Ana menggenggam erat benda pipih tersebut. Kini pikirannya sudah terpenuhi dengan dua kata yang diucapkan orang itu tadi.
Usaha nya membangun benteng pertahanan beberapa hari ini sia-sia. Hanya mendengar dua kata saja sudah berhasil membuat benteng itu runtuh.
Ia tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya ketika mendapatkan telfon dari orang yang ia rindukan. Tetapi, ia juga tak bisa untuk tak membenci.
"Kenapa harus datang lagi?!" ujar Ana membatin seraya menyeka air matanya yang keluar.
Ia membuang ponselnya di atas kasur lalu beranjak menuju kamar mandi. Sekarang niatnya untuk tidur pun sudah hilang.
Di tempat yang berbeda.
Dirga berusaha untuk menghubungi Ana dengan harapan akan di terima dengan baik.
Lengkungan di bibir laki-laki itu tercipta ketika telfon nya di terima.
"Halo..." ujarnya.
Merasa tak mendapatkan respon, Dirga kembali mengulang, "halo..."
Bukankah harapan dengan niat baik tak selalu berakhir dengan baik pula? Begitulah yang di terima Dirga saat mencoba bicara baik-baik tapi baru menyebutkan halo saja telfon nya sudah di matikan secara sepihak tanpa mendapat respon satu katapun dari seberang sana.
Dirga mengusap wajahnya gusar. Ia salah besar jika berfikir Ana akan bersikap layaknya tak ada masalah apapun.
Dari via telfon saja gadis itu seolah enggan berbicara dengan nya. Bagaimana kalau Dirga mengajaknya bicara secara langsung. Mungkin akan di tolaknya dengan mentah.
"Gue emang pantes lo giniin, Na." cicit Dirga.
"Gue gak baik buat lo... gue udah jahat banget sama lo.."
"Ana maafin gue.." sesalnya, tapi tetap percuma jika ia akan berteriak sekalipun. Pemilik nama yang disebutnya tetap tak bisa mendengarkan ucapan yang penuh sesal itu.
Tok.. tok.. tok..
"Dirga lo di dalam kan?" tanya seseorang dari luar kamar Dirga.
Dirga beranjak dari kursi yang berada di kamarnya. Setelah membuka pintu, ia mendapati perempuan dengan rambut lurus sebahu berdiri tepat di depan kamarnya.
Tanpa aba Dirga langsung memeluk perempuan itu.
"Lepas ih! Ternyata masih manja ya." gumam perempuan ini seraya mengatur nafasnya akibat pelukan dari sang adik yang tiba-tiba.
"Gue kira lo udah lupa sama gue sama mama." cibirnya pada Dini, kakak perempuan nya.
Dini memandangi isi kamar Dirga. "Jahat banget sih jadi adik. Bukannya ngomong Kak Dini lama banget pulangnya, aku udah rindu tau." ujar Dini seraya mencoba satu persatu parfume milik adiknya. Sedang Dirga bergidik ngeri mendengar ucapan kakaknya.
"Jijik gue."
Kini Dini meraih sebuah bingkai foto yang menampilkan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. "Gue lebih jijik kalau ngeliat muka sok ganteng lo ini."
"Tapi sekarang kan ganteng beneran." balas Dirga.
"Idih."
"Harusnya lo itu bangga punya adik seganteng gue gini. Nikmat tuhanmu mana lagi yang kau dusta kan wahai kak Dini tercinta." ujar Dirga dengan menirukan gaya Khatib yang sering ia lihat setiap jumat.
"Serah lo dah kang panci."
"Muka lo kayak kutil onta."
Wajah Dini memerah mendengar cibiran sang adik. Baru bertemu sudah membuatnya geram. Lantas ia beranjak dari kursi.
Dirga yang sudah paham dengan gerak-gerik kakak nya itu pun langsung berlari keluar kamar. Dini mengejarnya. Alhasil mereka kejar-kejaran di seluruh ruang rumah yang sudah seperti tom and jerry.
Saat Dirga menoleh kebelakang, ia menabrak dada papanya.
"Dirga kamu ini apa-apaan." ujar Deni.
"Kak Dini tuh Pa, nggak jelas ngejar-ngejar Dirga."
"Dia duluan Pa ngomongin aku kayak kutil onta." ucap Dini tak terima.
"Lah kakak ngomongin aku tukang panci."
"Kalian ini sudah besar masih juga kayak anak kecil. Bukan nya saling kangen-kangenan udah lama gak ketemu, ini malah udah kayak anjing sama kucing."
"Kak Dini anjing nya." cicit Dirga pelan. Deni melototi Dirga yang berucap seperti itu.
"DIRGAAA!" teriak Dini yang geram dengan adiknya.
Dirga terkekeh, lalu ia kembali ke kamarnya meninggalkan papa dan kakaknya. "Dirga ke kamar dulu Pa." Deni hanya mengangguk mengiyakan...
🍒
Suasana malam yang sunyi membuat Ana sangat fokus pada bacaan novelnya hingga suara ponsel yang terus saja berdering sedari tadi membuat ia berdecak kesal dan menyudahi bacaan nya.
"Ck!""Siapa sih malam-malam gini ganggu aja." cicit Ana.
Layar ponselnya menampilkan deretan angka yang sangat familiar di ingatannya. Ya, deretan angka itu adalah nomor yang sering mengirimkannya pesan dulu.
Ia menerima panggilan itu tanpa ragu.
"Ana." panggil dari orang di seberang sana.
"Ini kan suaranya Aldy. Jadi..." ujar Ana membatin.
"Ini Aldy ya?" tanya Ana.
"Iya Na. Save ya nomor gue. Niatnya sih tadi mau chat lo tapi kuota abis hehe.." jawab Aldy seraya terkekeh kecil.
"Iya Al. Emang ada apa ya?"
"Besok lo ada acara gak?"
Ana tampak berpikir. "Hmm.... kayaknya gak ada deh."
"Kalo gue ajak jalan mau gak?" ajak Aldy langsung.
"Kemana?"
"Hmm... sebenarnya gue juga masih bingung mau ngajak kemana. Makanya nanya lo dulu mau atau gak. Entar gue udah ekspektasi kesana kesini eeh lo nya gak mau."
"Ya udah gue mau."
"Ok sampai ketemu besok ya, Na..."
"Iya Al."
Tut.. Tut.. Tut...
Setelah telfon nya sudah di matikan Aldy, ia kembali melanjutkan bacaan novelnya yang sempat tertunda.
🍒🍒

KAMU SEDANG MEMBACA
Dirga (Completed)
Fiksi Remaja'karena gengsi, mengalahkan semuanya.' -----------------------------•••----------------------------- • Dirga Saputra, salah-satu murid di SMA Rajawali yang terkenal suka membully dengan kedua temannya: Aldy dan Rafa. Meski begitu, hanya Dirga lah ya...