23 (Valexa)

7K 227 8
                                    

Part 23 - Valexa

"Persahabatan itu ibarat pondasi bangunan. Jika salah satu pondasi hilang, maka tak akan sempurna sebuah bangunan. Begitupun dengan persahabatan."

•••

Sesampainya di kamar asrama, Alina menghamburkan dirinya ke tempat tidur miliknya. Rambutnya yang sedikit berantakan, wajah yang nampak kelelahan, membuat ia terlihat buluk.

Dering ponsel yang berasal dari dalam tas, membuat Alina ogah-ogahan untuk mengambilnya. Ia sedikit terkejut ketika membuka notifikasi tersebut.

Dave Gavin

Al.
Alina!

Apa?

Sepeda lo kenapa?

Rantai lepas.

Ooo... rantai lepas
Lo gk nanya gue tau darimana?

Lo tau darimana emang?

Kepo.
Mau tau banget, atau mau tau aja...?

Yaudah.

Iye-iye. Gue kasih tau.
Jangan marah sama gue, ya...
Gue tau dari si Pororo.

Pororo?

Elah, si Alvaro.

Ooo
Ngapain si Alvaro ngasih tau lo?

Gini, tadi si Ro minta tolong sama gue buat mampir ke suatu tempat.

Dia share loc ke gue.
Gue sebenernya mager banget. Tapi, krn si Ro lagi sibuk, gue terpaksa.
Sampai sana, gue tanya sama bapak-bapak. Gue tanya ttg sepeda yg dititipin disitu. Trs bapaknya jawab kalo sepedanya di bengkel sebelah.
Gue cari sampe ketemu. Abis itu gue bawa ke asrama.
Sekarang sepeda lo di parkiran biasanya.

Thanks buat penjelasan lo yang begitu rinci.
Makasih udh nganter sepeda gue kembali.

Yoi. Santai.

Alina mendongakkan kepalanya. Menatap pergerakan jarum jam dinding. Ia terkejut ketika jarum jam telah menunjukkan pukul 19.05. Karena Alina tak ingin berlama-lama menggunakan jeans yang menurutnya lumayan ketat, alhasil ia berganti menggunakan celana tidur. Karena ia masih merasa letih, Alina memutuskan untuk rehat sejenak dari bisingnya dunia. Benar saja, baru sekitar 3 menit, Alina kini telah terlelap di alam mimpi.

•••

Seorang laki-laki tengah menyajikan sebuah minuman bagi pelanggan yang mendatangi kafe tersebut. Walaupun raut kelelahan tercetak dengan jelas di wajahnya, semangat untuk mencari uang tetap mengalir di dalam tubuhnya.

"Satu matcha latte!"

Tubuh tinggi semampai dengan celemek berwarna coklat yang terpasang di tubuhnya, berjalan menuju meja pelanggan yang memesan pesanan tersebut. Dengan senyuman yang terkesan dipaksakan, namun tetap menawan, membuat perempuan yang tengah duduk di bangku tersebut, membalasnya dengan senyuman yang dibuat-buat.

Alvaro dan Alina ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang