#36

514 40 1
                                    

       Jam masih menunjukkan pukul 6 lebih 15 menit, tetapi Enki sudah  rapih berseragam dan terlihat harap-harap cemas. Sudah sedari tadi ia mondar-mandir di depan cermin, ‘Rambut gue udah rapi belom ya? Seragam? Lipteen nggak belepotan kan? Aduuh, gini banget!’ batin Enki teramat sangat gerogi mengingat Dante akan menjemputnya pagi ini.

       Tentu saja Enki merasa gerogi, bagaimana tidak? Siapapun tahu Dante. Walaupun terkenal nakal, tapi dia itu fansnya banyak banget sampai kutu-kutu buku di sekolah juga ngefans sama dia. Karenanya dia kawatir entah karena apa saja yang menumpuk dipikirannya.

       Setelah dirasa tidak ada yang kurang, Enki duduk di tempat tidurnya dan memeriksa handphone karena siapa tahu ada sesuatu yang penting. Enki menscroll layar dan hanya ada pesan-pesan yang menumpuk digrup. Gadis itu menghela napas normal, mengubah cara duduknya dan memposisikan diri senyaman mungkin.

       Enki masih memainkan handphone, tetapi ekspresinya berubah ketika melihat nomor yang tidak tersimpan mengiriminya pesan.

       ‘Kak Rega? Dapet nomor gue dari mana?’ tanya Enki bagai pada diri sendiri. Isi pesan Rega adalah mengajak Enki bertemu siang ini sepulang sekolah. Pikiran Enki menjadi cemas dan tidak tenang. Raut wajahnya menjadi tidak enak. Entah bagaimana menghadapi situasi semacam ini, tetapi Enki benar-benar tidak tahu bagaimana harus bertindak. Apalagi mengingat tugasnya di Tim Redaksi. Pagi ini gadis itu hanya bisa menghela napas berat, dan kemudian yang terdengar adalah Tante Lodia yang mengetuk pintu kamar Enki dan memberitahu jika Dante sudah di bawah.

       Ah, Dante.

-

       “Kenapa?” tanya Dante ketika Enki baru saja membuka pagar rumahnya dan mendapati Enki berekspresi tidak terlalu antusias. Gadis itu hanya menggeleng pelan.

       “Boleh naik?” kemudian ujarnya. Maksud Enki, apakah ia boleh naik ke motor Dante atau belum. Tetapi Dante malah memegang telapak tangan Enki, “Kenapa?” tanyanya lagi.

       Enki mencoba menaikkan moodnya dan tesenyum, “nggak papa,”

       “Beneran nggak papa?”  Dante sedikit merasa ganjal.

       “Iya nggak papa. Bisa naik?” terang Enki dan lalu Dante mengangguk, mengiyakan pertanyaan Enki yang sempat tertunda dua kali.

       Akhirnya Enki naik ke motor Dante yang lumayan tinggi. Beruntung rok sekolah Enki tidak terlalu pendek, jadi cukup aman jika dibonceng dengan motor besar seperti punya Dante.

       “Peganggannya di pinggang apa di bahu?” tanya Dante setelah Enki memposisikan duduknya dengan nyaman. Nadanya sedikit bercanda. Mendengar perkataan Dante, Enki menjadi malu. Ia diam sebentar, otaknya masih mempertimbangkan sesuatu.

       ‘Pegangan di pinggang itu sama dengan meluk nggak sih?’

       Enki menjadi bingung sendiri. Dante yang sadar bahwa pacarnya sedang bingung malah terkekeh pelan.

       “Yaudah, pegangan di pinggangnya besok-besok aja. Sekarang di bahu aja, Ki!” seru Dante kemudian mulai menyalakan mesin motornya dan hendak melaju.

       Ketika deru motor Dante mulai agak jauh dari rumah Enki, gadis itu  berbicara pelan sekali seperti menahan malu. “Nggak papa peganggan di pinggangnya sekarang.” Kemudian di atas motor besar Dante, Enki memeluk cowok itu dengan agak ragu.

       Dante tertawa, “makasih,” ujarnya bahagia sekali.

       Dari jalan Panglima Polim XIV, belok ke kanan menuju jalan Panglima Polim V, kemudian melewati Sinou Kaffee Hausen, belok ke kiri melewati jalan Barito II, di sepanjang jalan menuju sekolahnya itu, Dante bahagia sekali. Semakin lama, semakin Enki memeluknya dengan tidak ragu-ragu. Dan dibanding pacaran dengan siapapun, baru kali ini ia merasa begitu nyaman dipeluk oleh cewek yang bukan ibunya.

       Begitupun juga dengan Enki, ini adalah kali pertama ia meluk cowok, apalagi di atas motor begini. Tetapi ia merasa nyaman.

       ‘Jadi ini yang dirasain Milea waktu sama Dilan di atas motor?’

       Enki menjadi ingat dengan novel populer yang ia baca beberapa waktu lalu. Gadis itu merasa geli atas apa yang terjadi dengan dirinya dan Dante. Kemudian ia memejamkan matanya, membiarkan dirinya memeluk Dante dengan erat tanpa mempedulikan siapapun yang melihat. Lagipula ia tidak kenal dengan siapapun di jalan. Ia hanya ingin merasakan sejuknya udara pagi jalanan Jakarta Selatan menuju sekolah bersama Dante. Pacar satu-satunya miliknya. Cowok yang akan melindunginya dari berbagai macam situasi bahaya seperti halnya dikejar marmut. Atau bahkan akan menghajar siapapun hingga masuk UGD kalau berani mengganggunya jika itu memang perlu, seperti Bagas beberapa waktu lalu.  Atau mungkin juga, itu akan terjadi pada Pak Pintoko jika ia mempersulit nilai matematika milik Enki.

       Gadis itu tersenyum di balik punggung Dante.

       Aku sayang kamu, Dante.

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang