhkan cukup nyali, karena jika prestasi-prestasi itu diraih oleh kakak kelas, jelas tidak mudah. Bisa jadi ketika mewawancarai malah menjadi bahan godaan mereka yang usil. Tetapi mau bagaimana lagi.

       Sudah hampir dua jam mati listrik.

       Panas. Pengap. Sesak.

       Hanya itu yang menjadi penyebab keluhan hampir semua anggota tim redaksi karena ruangan tidak terlalu besar. Biasanya ada AC, tetapi sekarang? Boro-boro, kipas saja tidak menyala, tetap butuh listrik.

       Sejujurnya Enki ingin memprotes, mengapa ia masih harus di sini sedangkan seharusnya ia kerja lapangan untuk wawancara? Bukan harus selesai, tetapi setidaknya mencicil tugas satu persatu. Tetapi sang senior memintanya membantu mempersiapkan proposal pengajuan dana majalah. Bagaimanapun, ia hanya bisa mengatakan ‘iya’, karena tidak memiliki alasan apapun untuk kabur. Apalagi hanya ada sedikit senior yang membantu, sebagian besar sudah fokus mempersiapkan ujian nasional tanpa melihat hal lain lagi.

       Singkat kisah. Sejak mulai masuk sekolah, Enki sudah mengikuti organisasi yang bisa dibilang kecil ini. Hobinya membaca buku, menulis, berimajinasi dan mendengarkan musik. Tidak heran. Bahkan untuk mengikuti organisasi ini saja, ia tidak mendaftarkan diri, tetapi ditunjuk oleh guru Bahasa Indonesia di sekolahnya.

       Di tengah kesibukan yang memenuhi ruangan yang masih pengap itu, tiba-tiba pintu terbuka.

       Tidak terlalu mengejutkan, hanya saja pintu itu berderit keras ketika seseorang membukanya. Di balik pintu, juga dengan wajah yang tidak mengejutkan. Seluruh tim redaksi kenal dengan sosok yang saat ini sedang meringis menahan senyum.

       Siapa lagi kalau bukan Rasya, teman Enki yang tidak pernah absen untuk mencari gadis itu saat sedang sibuk-sibuknya.

       Enki menoleh dan mendapati Rasya ada di sana, masih memegang gagang pintu.

       “Kak! Pinjam Enki-nya bentar, boleh?” izin Rasya kepada kakak senior dengan hati-hati, tipikal adik kelas yang hormat dengan seniornya.

       Enki segera berdiri dan menghampiri sahabatnya itu, setelah sang kakak senior mengiyakan. Mereka menutup kembali pintu ruang redaksi, memilih berbicara di luar agar tidak mengganggu.

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang