#6

1.3K 200 56
                                    

Di rooftop sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi.

Sendirian, Enki mengamati seluruh aktivitas murid saat jam istirahat sambil memegang buku yang tergantung lemas di tangannya.

Sesekali ia mengamati benda di tangannya itu lekat-lekat dan bersandar di pagar pembatas rooftop.

Ia tidak tahu sampai berapa lama ia akan melihat buku itu, namun ia kini sedang memikirkan sesuatu.

Enki memandang lagi buku itu, tertera nama di sana, Dante Agradian. Ia menggigit bibir bawahnya dan mengalihkan pandangan ke bawah gedung sekolah. Ingatannya kembali memutar memori beberapa hari yang lalu.

'
Di perpustakaan umum waktu itu, saat Rasya dan Enki sempat bertemu Dante di sana.

"Ki, gue pulang dulu, nyokap udah sms nih, ada urusan. Bye!"

Rasya mengemasi buku tugasnya, memasukkannya ke dalam tas lalu tak lama beranjak pergi dan melambaikan tangan. Enki hanya mengangguk, mengiyakan.

Enki sendirian sekarang, tidak fokus mengerjakan tugas. Matanya tertuju pada seseorang yang tengah mencoret-coret kertas kosong dengan pensilnya. Seseorang yang sama-sama sendirian dengannya, seseorang dengan banyak cinta di sekelilingnya tetapi merasa kesepian sama seperti dirinya.

Coret-coretan di kertas itu semakin terlihat, Dante sedang menggambar, sesekali menatap jalan yang bising lalu menorehkan pensil di kertas yang tak lagi kosong itu.

Terlihat sekali Dante tengah menggambar wajah seseorang, tapi tak terlihat jelas oleh Enki karena jarak mereka terlalu jauh.

Tak jarang Dante mengalihkan kebosanannya dengan menggambar, seperti saat ini.

Lagipula buku matematika yang dicarinya sedari tadi tidak bisa ia pahami sama sekali dan hanya akan membuat kepalanya semakin pusing. Ia memilih menggambar. Menggambar apa saja yang terlintas di kepalanya. Hasil coretan itupun tidak buruk, matanya, bibirnya, alisnya, uraian rambutnya.

Dante menggambar seseorang.

Walaupun ia menatap keluar, melihat jalan raya, tapi memorinya menerawang jauh ke belakang. Ke masa lalu. Dan memvisualkan apa yang dibayangkannya, dengan cara ini.

Cara yang selalu dia lakukan sejak kecil saat ia merindukan seseorang di masa kecilnya.

Enki lama melihat Dante yang sedang menggambar, Dante tiba-tiba menoleh.

Manusia selalu punya gaya magis, saat seseorang melihatnya walau dari kejauhan, tanpa ia ketahui pun itu akan terasa dan secara refleks akan menoleh.

Enki memalingkan pandangannya, tidak lagi melihat Dante yang kini berganti melihatnya.

Enki menunduk malu, gugup, ia pura-pura membaca buku.

Dante mengernyitkan keningnya, tapi ia tidak bertindak apapun. Dante malah berdiri dari kursinya, mengemasi kertas-kertas gambarannya lalu pergi dari perpustakaan siang itu.

Ketika Enki menoleh lagi, Dante sudah tidak lagi di sana.

Tapi sepertinya Dante meninggalkan barangnya, ah, bukan meninggalkan, lebih tepat barangnya ketinggalan di meja yang ia tempati tadi.

Enki ikut mengemasi buku-bukunya, mendekati buku Dante yang ada di mejanya tadi. Enki mengambilnya, ia berlari keluar perpustakaan. Mencari dimana Dante berada, tapi Dante begitu cepat berlalu.

Ia sempat berlarian di trotoar jalan berharap Dante masih ada di sekitar sana, tapi sepertinya Dante sudah jauh.

Enki hanya menghela napas berat dan memandangi buku itu lalu berjalan pulang di bawah cahaya matahari yang tak terlalu panas siang itu.

'

Enki tersentak, mendengar tiba-tiba ada tapak kaki seseorang yang mendekat ke arahnya di rooftop.

Enki tersadar dari lamunannya, ia berbalik.

Matanya melebar saat mengetahui siapa yang ada di sana, di depannya, lelaki itu lalu berjalan dan memposisikan dirinya di samping kanan Enki, melihat ke seluruh penjuru sekolah.

Dante tak melihat Enki yang ada di sana, mereka bahkan tidak berjanjian akan datang ke sini bersamaan.

Tapi Dante memang hampir setiap di sekolah ia tidak pernah absen untuk ke sini, walau hanya sekadar merenung.

Keduanya sama-sama diam.

Tak ingin membuka bicara dan bahkan bagi Dante, ia sangat enggan.

"Nggak biasanya lo disini," ujar Dante sebagai kalimat pembuka yang malah membuat Enki bingung harus menjawab apa.

Enki juga tak melihat Dante, ia mengikuti pandangan lelaki di sampingnya, menelusuri apa yang ada di bawahnya, hanya mengamati.

"Oh, itu. Gue cuma pengen.."

Enki akhirnya menjawab tapi terpotong ketika,

"Bukannya itu punya gue?" Dante melihat buku di tangan Enki.

Enki ikut memandang buku di tangannya, lalu ia menatap Dante yang kini melihat dirinya.

"Ah, iya, gue mau balikin ini"

Enki menyodorkan buku itu, tetapi Dante tidak kunjung mengambilnya dari tangan Enki.

"Lo biasanya di sini, jadi gue nungguin lo dan akhirnya lo datang,"

Enki menggerakkan buku di tangannya menyadari Dante masih belum mengambilnya. Dante malah memasukkan tangannya ke dalam saku celana membuat Enki semakin bingung. Dante menatap mata Enki,

"Gue nggak tahu harus bersikap gimana ke lo, Ki"

Ucap Dante sebelum akhirnya ia mengambil dengan keras buku di tangan Enki, dan pergi meninggalkannya.

Gadis itu hanya menatap punggung Dante yang mulai menjauh dengan mata berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Seketika kalimat yang tak terlupakan berkelebat di memorinya.

"
"Ki, ntar kalo kita udah besar, kamu mau ya jadi pacarnya Kei? Hm?"

Dan kedua anak berumur 6 tahun yang duduk di ayunan itu mengukirkan senyumnya bersamaan dengan jari kelingking mereka yang terikat.

Gadis itu kemudian mengangguk, membuat sahabat kecilnya kegirangan dan meloncat-loncat di depannya.

"

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang