#51

445 29 3
                                    

       Sudah pertengahan bulan Maret. Siswa-siswi kelas 12 sibuk dengan simulasi yang semakin hari semakin sulit dan tidak mereka mengerti. Semakin keras untuk dipikirkan dan semakin pusinglah bagi anak-anak yang setiap baca tulisan sudah pusing. Apalagi kalau sudah bertemu sin cos tan, GLBB, elektromaknetik, atau bahkan alkana, alkena dan alkuna, sudah mampus rasanya bahkan ketika baru pegang mouse, tidak mampu mengeklik jawaban.

       Di samping menuju Ujian Nasional, SMA Hang Tuah 1 disibukkan dengan pembagian majalah Hang Magz terbitan terbaru bulan ini yang memang sudah sesuai jadwal. Walaupun baru terbit, siswa-siswi sama sekali tidak antusias untuk berebut apalagi membaca. Padahal sudah ada di tangan masing-masing.

       Sudah menjadi fakta kalau minat baca anak Indonesia itu rendah, sangat perlu dimotivasi agar sedikit saja hati mereka tergerak untuk membaca walaupun sedikit. Majalah itupun, jika tidak diwajibkan membeli, mereka tidak akan beli.

       Ada beberapa murid yang mau membaca, yaitu mereka yang wajahnya ada di majalah. Maksudnya foto kegiatan mereka tercantum di sana, atau paling tidak mereka yang mengumpulkan cerpen, puisi, anekdot, poster, dan atau hal lain mengenai mereka yang ikut tercantum. Kemudian lagi, mereka yang membaca adalah murid-murid yang suka titip salam lewat majalah Hang Magz dan ditujukan kepada gebetan. Kalau sudah begini, Pak Pintoko pasti memegang kepalanya pusing, sungguh prihatin melihat keadaan anak jaman sekarang.

       Kelas XI MIPA 6 sama seperti kelas lainnya, malas untuk membuka barang yang baru terbit tersebut. Tetapi masih ada beberapa yang mau mengambil dan membuka. Pasalnya, di sana ada foto Dante yang menjuarai lomba lari kemarin. Mereka rindu cowok itu, rindu lelucon recehnya, rindu tingkahnya, rindu semua yang ada pada diri Dante. Bahkan yang membuat tidak habis pikir adalah, kemarin Raya mengatakan rindu dipalak Dante sampai menangis. Sungguh, Dante dirindukan bahkan oleh orang-orang yang ia nistai selama berada di Hang Tuah.

       Di kelas, Enki dan Rasya membalik kursinya ke belakang menjadi satu meja dengan Krisna dan Riki. Mereka melihat-lihat majalah bersama. Sedangkan Dicky mengintip dari belakang punggung Krisna, duduk di meja, bersender di tembok samping kelas, dan sambil bermain handphone.

       “Anjir!” Krisna tertawa melihat muka Dante ada di majalah, begitupun yang lainnya. Bahkan Rasya malah ngakak.

       Enki ikut tertawa dengan yang lain. Sejujurnya ia tidak tahu apa yang harus ditertawakan. Tetapi entah mengapa ketika melihat Dante, teman-temannya pasti tertawa. Mungkin mengingat Dante di kelas yang suka menebar humor dan mampu menaikturunkan mood kelas ini.

       Di permukaan majalah, foto Dante dengan memegang piala besarnya terlihat sangat membanggakan. Kemudian di bawahnya tertera motto hidup cowok tersebut, “Datang dan lakukan. Jangan menyerah sebelum berjuang.” Enki tersenyum membacanya, terdengar seperti seseorang yang begitu bijak.

       Enki juga rindu Dante, sama seperti teman-temannya yang lain. Bahkan mungkin lebih dari itu.

       Sejak Dante pindah, sudah setengah bulan tidak bertemu. Ia sibuk dengan persiapan penerbitan majalah yang sekarang sudah ada di tangannya. Mungkin sesekali chatting, tetapi itupun tidak banyak. Dante juga tidak pernah datang ke rumahnya. Mungkin cowok itu juga sibuk dengan kegiatannya di sekolah baru.

       Enki mencoba berpikir sepositif mungkin. Mau bagaimana lagi? Ia sudah bukan lagi menjadi pacar.

       Krisna dan yang lain sibuk berbicara satu sama lain. Enki masih membaca biodata Dante, lalu sesekali melihat foto cowok itu yang tersenyum bahagia atas kemenangannya. Jujur Enki merasa sedih karena itu adalah yang menjadi kali terakhir Dante membanggakan sekolah ini.

       Sekarang Dante ngapain di sekolah baru? Dengerin pelajaran? Ketawa? Godain guru-guru? Main ke kantin? Dengan siapa? Di mana?

       Otak Enki menjadi penuh dengan Dante.

       “Telepon Dante, Dick!” ucap Riki tiba-tiba.

       Karena Dicky satu-satunya yang sedang main handphone, dia jadi sasaran suruhan Riki.

       “Video call aja, Enki kangen kayaknya.” Kata Krisna sambil meledek Enki yang dari tadi memang tidak banyak bicara.

       Rasya dan yang lain malah ber-cie-cie. Enki jadi malu diperlakukan seperti itu, kemudian hanya tersenyum. “Iya video call aja biar dia ngelihat keadaan kelasnya yang dulu.” ujar Enki.

       “Alah. Bilang aja kangen, Ki!” Riki memprotes. Mendengarnya, Enki hanya tertawa dibarengi oleh yang lain.

       Dicky yang tadinya sibuk chatting dangan Nona, segera menelepon Dante. Cowok itu sepertinya juga sedang on, tapi lama tidak diangkat.

       "Bangsat! Kayak nggak connect gini!" umpat Dicky.

       Mendengar itu, Riki jadi ikut membuka handphone-nya lalu menelepon Dante.

       Connected.

       "Sinyal lo yang kayak tai, Dick!" Riki mengatai sohibnya sendiri dan malah mengundang tawa dari yang lain.

       "Sialan!"

       Riki mengarahkan handphone-nya ke arah Enki dan yang lain agar dapat melihat Dante. Walaupun koneksi agak terputus-putus, mereka masih bisa melihat siapa yang ada di layar handphone.

       “Lah, kok cewek?”

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang