#57 Pergi

643 42 0
                                    

       “Lo apaan sih, Mel?” Dante memasang muka marah. Dirinya memikirkan Enki yang tentu melihat apa yang baru saja dilakukan Melly.

       Melly tidak menjawab, malah hanya memegang pergelangan tangan cowok di depannya. Ia menatap mata Dante dan mencoba berbicara di dalamnya dengan tatapan. Dante memalingkan muka. Cowok itu tahu jika Melly sudah seperti ini, dia pasti sedang ada masalah di rumah, yang biasanya, ujung-ujungnya mengajak Dante ke club dan minum-minum.

       Sekali dua kali, Dante menuruti apa mau Melly karena merasa kasihan dengan gadis itu, ia butuh perhatian dan kasih sayang dari sekitar. Tapi untuk tadi, tidak seharusnya Melly melakukan hal yang tidak pantas dilakukan di depan umum. Apalagi di depan Enki. Kesalahan terbesar yang pernah terjadi di hidup Dante melebihi berkelahi dengan Rega.

       Tidak butuh menunggu lama, Dante menepis jari-jari Melly yang bergelayut di tangannya. “Lo nggak seharusnya kayak gini,” tukas cowok itu kemudian berbalik ke belakang. Sekarang, ia melihat Enki yang ia tahu pasti gadisnya itu sedang berusaha bersikap sewajarnya. Menutup kemungkinan air mata yang akan keluar tapi ditahan sebisa mungkin.

       “Enki!” Dante berjalan ke arah Enki yang hanya diam. Tapi lagi-lagi, Melly menahannya. Enki terpaku melihat apa yang sedang terjadi. Begitupun dengan yang lain, yang duduk di deretan tempat Enki duduk termasuk Bima, Kiki dan Fio.

       “Dante, gue putus asa!” Melly berkata lirih.
Dante diam. Pikirannya kacau. “Kenapa harus gue?” kemudian tanyanya pada Melly yang ikut mematung.

       Belum sempat Melly menjawab, seorang wasit membunyikan peluit tanda permainan akan segera di mulai. Dante segera pergi menuju lapangan futsal, tetapi sebelum itu dia melihat Enki dengan manik mata penuh maaf. Gadis itu hanya terdiam. Ia pun tidak tahu akan berbuat apa pada Dante. Untuk sekarang, nanti, atau bahkan besok.

Haruskah ada penjelasan lagi tentang kejadian yang sudah terekam di depan mata sendiri?

-

       Enki duduk dengan senyaman mungkin bagi keadaannya saat ini. Walau begitu, pikirannya tetap saja tidak menentu. Benar, baru jam tujuh pagi, hatinya sudah dibuat hancur lebur oleh karena orang lain yang tidak ia kenal. Ia bingung. Mengapa konflik tidak pernah sudah? Mengapa jika hari kemarin telah usai, kemudian ada lagi hal-hal menyakitkan yang datang tanpa permisi? Apa yang salah dengan dirinya dan Dante? Apa salah jika mereka saling menyukai? Apa salah mereka saling bersama untuk hanya beberapa waktu saja? Apa salah? Atau bahkan mungkin kisah mereka tidak tertulis di buku takdir sehingga mereka sulit untuk bersama? Mengapa? Apa yang harus ia lakukan?

       Dengan mata berkaca-kaca, Enki melihat Dante yang menyetak skor di lapangan. Keren, seperti biasa. Tapi cowok itu tidak sebahagia biasanya, hanya tersenyum tipis walau sudah dua goal yang ia cetak. Sesekali Dante melihat Enki, seolah ingin segera mengakhiri pertandingan dan membicarakan hal serius dengan gadis itu.

       “Lo yang namanya Enki?” Melly mendadak bertanya. Enki lalu mendongak karena Melly sedang berdiri.

       “Iya. Kenapa?”

       “Gue pengen ngomong sama lo!”

       “Ngomong apa?”

       “Soal Dante.” mendengar itu, Enki diam dan mulai memahami arah pembicaraan. “Ikut gue!” ajak Melly bagai memerintah.

       Tanpa menunggu Enki mengatakan setuju atau tidak, Melly berlalu dengan niatan Enki akan mengikutinya. Walau terdiam sejenak, mau tidak mau Enki menuruti perkataan Melly dan berjalan beberapa langkah di belakang gadis itu.

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang