#59 Finish - /CONTINUE

946 41 5
                                    

       Hari itu, Senin, 24 Maret 2014. Seorang siswi SMA berangkat sekolah seperti biasa. Masuk gerbang dan berjalan menuju kelas. Menyusuri koridor yang selalu ramai karena dipenuhi siswa siswi yang sama sepertinya, baru saja sampai ke sekolah.

       Seringkali pada hari-hari tertentu, digoda oleh kakak-kakak kelas yang suka malak. Kadang lolos, kadang juga tidak mampu menghindar. Akhirnya dia mengorbankan paling tidak uang sepuluh ribu untuk menyumbang berandal-berandal sekolah itu. Dulu, mereka adalah teman-teman Dante, dan tidak jarang cowok itu juga ikut malak, bahkan menjadi ketua perpalakan di sekolah.

       Ketika ada Dante, Enki tidak perlu repot-repot untuk menghindari para tukang malak tersebut. Dante membiarkan gadis itu jalan tanpa repot-repot menghindar. Kan malu malak cewek sendiri. Tapi sekarang, tidak ada lagi Dante. Tidak ada lagi yang membuatnya merasa salah tingkah di sekolah. Dan yang menjadi begitu berat, mereka benar-benar sudah putus komunikasi sejak kejadian hari minggu di SMA Negeri Cikini yang lalu.

       Ini adalah kali pertama Enki merasa hidupnya tidak nyaman oleh karena patah hati. Jauh lebih rumit dibanding menghitung kecepatan fluida mengalir dari pipa kecil menuju pipa yang lebih besar. Masalah perasaan itu sulit dijelaskan.

       Sudah sekitar dua minggu sejak kali terakhir Enki berbicara dengan Dante. Dan dalam dua minggu terakhir ini, hidupnya seperti tidak berenergi. Entah mengapa bisa seperti itu, yang pasti ia sadar semua ini karena kesalahpahaman. Semua ini karena keegoisan dirinya, karena tidak berpikir panjang atas segala sesuatu, dan merupakan kecerobohan seorang remaja yang masih labil.

       Setiap hari, tidak ada yang Enki lakukan kecuali sekolah, mematuhi semua peraturan guru, mengerjakan tugas dengan rajin, dan ketika di rumah harus belajar supaya besok dapat menerima pelajaran dengan baik. Maka yang ada dalam diri Enki sekarang hanyalah rasa suntuk. Tidak ada lagi Dante yang akan mengajarinya trik membolos paling ampuh yang pernah dilakukan oleh anak-anak nakal. Tidak ada lagi Dante yang meneleponnya malam-malam hanya untuk bertanya berapa persen perasaan Enki kepada cowok itu. Dan tidak ada lagi sorakan teman-teman sekelas yang suka ngecengcengin dia karena ulah manis Dante yang serba mendadak dan spontan. Dan masih banyak lagi hal-hal ngangenin yang pernah mereka lakukan. Enki rindu semua itu. Sungguh! Tidak dapat diganggu gugat.

       "Ki! Ki! Sini! Gue ada berita masih anget banget!" Rasya yang sudah duduk di bangkunya mendadak menghampiri Enki yang baru datang.

       Ya begini. Belum ada jam tujuh pagi, seorang Rasya sudah mendapat gosip baru yang entah ia dapat dari mana. Enki tidak antusias, tapi gadis itu pasti dengan senang hati mendengar celotehan sahabatnya.

       "Lo lihat deh, Ki!" Rasya memperlihatkan layar handphonenya. Kemudian mereka duduk.

       Enki melihat apa yang ada di layar. Ada seorang cowok yang berpakaian kaos futsal, badannya tinggi tegap, tatapannya garang, perawakannya memperlihatkan kalau dia seorang atlet.

       Enki melihat Rasya, "Siapa?"

       "Yaampun!! Lo ketinggalan berita! Ada kakak kelas pindahan cuyyy!! Gebet nih! Nggak boleh ketinggalan!" Rasya antusias dengan pikirannya. Enki malah tertawa melihat Rasya bertingkah seolah cari gebetan itu tinggal deketin terus iya-iya aja. Padahal semua tidak semudah itu.

       "Ngada-ngada banget sih, Sya! Krisna lo kemanain?" Enki meledek.

       "Eh. Iya sih. Untung lo ingetin. Kalo nggak, gue udah lupa kalo punya gebetan." Rasya sok hilang ingatan. Dan mereka berdua hanya tertawa padahal percakapan pagi ini tidak lucu.

       "Ki! Lo beneran udah nggak komunikasi lagi sama Dante?" mendadak Rasya mengalihkan pembicaraan.

       Ditanya seperti itu, Enki hanya mengedikkan bahu. Tiba-tiba enggan ingin menjawab.

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang