#37

494 38 0
                                    

       Nyali Enki hari ini sedang cukup besar. Sama seperti ketika puncak festival sekolah, semua pasang mata memandangnya menyelidik dari ujung kaki sampai ujung rambut hingga mereka tiba di tempat parkir. Setelah turun, Enki merapikan seragam dan rambutnya, kemudian hendak berlalu sebelum ia benar-benar merasa malu karena diperhatikan banyak orang sedari tadi, apalagi adik-adik kelas yang lagi suka sama Dante. Belum lagi, Olivia. Mengingat itu, Enki segera berlalu menuju kelas dengan agak terburu-buru tanpa menunggu Dante yang masih di tempat parkir.

       “Ki! Kok pacarnya ditinggal?” tanya Dante setengah berteriak, membuat murid-murid yang baru berangkat mendengar dan berbisik-bisik satu sama lain.

       Oh! Mereka udah pacaran?’

       ‘Jadi itu pacarnya Kak Dante? Ih nggak relaaaa.’

       ‘Tolong hati gue dikemanain ini woyyy! Dante kan harusnya pacar gue!’

       Dan kemudian sebagian dari mereka hanya menghela napas pasrah menerima kenyataan, sedangkan yang lain ada juga yang masih menggerutu. Beruntung pagi itu Olivia tidak ada di sana.

       Kedua kaki Enki terus melanjutkan langkahnya dan mencoba untuk tidak mendengar panggilan Dante. Tetapi tidak sampai lima detik, langkah kaki Enki mampu disejajari oleh cowok itu, sehingga mereka berjalan bersama menuju kelas.

       Enki tidak tahu kalau Dante akan mengejarnya secepat ini. Ia hanya berpura-pura tidak mengetahui keberadaan cowok itu. Dan sekarang, di koridor juga banyak kakak kelas ketika melihat mereka setelahnya akan berbisik satu sama lain. Apalagi di sana juga ada mantan-mantan pacar maupun gebetan Dante. Aduuh, ribet banget jadi pacar Dante.

       Ketika Dante tahu bahwa Enki agak canggung menghadapi situasi ini, dengan mendadak menggandeng tangan Enki dan membuat gadis itu kaget.

       “Udah! Masa bodoh sama mereka!” seru Dante di telinga Enki dan terus menggandengnya hingga sampai di depan kelas.

       Enki merasakan aura yang berbeda dari dalam dirinya. Maksudnya, hanya saja ia tidak pernah melakukan ini selama ia bersekolah. Jadi ia hanya bisa diam diperlakukan Dante seperti itu.

       Di depan kelas, Dante tersenyum melihat Enki.

       “Tangan kamu dingin, Ki. Gerogi ya?” ujarnya.

       “Eh?” Enki mengulum senyum. “Enggak.”
Dante malah tertawa. Kemudian katanya, “Tahu nggak? Suhu tangan itu sama dengan suhu jiwa. Kalo tangan orang itu hangat, orangnya pasti hangat. Tapi kalo tangan orang itu dingin, orangnya juga dingin.”

       “Aku dingin?” tanya Enki. Dante diam bagai berpikir, memberikan sorot mata yang seolah menilai kepribadian Enki.

       “Iya, kayak es.” Jawab Dante.

       “Perasaan enggak deh,”

       “Berarti tadi keringetan gara-gara gerogi?”

       “Eng.. Nggak juga,” Enki agak ragu dengan kalimatnya tetapi Dante malah menertawai.

       “Ngaku aja tuan putri.”

       Dipanggil seperti itu, Enki merasa geli sendiri dan menggelengkan kepala seolah maksudnya, ‘dasar ih, Dante!’

       “Udah ah, masuk kelas!” seru Enki kemudian berlalu, diikuti Dante di belakangnya.

-

       Raya, siswi paling gemuk di kelas XI Mipa 6 berhasil meninju Dante dan mengenai lengan kanannya yang sedang sakit. Pasalnya, Raya marah karena Dante merampok jajannya yang baru saja ia beli dari kantin bersama Riana dan teman-teman lain. Karena ulahnya sendiri, Dante kini meringis kesakitan dan berpura-pura ampun kepada gadis itu. Krisna yang mengetahui itu segera menghampiri Dante yang berada di bangku Raya, masalahnya adalah sebenarnya luka Dante  cukup parah, dan sekarang malah kena pukul.
Riuh ramai teman-teman Dante tampak kawatir dan mengerumuni cowok itu karena lengannya mengalir darah. Ada juga yang mengomel karena itu adalah azab bagi  Dante yang suka mengganggu cewek-cewek di kelas.

       Dante masih memegangi lengannya yang nyeri, ia menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Enki tidak berada di sana, ia sedang ada kumpul tim redaksi sekolah setiap jam istirahat kedua. Sehingga Krisna yang akan memberi perhatian lebih.

       “Kena azab lo, Dan!” cerocos Rasya yang ikut melihat Dante.

       Raya meminta maaf karena bersalah, tetapi Dante bilang ia tidak apa-apa. Dan ia hanya mengeluarkan kata, “bacot!” untuk membalas perkataan Rasya.

       “Lo berdarah-darah gitu kayak menstruasi, Dan!” celetuk yang lain dan berhasil membuat kelas ramai karena semua tertawa.

       Tumben, Dante diam dan tidak bereaksi. Wajahnya mendadak memucat.

       “Dan, gue panggilin petugas PMR ya? Perban lo harus diganti, udah robek!”cemas Krisna.

       “Udahlah, gue nggak papa.”

       Riki yang tadinya main game kini menghampiri, “gue panggilin!” kemudian keluar kelas dan menuju ruang UKS. Lalu Dicky ikut menghampiri Dante yang menjadi pusat perhatian.

       Krisna melihat mimik wajah Dante memang menjadi agak kurang sehat. “Sekalian ke UKS lah, Dan. Kasihan tangan lo!” suruh Krisna.

       “Males banget. Pengap.” Dante berdiri dan beralih menuju tempat duduknya sendiri. Ia berjalan cukup pelan.

       Kelas menjadi agak tenang dan seluruh siswa kembali kepada aktivitasnya semula. Sedangkan Krisna dan Dicky mengikuti langkah Dante dan duduk di bangku masing-masing.

       “Lo yakin tangan lo cuma luka biasa? Kok gue lihat agak aneh gitu.” Dicky mengamati tangan Dante.

       “Apanya yang aneh sih? Pada ngaco semua.” Jawab Dante, dan kemudian dua orang petugas PMR sekolah yang sedang piket memasuki kelas.

       “Itu kak!” jawab salah satu siswi ketika salah seorang petugas bertanya tentang siapa yang sakit. Lalu Riki muncul dan berjalan di belakang petugas.

       Dengan membawa P3K, dua orang petugas PMR itu berjalan menuju Dante di sudut kelas. Cowok itu membiarkan tangannya diobati dan diganti perbannya yang sudah robek sambil terkadang meringis sakit. Seorang petugas mendadak berhenti dengan aktivitasnya.

       “Tangannya habis patah?” tanya seorang petugas mencoba memastikan kondisi Dante, dan sukses membuat Krisna dan Dicky kaget.

       “Nggak! Lo salah lihat kali,” sangkal Dante.
       “Udah selesai kan ganti perbannya? Thanks!” ujarnya kemudian dengan segera mengalihkan tangan kanannya yang tadi tengah diperiksa. Setelahnya, petugas PMR berlalu pergi meninggalkan Dante dan ketiganya.

       Melihat Dante bertingkah agak aneh, Krisna mengubah posisi duduknya kemudian mendekat ke arah Dante. “Lo sebenernya kenapa, Dan? Tangan lo beneran baik-baik aja?” tanyanya dengan kalimat menginterogasi.

       “Nggak papa.” Jawab Dante sambil mengalihkan pandangan dengan bermain handphone.

       Dicky memperhatikan perdebatan itu sedangkan Riki ikut menginterogasi keadaan Dante. Tetapi tetap saja Dante mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

       “Itu kenapa main handphone pakai tangan kiri?” celetuk Riki yang duduk di atas meja Dante. “Mending lo pulang kalo emang masih sakit.” Perintah Riki dengan nada sedikit kesal karena melihat Dante seperti menyembunyikan sesuatu.

       “Udahlah lo semua jangan berlebihan, gue nggak selemah itu!” Celetuknya lalu malah pergi meninggalkan kelas dengan atmosfer yang cukup kacau.

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang