#39 PUTUS

568 35 1
                                    

       Di warung Bang Naim, Dante masih merokok namun tinggal hisapan akhir kemudian membuang puntung rokoknya. Pikirannya semakin kacau setelah mengingat semua yang ia lakukan. Masalahnya, ia mencintai Enki. Dan sekarang benar-benar nyata itu keadaannya.

       Dante ingat betapa kemarin sore Enki marah kepadanya karena ia balap motor dan menjadikan Enki taruhan. Bagaimana jika Enki tahu tentang taruhan uang 10 juta itu? Enki mungkin tidak ingin lagi berbicara dengannya. Dan satu yang membuat Dante menjadi lemah saat ini. Sebenarnya tangan kanannya mengalami retak tulang, seperti yang dikatakan petugas PMR tadi walau ia dengan tegas mengatakan tidak. Dante sengaja menyembunyikan kenyataan itu dari teman-temannya. Jika mereka dan Enki tahu, mungkin Enki tidak mau dibonceng olehnya dan memintanya istirahat di rumah. Tentu saja Dante tidak ingin itu terjadi. Pikir Dante, jika Enki tidak bersamanya, bisa saja Rega akan melakukan apapun agar bisa dekat dengan Enki.

       Dante merasa munafik. Tetapi perasaannya kepada Enki sekarang ini adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Setelah semua kedekatan yang pada awalnya adalah taruhan, akibatnya sekarang Dante sungguh-sungguh mencintai Enki.

       Dante tahu dia salah. Dia egois. Dia mungkin sudah melukai hati Enki jika gadis itu tahu. Dan juga, dia menyembunyikan semua ini dari teman-temannya yang bahkan pada hari-hari yang lalu itu mengatakan padanya untuk tidak menyakiti Enki. Dante merasa buruk atas banyak hal. Pikirannya penat.

       Setelah selesai dengan merokoknya, Dante membayar ke Bang Naim kemudian keluar dari warung yang tidak cukup besar itu. Baru beberapa langkah ia keluar pintu, handphonenya bergetar. Tersadar dengan itu, Dante mengambilnya dari saku celana.

       ‘Enki?’ ujarnya dalam hati ketika mengetahui siapa yang menelepon.

       Dante diam sejenak, melihat pojok layar handphonenya. Tidak terasa, sekarang sudah jam dua siang. Ia ingat kalau sudah jam pulang, tentu saja Enki meneleponnya. Dan benar, sekolah terdengar riuh ramai siswa-siswi yang baru keluar ruangan.

       Sebelum getar handphonenya berhenti, Dante segera menggeser tombol hijau.

       “Hal-“

       “Aku pengen ketemu!” tukas Enki tiba-tiba dari telepon, bahkan sebelum Dante menyelesaikan kata ‘halo’.

       “Iya. Tunggu.”

       “Sekarang!” nada bicara Enki terdengar ketus. Entah apa yang sedang terjadi.

       “Iya Ki. Kamu di mana?”

       “Di depan ruang redaksi.

       “Oke. Tunggu.”

       Enki memutus teleponnya.

       Mendengar nada bicara Enki, Dante merasa mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia hanya bisa menghela napas kasar.

       Oke. Ia terima segala resiko jika itu memang harus ada.

-

       Sudah tidak ada satupun siswa di kelas kecuali Krisna yang hampir beranjak pulang. Dante yang tadinya bolos pelajaran kini berjalan memasuki kelas untuk mengambil tasnya yang hanya berisi satu buku dan satu bolpoin. Kedua pasang mata milik Krisna hanya mengamati Dante yang  setelah mengambil tas justru malah buru-buru keluar tanpa menyapanya. Padahal sejujurnya sedari tadi ia tinggal di kelas adalah menunggu Dante. Melihat itu, Krisna hanya diam dan berjalan di belakang Dante. Ya, mau bagaimana lagi. Krisna paham mungkin Dante sedang dalam kondisi perasaan yang tidak baik.

       Langkah kaki Dante bergegas menyusul Enki. Gadis itu berada di depan ruang redaksi dan sudah membawa tasnya bersiap untuk pulang. Namun ketika di tengah perjalanan, Dante mendadak memperlambat langkahnya. Pandangannya menuju seorang cowok yang ada di samping Enki. Mereka saling berbicara tetapi kemudian cowok itu pergi.

       Itu Rega. Dante sudah tau karena mungkin mereka sedang melakukan wawancara seperti yang telah direncanakan hari kemarin.

       Melihat Dante berhenti, Krisna yang berada di belakangnya ikut berhenti. Namun kemudian menepuk punggung Dante, “Gue duluan ya, Dan. Lo hati-hati.” Ujarnya kemudian berlalu.

       Dante mengangguk untuk mengiyakan kalimat Krisna tanpa memandang sahabatnya itu dengan serius. Seluruh pikirannya sekarang telah berada pada Enki. Akhirnya walaupun atmoser udara di sekeliling Dante memburuk, ia melangkahkan kakinya lagi menuju Enki.

       “Pulang sekarang?” tanya Dante setelah sampai di depan Enki, di sampingnya ada Rasya yang baru saja menghampiri setelah membeli kotak susu.

       PLAKKK!

       Enki menampar Dante dengan tiba-tiba. Rasya yang baru saja datang tanpa tahu permasalahan ikut tersentak. Sedangkan Dante terdiam. Melihat keadaan yang tidak bisa ia cerna, Rasya menjauh menuju bangku yang tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang berdiri.

       “Kamu keterlaluan, Dan!” tukas Enki dengan nada bicaranya yang terdengar sangat marah.

       “Ada apa, Ki?” Dante menatap mata Enki. Mencari tahu permasalahan yang sedang Enki bicarakan.

       “Kamu nggak perlu bohong lagi!” Kedua manik mata Enki berkaca-kaca.

       Dengan menghela napas berat, Dante meraih kedua tangan Enki. “Sebenernya kenapa?” tanyanya. Masih mencari jawaban dari tatapan mata Enki yang sudah hampir sepenuhnya terhalang air mata.

       “Kita putus!” ucap Enki dengan kasar dan lalu hendak pergi tetapi Dante menahannya.

       “Ki, dengerin aku! Kamu kenapa?” Dante memperjelas pertanyaannya. Tetapi mendengar Dante bicara, Enki malah menangis. Rasya yang tadinya hanya menonton karena mengira tidak akan seperti ini, kini dengan cepat menghampiri Enki dan memeluknya.

       “Lo apain sahabat gue?!” tanya Rasya dengan galak seperti biasanya.

       “Gue nggak-“

       “Harga diri gue cuma sebanding sama uang sepuluh juta!!” potong Enki sebelum Dante menjawab pertanyaan Rasya.

       Mendengar perkataan Enki, Rasya masih mulai mencerna. Sedangkan Dante sepenuhnya diam. Dengan Enki mengetahui itu, jujur saja sudah tidak ada yang bisa dijelaskan lagi. Dante salah.

       Setelah mengeluarkan kalimatnya tadi, Enki sudah tidak bisa lagi berbicara lebih. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menangis di pelukan Rasya. Menumpahkan segala rasa sakit yang memuncak siang ini. Rasanya ia sangat butuh pelukan hangat, telinga untuk mendengar, tangan untuk mengusap, dan sebuah bahu untuk bersandar. Dan satu-satunya yang dapat memenuhi itu untuk saat ini adalah Rasya. Dante bukan lagi pacarnya.

       Dante masih berdiri di posisinya, membiarkan Rasya mencibir dan mengatainya entah apapun sebelum mereka pergi dari hadapan Dante. Hanya satu yang terdengar jelas di telinga Dante.

       “Bangsat lo jadi cowok!”

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang