#23

609 59 14
                                    

       Poster bergambar Pablo Picasso, pelukis terkenal dari Spanyol tertempel gagah di dinding putih kamar Dante. Cowok itu memang sangat menyukai segala yang berbau kuas dan cat air, atau minimal, ya, pensil untuk menggambar. Dan Pablo berhasil menarik hati Dante untuk mengidolakannya.

       Di samping gambar poster itu, ada sebuah papan hitam, yang di sana ada sebuah tulisan,

       “Bila kamu melukis cangkir, akan kutunjukkan padamu bahwa bentuknya bundar; tapi itu sesuatu irama umum dan kontruksi lukisan memaksa aku menunjukkan bahwa bundar itu sebagai sesuatu yang persegi.” milik Pablo, yang ditulis menggunakan spidol warna putih.

       Juga, di papan itu, ditempel kertas kecil. Kertas itu adalah kertas yang Enki gambari diagram batang tentang perasaannya beberapa waktu lalu.

       Sudah pukul 11 malam. Dante sedang berada di kamarnya, duduk di kursi samping lemari yang berisi kumpulan gambar miliknya yang suka digulung dan ditali oleh pita warna hitam, sehingga bertumpuk tidak karuan. Maklum, anaknya suka seni.

       Ujung bibirnya masih lebam. Ia menerawang jendela yang tertutup, kemudian ketika itu juga, mengingat Enki.

       Dante meraih handphone dari saku celananya. Ingin menelepon. Tadinya ragu karena sudah malam, tapi rasa ragu itu kalah dibanding memikirkan Enki yang mungkin kawatir padanya. Atau mungkin, ia terlalu percaya diri telah berpikir seperti itu. Tapi tetap tidak ada salahnya.

       Seseorang di seberang telepon bersuara, “Heii?!!

       Dante senyum ketika mendengar suara Enki seperti seolah telah menunggu telepon darinya sedari tadi.

       “Halo! Aku baik-baik saja.” Dante balik menyapa sambil memberi pernyataan.

       “Kan, aku belum tanya.” ucap Enki terdengar sambil tersenyum. Maksudnya, belum tanya apakah Dante baik-baik saja atau tidak.

       “Oh, iya! Kalo gitu, tanya!”

       “Kan, udah tau.

       “Kan, biar lebih tau.”

       “Kan, jawabannya udah diberi.

       “Aku ambil lagi, deh.”

       “Hahaha,” Enki tertawa, tetapi sepertinya ia menahan supaya tidak terlalu keras. Sudah larut malam.

       “Kok, ketawa?”

       “Kamu, sih!

       “Aku? Aku kenapa?”

       “Lucu!!”

       “Aku Dante, bukan lucu.”

       “Haha! Bukan gitu,”

       “Kamu, kenapa belum tidur? Kepikiran aku?” tanya Dante begitu percaya diri.

       Enki terdiam, menghela napas.

       “Enggak.”

       “Kalau gitu, rindu?”

       “Rindu? sama?

       “Pak Pintoko!”

       “Haha. Seribu persen enggak!

       “Sudah jam?”

       “Sekarang?”

       “Iya, sekarang?”

       “Sebelas lebih,”

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang