#58

559 33 2
                                    

       Bising kendaraan yang mengaung dari jauh, lalu mendekat, kemudian berhenti, tidak mampu mengalihkan pandangan Enki yang tertunduk lemah. Gadis itu berjalan pelan, fokus dengan langkah kakinya yang menyusuri trotoar jalan yang cukup ramai. Ia baru saja menelepon Rasya. Pikirannya yang sendu usai mendapat kabar bahwa Dante pacaran dengan Melly membuatnya tidak mampu melakukan apapun selain ingin memeluk seorang sahabat.

       Hari ini keluar bersama Dante benar-benar membawa kesedihan. Membawanya dalam suasana paling tidak nyaman dalam hidup. Patah hati adalah ketika yang kelihatan bahagia bisa menjadi sedih, yang menyenangkan menjadi biasa-biasa saja, dan hal-hal yang menarik menjadi tidak begitu antusias. Hatinya terasa nyeri.

       Di antara ramainya jalan raya, hanya Enki yang sedari tadi termangu. Kini gadis itu berhenti di pinggir jalan, ia menunggu Rasya yang tidak kunjung datang. Menangis membuatnya merasa lemas, dan yang ada sekarang ia sedang jongkok memeluk lutut di trotoar yang tidak jauh dari SMA Negeri Cikini.

       Sejujurnya, ada Dante yang juga ada di trotoar jalan. Sekitar 20 meter dari Enki. Ia mengamati gadis yang sembab karena menangis tersebut. Walau Enki tidak ingin diantar pulang oleh Dante, cowok itu tetap harus mengamatinya dari jauh. Dengan siapa dia akan pulang dan bagaimana keadaannya. Dante tidak mampu meninggalkan Enki.

       Enki mengangkat wajahnya. Akhirnya Rasya datang membawa motor scoopy yang biasa ia kendarai ke sekolah. Gadis itu langsung memeluk tubuh Rasya yang baru saja turun dari motor. Enki menangis lagi. Air matanya membasahi bahu Rasya yang terbalut kaos warna orange cerah dan dilapisi jaket warna kuning yang sering ia pakai.

       Rasya tidak bertanya kenapa. Ia menyadari ada Dante yang mengamati Enki dari jauh, kemudian gadis itu membalas pelukan sahabatnya.

       Rasya diam. Biasanya, kalau sudah melihat Enki menangis karena Dante, pasti cowok itu sudah hancur lebur seolah diremas-remas olehnya. Tapi akhir-akhir ini Rasya sadar. Kalau sudah berurusan dengan hati, cinta, dan perasaan, semua pasti sulit untuk didefinisikan. Lebih baik sekarang dirinya diam dan membawa Enki pulang.

       “Udah, belum?” Rasya akhirnya bersuara. Maksudnya, dia menanyakan apakah Enki sudah selesai menangis.

       Enki melepas pelukannya, menghapus sisa air mata yang bahkan masih ada yang menggenang di balik kelopak, kemudian mengangguk. “Pulang, Sya!” ujar Enki.

       “Tapi di motor jangan nangis, ya?”

       Mendengar petuah Rasya, Enki mengangguk paham dan lalu memakai helm yang diberikan Rasya padanya.

       Sebelum akhirnya melaju, Rasya sempat menoleh ke arah Dante yang terdiam, berdiri bersandar di pagar sekolahnya. Tetapi keduanya tidak mengisyaratkan apapun. Diam, dan kemudian Dante hanya dapat melihat Rasya mengendarai motornya menjauh dari pandangan.

-

       Motor Rasya terparkir manis di halaman rumah Enki. Ditinggal sendirian karena pemiliknya berada di kamar Enki dan sedang meminum teh hangat yang sengaja dibuat oleh Tante Lodia untuknya. Rasya sedang duduk di kursi belajar Enki, sedangkan si pemilik kamar memilih duduk meluruskan kakinya di tempat tidur sambil bersandar.

       Lima belas menit berlalu sejak kali terakhir menangis, Enki masih hanya diam. Rasya melepas tas ransel kecilnya, melemparkan benda itu ke tempat tidur kemudian mengamati sahabatnya.

       “Ada apa lagi sama Dante?” Rasya memulai percakapan. Enki masih menatap lurus ke depan, dan lalu beberapa detik kemudian melihat ke arah Rasya yang masih duduk di tempatnya.

       “Dia punya pacar baru,” Enki menahan napasnya seraya mulai bercerita. “Kenapa dia ngajak gue ke sana kalo cuma pengen ngasih kabar kayak gini, Sya?”

       Napas Enki tersendat karena tenggorokannya masih sakit usai menangis. Kemudian melanjutkan kalimatnya. “Gue mungkin bukan pacar dia lagi, tapi harusnya dia ngerti, Sya! Dia tau gue nggak mudah ngelupain dia gitu aja. Dante temen gue dari kecil, dia tau apapun soal gue yang nggak mudah beralih perasaan. Kenapa dia ngelakuin hal kayak gini ke gue?”

       Rasya mendekati Enki, duduk di bibir tempat tidur, ia merangkul bahu Enki dan memeluknya pelan. Enki hanya bisa bersandar di bahu gadis itu, kemudian menangis lagi.

       “Lo yakin apa yang lo ketahui itu real?” tanya Rasya.

       Enki mengangguk, “Pacarnya sendiri yang bilang ke gue.”

       Rasya menghela napas. “Siapa pacarnya?”

       “Melly, yang kemarin muncul di VC kita waktu di kelas.”

       “Lo langsung percaya kalo Melly itu pacar Dante?”

       “Gimana enggak? Dia nunjukin foto mereka berdua, Sya!”

       “Ki, dengerin gue! Foto berdua itu belum tentu mereka pacaran. Lo tau Dante cowok yang kayak gimana. Dia mungkin bisa dapetin cewek manapun yang dia mau. Tapi dia cuma sayang sama lo! Lo juga harus inget gimana Olivia ngejar Dante dan ujung-ujungnya sampai lulus juga nggak dapet. Dante sayang sama lo! Percaya sama gue!”

       “Terus lo anggep yang gue ceritain tadi nggak masuk akal?”

       “Bukan gitu!”

       “Terus gimana?”

       Rasya diam.

       “Lo harusnya ngerti perasaan gue, Sya!”

       “Iya, gue ngerti, Ki! Gue ngerti! Tapi coba lo lebih positive thinking!”

       “Positive thinking yang kayak gimana lagi?”

       “Lo sadar nggak kalo lo terlalu berpikir buruk atas apa-apa yang dilakukan Dante?”

       “Kok lo jadi marah sama gue sih, Sya?”

       “Gue nggak marah. Gue cuma pengen lo lebih berpikiran terbuka tentang dia.”

       “Gue nggak tau apa maksud lo.”

       “Gue nggak percaya kalo Melly pacar Dante!”

       “Lalu apa?”

       Rasya diam sejenak, kemudian berkata lagi. “Ki, tadi malem Dante chattingan sama gue. Dia bilang dia mau ngajak lo balikan hari ini.” Rasya menjelaskan. “Dan lo tau? Waktu lo nangis di trotoar jalan tadi, dia ada beberapa meter nggak jauh dari lo, dia ngamatin lo, dia ngejaga lo dari jauh karena takut lo kenapa-kenapa. Lo nggak sadar itu!”

       Rasya menjeda kalimatnya. “Waktu lo marah sejak lo tau Dante balap sama Rega. Lo cuma mikirin marah lo ke dia, tapi lo nggak mikir penyebab dia ngelakuin itu. Setiap lo deket sama Rega, lo juga harus sadar betapa Dante takut kehilangan lo! Makanya dia ngelakuin apapun yang membahayakan dirinya supaya nggak dianggap remeh. Sebagai cowok lo, dia mau menunjukkan kekuatan dia juga. Cowok itu banyak mikir, tapi dia nggak semudah ngungkapin perasaan lemahnya ke cewek. Dia bahkan mungkin takut kehilangan lo lebih besar dibanding perasaan kawatir lo ke dia. Lo harus ngertiin dia lebih jauh, Ki! Cowok nakal juga punya perasaan. Dan sebagai cowok brengsek, Dante nggak seburuk itu.”

       Enki diam. Dirinya terpaku dalam posisinya. Dan lalu hanya melihat Rasya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian memeluk lututnya sendiri, membenamkan wajahnya sambil tertunduk.

       “Gue pengen sendiri!” akhirnya ucap Enki dengan suara bergetar. Entah apa yang dipikirnya setelah mendengar kalimat Rasya yang panjang lebar. Dia bimbang. Marah, kecewa, menyesal, semua campur aduk dalam satu situasi. Yang ada sekarang, punggungnya naik turun karena menangis.

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang