#45

463 32 1
                                    

       'Kak Rega?' batin Enki.

       Gadis itu menghentikan langkahnya. Rega yang tidak jauh dari Enki juga ikut berhenti. Keduanya memandang satu sama lain. Enki yang merasa bingung harus bagaimana dan perasaan yang campur kesal kemudian melanjutkan jalannya, melewati cowok itu yang melihat Enki pergi berlalu begitu saja.

       Kini Enki sudah berada di trotoar jalan. Langkahnya pelan sekali karena tidak tahu ke mana harus pergi. Melihat Rega juga membuatnya sedih entah kenapa. Matanya memerah, hidung dan tenggorokannya mulai sakit karena menahan tangis. Akhirnya sekarang ia terduduk di trotoar jalan. Seraya melihat kendaraan yang berlalu-lalang di depannya, gadis itu kembali menangis sambil menunduk merangkul lutut.

       Enki menumpahkan emosinya dengan menangis, selalu seperti itu karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahunya naik turun karena terus terisak. Sebisa mungkin ia memelankan suara tangisnya karena ia berada di pinggir jalan. Enki merasa konyol tetapi bagaimana lagi? Hanya ini yang dapat ia lakukan. Ia menyesal terhadap Dante. Harusnya ia tidak bersikap terlalu kasar. Apalagi mengingat kejadian ketika pulang sekolah kemarin, Enki dirundung rasa bersalah. Ia ingin bertemu Dante.

       Dada Enki rasanya sesak sekali. Sudah lelah rasanya untuk menangis, tapi lagi-lagi ini yang ia lakukan. Matanya sudah tidak bisa lagi melihat dengan jelas karena sedari tadi dibenamkannya di sela-sela rangkulannya dengan lutut. Sekarang bukan saatnya berpikir untuk malu menangis di pinggir jalan seperti ini, lagipula tidak akan ada yang mengenalinya. Tangannya sekarang juga sudah mulai lelah dan keram. Satu-satunya yang dapat membuat Enki tenang adalah bertemu Dante. Hanya itu.

       Dengan masih menunduk memeluk lutut, Enki mendengar derap langkah kaki mendekat. Walau tidak terlalu jelas, ia dapat merasakan seseorang tengah berdiri di samping kanannya. Mendadak tubuh Enki yang tadinya terkena sinar matahari menjadi teduh. Seseorang menghalangi sinar matahari tersebut.

       Enki mendongak, mengangkat kepalanya yang terasa berat karena pening usai menangis. Dilihatnya seorang cowok tengah duduk di samping kanannya dan membawa dua eskrim di kedua tangannya. Cowok itu menatap Enki dengan sedikit demi sedikit tersenyum walau raut wajahnya memang menyatakan ada kesedihan.

       Butuh dua menit untuk Enki mencerna siapa yang kini duduk di sampingnya. Setelah sadar, deru napas enki terasa lebih cepat dan jantungnya menjadi berdegub tidak beraturan. Sontak ia memeluk cowok itu erat sekali. Bukan tersenyum, Enki malah masih menangis walau sekarang air matanya mulai mereda. Sedangkan cowok itu bingung harus bagaimana. Ia tidak dapat membalas pelukan Enki karena kedua tangannya memegang es krim.

       "Dante!" panggil Enki di sela tangisnya. Gadis itu masih memeluk Dante erat sekali.
Dante tersenyum, "Iya?" responsnya sambil mencium rambut Enki yang terurai.

       "Lo jangan pergi!" ujar Enki dan mulai melepas pelukannya. Keduanya melihat satu sama lain. Dante menggeleng, "Gue nggak pergi,"

       "Gue khawatir!" ujar gadis itu dan membuat Dante lagi-lagi menyunggingkan senyum, kemudian menyodorkan es krim rasa strawberry di tangannya untuk Enki.

       Setelah menunggu sekitar satu menut, akhirnya Enki sepenuhnya berhenti menangis dan memakan es krim dari Dante. Itu adalah es krim kesukaannya, rasa strawberry. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu kiri Dante, kemudian cowok itu merangkulkan tangannya di punggung gadis itu.

       "Gue nggak kemana-mana. Dari pagi gue di samping rumah lo karena lo bilang pengen sendiri. Gue juga nggak punya tujuan buat pergi. Setelah lo ke sini, gue ngikutin lo tapi gue nggak masuk. Gue tau di sana bakal ada temen-temen yang lain. Mereka pasti kecewa sama gue." Dante bercerita setelah menghabiskan es krimnya dan melempar kemasannya di tong sampah yang tidak jauh dari posisi mereka.

       "Terus semalem tidur di mana?" tanya Enki.

       "Gue tidur di rumahnya Raka. Lo pasti udah denger soal gue berantem sampai ke kantor polisi. Gue males dimarahin bokap."

       Mendengar apa kata Dante, Enki menatap cowok itu seolah tidak percaya jika Dante menunggunya sedari tadi.

       "Gue sadar gue terlalu brengsek buat lo," Dante menggantung kalimatnya. "tapi gue sayang sama lo, Ki!".

       Dante menghela napas. "Tapi, karena lo udah bilang putus. Gue bisa apa? Nantinya cuma bisa lihat lo dari jauh. Mungkin ini juga terakhir kita deket. Lagian gue nggak mau lihat nilai lo turun karena pacaran sama gue. Kan gue bolosan, gara-gara gue juga lo jadi sering bolos."

       Enki menggeleng, "Bukan! Ini bukan yang terakhir kita bisa deket. Gue nggak keberatan bolos asal itu sama lo, yang penting nggak tiap hari. Selama ini gue nerima lo apa adanya." gadis itu memberi penjelasan.

       Mereka saling menatap. Tidak ada yang mampu dikatakan selama beberapa detik mata mereka beradu. Suara kendaraan yang bising seakan tidak menjadi pengganggu bagi mereka. Semua terasa hening.

       Sementara setelahnya Dante tersenyum kecut. "Tanpa gue, jaga diri lo baik-baik. Jangan mau digangguin sama cowok apalagi kakak kelas yang nakal. Gue nggak bisa berbuat banyak." Ucapan Dante membuat hati Enki hancur.

       "Pulang yuk! Gue anterin sampai rumah. Jangan nangis lagi! Gue paling nggak bisa lihat lo nangis." Ajak Dante dan lalu mereka berdiri dari duduk di trotoar.

       Akhirnya mereka pulang dengan perasaan sakit masing-masing. Di jalan Enki menatap sekitar dengan sendu. Hatinya sudah seperti puzzle yang kehilangan satu rangkaiannya. Tas yang hanya berisi handphone dan dompet menjadi terasa berat, kepalanya pening sekali, bising kendaraan di jalanan membuat gadis itu pusing dan wajahnya menjadi pucat.

       Semua yang terjadi hari ini membuat otaknya penat melebihi PR Fisika 50 soal yang harus selesai satu hari.

-

DANTE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang