#28

551 48 9
                                    

       Bel istirahat berdering, murid-murid berpakaian putih abu-abu berhamburan menuju kantin. Takut tidak kebagian tempat, Enki dan Rasya segera menempati tempat duduk. Mereka memesan bakso dan teh hangat dan segera menyantapnya seperti biasa. Enki meniup-niup asap yang mengepul dari aroma baksonya.

       Awalnya, suasana kantin tenang-tenang saja. Murid-murid yang sedang sibuk memesan makanan berjalan mondar-mandir mengambil.pesanan. Tetapi mulai agak panas ketika dua cowok kakak kelas menerobos masuk dan memalak beberapa anak yang dilewatinya, kemudian saat ini berakhir di hadapan Enki.

       “Lo, Enki ya?” suara dari cowok tinggi yang diketahui bernama Roi dan  terkenal paling rusuh diantara kelas 12 itu menggeser duduk Rasya, sehingga Roi tepat berada di hadapan  Enki.
Jari-jari Enki berhenti melakukan aktivitasnya. Ia letakkan sendok dan garpunya di atas mangkuk dan mulai melihat ke arah Roi.

       “I-iya. Ada apa kak?”

       Sejujurnya, Enki tidak mengenal siapa Roi. Hanya tahu berita-berita buruk tentangnya saja. Dan Rasya yang di sampingnya merasa risih, apalagi dengan teman Roi, Pandu yang sedari tadi memegang satu bungkus rokok yang kemungkinan besar akan dihisapnya di warung Bang Naim.

       “Berdua aja? Mana pacar lo?” Roi mulai membuat Enki tidak nyaman. Gadis itu tertegun.

       “Maaf kak, udah ada bel masuk. Permisi!”

       Karena tidak tahu harus menjawab apa, Enki mengajak Rasya agar cepat berlalu.

       Enki berdiri, mendadak Roi memegang pergelangan tangan gadis itu untuk menahannya. Refleks, Enki menghempaskannya cukup kasar. Cowok itu benar-benar melebihi batas. Sebelum Roi bertindak lebih lanjut, Enki dan Rasya berlalu pergi meninggalkan kantin.

       Di jalan menuju kelas, Rasya hanya bisa menggerutu kesal.
“Apa sih maksudnya?!” gerutu Rasya, tetapi hanya ditanggapi gelengan kepala oleh Enki yang tentu tidak tahu apa-apa.

-

       Keluar dari gerbang sekolah, Enki berjalan menuju halte sendirian. Rasya sudah pulang bersama Krisna. Mengapa Enki tidak bersama Dante? Cowok itu sedang menyelesaikan masalah tugas rangkuman matematikanya yang tidak kunjung selesai di ruang Pak Pintoko.  Jadi Enki pulang menunggu bus seperti biasa.

       Di halte, jari-jari Enki menempel di layar handphonenya ketika benda kotak itu mendadak berdering. Telpon dari Dante.
Dalam sekejap, tiba-tiba seseorang mengambil dengan kasar handphone yang tinggal satu jengkal lagi tertempel di telinga Enki. Roi dan Pandu lagi, yang keduanya membawa motor ninja merah khas geng mereka. Enki terkejut bukan main. Dicobanya meraih handphone itu lagi, tetapi rupanya kedua cowok itu memang sedang menggoda Enki.

       “Dek, pulang bareng aku aja! Naik bis pengap.” kata Roi, sambil membuka helmnya dan menaruhnya di atas jok motor. Pandu hanya diam di atas motornya, tapi ikut tersenyum dengan entah memiliki artian apa.

       “Maaf, Kak! Kembaliin handphonenya!” ucap Enki sambil berdiri dengan setengah berteriak karena Roi dan Pandu benar-benar membuatnya jengkel sedari pagi.
Telpon dari Dante masih tersambung, terdengar dari seberang sana suara Dante memanggil Enki. Baru terputus setelah Roi menekan tombol merah di layar.

       “Nggak! Sampai pacar lo ke sini!” Pandu berkata masih di atas motornya, satu kakinya bersila menumpangi kaki satunya yang menahan motornya agar tidak roboh.

       Mendengar itu Enki terdiam, mencoba mencerna, sebenarnya masalah mereka apa dengan Dante.
Gadis itu terduduk di kursi halte dengan di dorong oleh Roi. Cowok itu kemudian duduk di samping Enki, lalu ujarnya “tuh anak punya nyali nggak?!” sambil menatap Enki dan menyalak-nyalak membicarakan kelemahan Dante seolah dia yang terkuat.

       Mendengarnya, Enki tidak ingin menanggapi banyak, ia berdoa supaya Dante tidak menyusulnya. Kalau Dante pergi ke halte, perkelahian mungkin tidak akan terhindarkan.

       “Mana pacar lo?” tanya Roi layaknya seorang rentenir yang sedang menagih hutang.

       Enki menggeleng getir, “sebenernya ada masalah apa sih, Kak?” kemudian tanyanya.

       Biasanya, Enki tidak seberani itu, tetapi entah mengapa hari ini hatinya bertanya-tanya tentang masalah Dante yang tidak ia ketahui.

       BRUKKK!!!!

       Dante menendang punggung Roi dari belakang, dan cowok itu tersungkur di pinggir jalan dengan sukses. Pipinya menggosok muka aspal dan memerah sejadinya. Handphone Enki ikut terjatuh tetapi Dante segera mengambilnya dan memberikannya pada Enki yang terkejut.

       “Rik, anter Enki pulang!” perintah Dante pada Riki yang berada di sampingnya. Riki segera meminta Enki untuk naik motor bersamanya, tetapi Enki bersikeras tidak mau. Bagaimana mungkin ia pergi pulang sedangkan tepat di depan matanya Dante akan terlibat perkelahian.

       Dante mengarahkan pandangannya ke arah Enki yang berdiri di samping motor Riki, “Pulang! Aku nggak apa-apa!” ucapnya. Lalu Riki segera membawa Enki pergi dari halte menuju rumah gadis itu yang cukup jauh.

       Di jalan, dalam pikiran Enki tidak ada yang lain kecuali Dante. Awan yang ada di langit serasa ingin runtuh. Ia hampir menangis, dan benar, satu demi satu air matanya menetes.

       Dante sangat misterius.

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang